Sektor Energi I Pemerintah Dinilai Tak Mampu Mengelola Energi Primer Kenaikan TTL Harus Transparan

Koran Jakarta, Rabu, 19 September 2012. Pemerintah menargetkan akan ada 2,9 juta rumah tangga di Indonesia teraliri listrik. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencanangkan program ini seusai memutuskan menaikkan tarif tenaga listrik (TTL), tahun depan.

Menteri ESDM, Jero Wacik, mengatakan 2,9 juta calon pelanggan PLN tersebut sebagian besar merupakan golongan R1 dan R2. Lalu sebanyak 1,3 juta lebih adalah calon pelanggan untuk golongan R1/450 VA dan 1,07 juta lebih calon pelanggan PLN dari golongan R1/900 VA.

“Akan ada sekitar 2,9 juta calon pelanggan PLN akan terlayani penyambungan listriknya,” tegas Menteri ESDM, Jero Wacik, di Jakarta, Selasa (18/9/2012). Menurut Jero, ke depan, pemerintah juga akan mengatur mekanisme penyesuaian TDL listrik tahun depan apakah langsung 15 persen, bertahap petiap tiga bulan sebesar 4,3 persen, atau per bulan 1,6 persen.

Sementara itu, merespons kenaikan TTL, pemerintah diminta memperjelas penggunaan dana kenaikan agar alokasi dana itu dimanfaatkan untuk program peningkatan rasio elektrifikasi.

“Pemerintah harus memastikan dana kenaikan tersebut bisa dialokasikan untuk program yang jelas. Misalkan memperbesar dana untuk elektrifikasi, memperbaiki infrastruktur jaringan listrik melalui dukungan investasi bagi PLN agar bisa lebih efisien,” kata Direktur Institute for Essensial Services Reform, Fabby Tumiwa, kepada Koran Jakarta, Selasa (18/9).

Fabby berharap dengan menurunnya subsidi listrik akan ada perbaikan performa di sektor kelistrikan tahun depan. Saat ini, PLN masih belum efisien terbukti dengan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik yang masih tinggi, dengan rata-rata 1.150 rupiah sampai 1.200 rupiah per kilowatt hours (kwh).

Padahal, jika menggunakan energi batu bara harga per kwh listrik hanya sebesar 500 – 600 rupiah, sedangkan dengan menggunakan gas BPP listrik hanya 700 rupiah per kwh.

Jadi, kata Fabby, saat ini pemerintah masih belum memprioritaskan penyediaan energi primer bagi PLN. Akibatnya biaya pokok penyediaan listrik masih tinggi karena PLN masih menggunakan bahan bakar minyak (BBM). Padahal, jika konsumsi BBM untuk pembangkit diturunkan dan diganti dengan gas maupun batu bara maka biaya tenaga listrik bisa ditekan.

Sementara itu, pengamat energi, Kurtubi, mengatakan seharusnya kenaikan listrik 15 persen tidak perlu terjadi jika pemerintah menyediakan energi primer untuk PLN. “Pemerintah tidak benar dalam mengelola energi primer yang selama ini menjadi bahan baku listrik, energi primer seperti batu bara, gas, dan panas bumi melimpah,” terang Kurtubi.

Dia menyesalkan pemerintah justru menjual energi tersebut ke asing dengan harga murah, sedangkan PLN justru menggunakan BBM. Akibatnya BPP menjadi tinggi dan subsidi membengkak. Itu kan jelas salah pemerintah.

Menurut hitungan Kurtubi, jika pemerintah mau memakai sumber energi batu bara, harga listrik akan menjadi 500-600 rupiah per kwh dan harga jual di tingkat masyarakat bisa di kisaran 700 rupiah per kwh. Tetapi yang terjadi saat ini karena BPP listrik PLN masih tinggi maka masyarakat membeli tenaga listrik di kisaran 1.200 rupiah per kwh.

Hari Senin, (17/9), DPR menyetujui kenaikan tarif tenaga listrik yang mulai berlaku tahun depan. Komisi VII dapat menyetujui usulan dari pemeritah mengenai subsidi sektor kelistrikan 78,63 triliun rupiah, dengan penyesuaian tarif tenaga listrik (TTL), untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan peningkatan rasio elektrifikasi serta tidak membebani kepada rakyat kecil, yaitu para pelanggan listrik 450 volt amper dan 900 volt ampere.

Sumber: Koran Jakarta.

Pembangunan Tak Perlu Jargon Iklim

Jakarta, Kompas – Pembangunan tak perlu jargon-jargon perubahan iklim karena jargon-jargon itu berbeda dengan bahasa pembangunan. Saat ini, kapasitas membangun belum dimaknai sesuai substansinya.

”Jargon lebih disukai ketimbang substansi. Pemerintah tidak siap untuk menerjemahkan jargon tersebut. Masih ada keterbatasan untuk memahami substansi dan menerjemahkannya ke aplikasi,” ujar Ketua Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa, Selasa (18/9), di Jakarta.

Jargon pembangunan rendah karbon atau rendah emisi (karbon) secara substansi sama dengan jargon pembangunan berkelanjutan yang dikenalkan tahun 1992 pada Konferensi Pembangunan Berkelanjutan I di Rio de Janeiro, Brasil.

Jargon-jargon perubahan iklim itu, menurut Fitrian Adriansyah, kandidat doktor spesialisasi iklim dan keberlanjutan di Australian National University, harus bisa masuk ke birokrasi pembangunan yang sudah berjalan 50 tahun. ”Karena telanjur, bisa disatukan ke dalam rencana pembangunan jangka menengah nanti,” ungkapnya.

Jika tidak dimasukkan, lanjut Fitrian, akan sulit dilaksanakan karena tak sesuai dengan bahasa pembangunan yang selama ini digunakan. ”Pengukur keberhasilan kan sama, pada sektor sosial dan ekonomi,” ujar Fitrian.

Istilah penurunan emisi karbon, misalnya, dinilai tidak perlu dijadikan indikator pembangunan. Terkait emisi itu, Indonesia berjanji menurunkan emisi karbon 26 persen dengan usaha sendiri.

Menurut Fabby, hal lain, seperti jargon pertumbuhan hijau, saat ini belum dimaknai sesuai konteks pembangunan dan profil ekonomi Indonesia yang agraris. Indonesia terlalu meniru negara-negara Eropa yang industrinya maju.

”Anggaran subsidi bahan bakar fosil pun masih tinggi, hingga 25 persen anggaran negara. Ini jelas tidak sesuai dengan jargonnya,” ujarnya.

Kesiapan anggaran

Di Indonesia, selain pembangunan biasa, juga muncul program-program baru terkait perubahan iklim, misalnya program Penurunan Emisi Melalui Deforestasi dan Degradasi Lahan (REDD+).

Menurut Fitrian, kalau program pembangunan bersifat ”sementara” atau untuk tujuan tertentu saja, dananya tidak akan ada dalam anggaran negara. Pendanaannya tidak akan intens atau terputus.

Rencana pembangunan yang baru, lanjut Fabby, seharusnya diadaptasi dengan sistem anggaran baru. ”Jika daerah punya program rendah karbon, ada atau tidak insentifnya? Pranatanya tidak disiapkan untuk interpretasi green growth,” katanya.

Saat ini, untuk pembangunan hingga tahun 2025, pemerintah menerbitkan Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang masih bertumpu pada sumber daya alam. Di tengah jalan, muncul wacana ”Greening MP3EI”. (ISW)

Sumber: Kompas.com.