Klaim Asing Terhadap Tambang Tumpang Pitu Aneh

INILAH.COM, Jakarta – Klaim perusahaan Australia PT Intrepid Mines Limited atas 80% kepemilikan PT IMN (melalui klaim 80% economic interest) untuk mengelola tambang emas Tumpang Pitu, Banyuwangi dinilai aneh.

Pengamat Energi Fabby Tumiwa menilai konflik usaha di Tambang Emas Banyuwangi yang diangkat Intrepid berawal dari dugaan pelanggaran atas regulasi kebijakan pertambangan Indonesia. Pernyataan ini makin menguatkan pernyataan senada yang sebelumnya dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menyoal gugatan Intrepid ke Pemkab Banyuwangi.

“Sesuai UU No. 11/1967 perusahaan asing tidak dapat memiliki Kuasa Pertambangan (KP), oleh karena itu dapat diinterpretasikan bahwa jikalau terjadi suntikan modal pada aktivitas eksplorasi IMN di Tujuh Bukit, tidak berarti tindakan tersebut secara legal-formal memengaruhi kepemilikan KP yang pada awalnya dimiliki oleh PT IMN. Perjanjian JV antara PT IMN dan Intrepid mengarah pada perjanjian ‘dibawah tangan’ dalam konteks klaim atas KP/IUP PT IMN atas tambang Tujuh Bukit,” papar Fabby.

Menurutnya, tindakan Intrepid melakukan perubahan kepemilikan PT IMN berdasarkan JV/AA sesungguhnya tidak serta-merta dapat membuatnya KP di Tujuh Bukit tersebut. Ditambah lagi adanya fakta bahwa pihak Emperor Mines dan IMN tidak pernah melaporkan adanya perubahan kepemilikan di PT IMN dan/atau perubahan status PT IMN menjadi PMA yang berkedudukan di Indonesia untuk menyesuaikan dengan perubahan rezim pertambangan sesuai dengan UU No. 4/2009.

Perjanjian JV antara Interpid dan IMN berpotensi bertentangan dengan UU No. 11/1967 pasal 12 (sebelum UU No. 4/2009 disahkan) dan peraturan pelaksanaannya, yaitu PP 75 tahun 2001 pasal 15 ayat 2, dan pasal 23 ayat 1 dan 2. Apabila perjanjian JV tersebut dilaksanakan sesudah diterbitkannya UU No. 4/2009 dan PP No. 24/2012, maka klaim kepemilikan Intrepid atas sumberdaya tambang Tumpang Pitu juga tidak dapat dibenarkan.

“Dalam hal ini, pihak berwajib di Indonesia (Kepolisian RI) dan Otoritas Pasar Modal Australia justru dapat menyelidiki adanya potensi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Interpid, yaitu klaim kepemilikan atas sumberdaya alam yang ada di Indonesia, yang hak-nya tidak didapatkan intrepid melalui proses yang sah secara legal sesuai dengan aturan hukum yang berlaku,” tandas Fabby.

Fabby menambahkan, dapat diduga klaim Intrepid Mines selama ini digunakan sebagai cover-up untuk menarik dana publik di Australia melalui penjualan sahamnya,” kata Executive Director, Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa di Jakarta, Senin (15/4). Klaim ini hanya didasarkan pada perjanjian Alliance Agreement (AA) antara pihak PT IMN dan Emperor Mines (yang kemudian berubah menjadi Interpid Mines sesudah merger dengan Intrepid) dan klaim investasi yang dibuat oleh Intrepid untuk eksplorasi Tujuh Bukit.

Hal ini terindikasi dengan pengumuman Emperor di bursa saham Australia (ASX) pada bulan Januari 2008 yang menyatakan bahwa proyek Tujuh Bukit adalah

Pertambangan Tumpang Pitu Tak Berhak Dikuasai Perusahaan Asing

TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA–Klaim salah satu perusahaan asing atas 80 persen kepemilikan PT IMN (melalui klaim 80% economic interest) untuk mengelola tambang emas Tumpang Pitu, Banyuwangi, dinilai tidak berdasar.

Pengamat Energi Fabby Tumiwa menilai konflik usaha di Tambang Emas Banyuwangi yang diangkat salah satu perusahaan asing itu berawal dari dugaan pelanggaran atas regulasi kebijakan Pertambangan Indonesia.

Pernyataan ini makin menguatkan pernyataan senada yang sebelumnya dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menyoal gugatan Intrepid ke Pemkab Banyuwangi.

“Sesuai UU No. 11/1967 perusahaan asing tidak dapat memiliki Kuasa Pertambangan (KP). Oleh karena itu dapat diinterpretasikan,adanya suntikan modal pada aktivitas eksplorasi IMN di Tujuh Bukit. Tidak berarti tindakan tersebut secara legal-formal memengaruhi kepemilikan KP yang pada awalnya dimiliki oleh PT IMN,” ujarnya dalam rilisnya kepada Tribun Rabu (16/4/2013).

“Perjanjian JV antara PT IMN dan Intrepid mengarah pada perjanjian

IESR : Kebijakan Dua Harga BBM Lebih Bersifat Politis

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai kebijakan pengendalian Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi menggunakan sistem dua harga lebih politis.

Karenanya, dia tegaskan, kebijakan itu sendiri bukanlah solusi efektif untuk mengatasi polemik yang disampaikan pemerintah selama ini.

“Menurut saya kebijakan tersebut lebih bersifat solusi politis dan tidak efektif karena membutuhkan pengawasan,” ujar Fabby kepada Tribunnews.com, Rabu (17/4/2013).

Apalagi, imbuhnya, rencana ini digulirkan pemerintah menjelang Pemilu 2014. Nuansa politik dibalik kebijakan ini terasa kental.

Kata dia lagi, dengan kebijakan dua harga BBM, pada dasarnya pemerintah menghindari risiko politik.
“Isu utamanya, subsdi BBM salah sasaran. Jadi ini yang perlu dikoreksi,” tandasnya.

Fabby lanjutkan, hanya ada di Indonesia kebijakan pengendalian BBM bersubsidi dengan menggunakan sistem dual price BBM.

“Opsi dual price BBM subsidi ini, saya yakin ini cuma ada di Indonesia,” tegasnya.

Karenanya, dengan kebijakan dua harga, pemerintah malah menyulitkan dirinya sendiri untuk menjaga citra politik masing-masing.

“Pemerintah menyulitkan diri sendiri utk menjaga citra politik masing-masing. Solusi yang lebih tepat adalah menaikkan harga BBM untuk mengendalikan subsidi,” tegas dia.

Sumber: Tribun News.

INDUSTRI EKSTRAKTIF : Kebutuhan Transparansi Makin Mendesak

BISNIS.COM, JAKARTA — Transparansi terhadap industri ekstraktif (minyak bumi, gas, mineral, dan batubara) di Asean semakin mendesak, khususnya untuk Indonesia.

Inisiatif untuk menyosialisasikan transparansi industri ekstraktif merupakan bagian dari upaya kelompok masyarakat di Asia sebagai masukan untuk pemerintah di negara-negara Asean.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa menjelaskan Asean merupakan wilayah strategis penghasil mineral dan batu bara (minerba) serta minyak bumi dan gas (migas). Sayangnya, transparansi di beberapa negara penghasil sumber daya alam tersebut masih bermasalah. Dia mencontohkan regulasi itu adalah desentralisasi.

“Asean menjadi basis penting untuk pertambangan minerba. Extractive Industri Transparency initiative [EITI] antara lain untuk pelaporan penerimaan negara hingga berapa besar bisnis yang harus dilaporkan. Untuk itu harus ada komunitas bersama untuk mengelola,” ujarnya, Rabu (17/4).

EITI diusung sebagai tanggapan positif komunitas sipil Asean menjelang terbentuknya ASEAN Economic Community pada 2015.

Sebelumnya, seruan ini diungkapkan dalam Asean People Forum 2013 yang telah diselenggarakan di Bandar Seri Begawan awal April 2013.

Pernyataan inisiatif tersebut berdasar studi mengenai transparansi tata kelola sumber daya alam. Dalam penelitian ini, IESR bekerja sama dengan Energy Analytics and Consulting, Nasional University of Singapore (NUS).

Analis Energi sekaligus Kepala Divisi Ekonomi Energi NUS Tilak Doshi mengatakan negara-negara di Asean menghadapi masalah yang sama dalam tata kelola sumber daya alam.

Sumber: bisnis.com.