Konversi BBG, Nelayan Boleh Pakai Elpiji 3 KG

20130513_gas-elpiji-3-kg-langka-di-batam_6566Jakarta – Penjualan bisnis hilir migas PT Pertamina (Persero) elpiji subsidi 3 kg kepada nelayan sebagai sumber Bahan Bakar Gas (BBG) tidak terbentur dengan aturan pemerintah.

Disinyalir kebijakan pemerintah mengenai barang subsidi akan membuat jumlah dan penyaluran elpiji 3 kg dibatasi. “Soal aturan itu tidak masalah, karena nelayan juga perlu subsidi. Kami akan koordinasikan agar elpiji 3 kg bisa dipakai pada mesin kapal nelayan sebagai BBG,” ujar Ketua Himpunan Wiraswata Nasional Miinyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas), Eri Purnomohadi, Selasa (18/6/2013).

Selain itu Eri juga akan meminta Pertamina untuk menambah stok elpiji 3 kg untuk kebutuhan nelayan sesuai dengan program konversi BBM ke BBG pada nelayan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat. “Kami ajukan ke Pertamina. Saat ini Pertamina menyiapkan 2 juta kl Solar untuk nelayan. Nah kuota itu yang akan dikurangi dan digantikan dengan elpiji,” kata Eri.

Tim Percepatan Konversi Bahan Bakar Minyak (BBM) ke Bahan Bakar Gas (BBG), Kementerian ESDM sepakat untuk melakukan kerja sama dengan pemerintah daerah (pemda) Jabung Barat, Jambi, dan perusahaan migas PertroChina guna merealisasikan aksi percepatan konversi BBG.

Ketua Tim Percepatan Konveri BBM ke BBG, Kementerian ESDM, Wira Atmaja Puja menjelaskan, guna mengantisipasi kenaikan BBM subsidi dalam waktu dekat, pihaknya bersama Bupati Jabung Barat, Jambi, dan PetroChina bakal memberikan 520 converter kit bagi nelayan untuk mengaplikasikan BBG dalam bentuk elpiji 3 kilo gram.

“Ini implementasi awal dengan menyasar ke Jabung Barat. Nanti 300 converter kit diberikan dari Kementerian ESDM ke tempat itu. Ada pun 200 unit lainnya dari Bupati Jabung Barat, sementara 20 converter kit diperoleh dari Corporate Social Responsibility (CSR) PetrcoChina,” kata Wira.

Sumber : inilah.com

Pulau-Pulau Terluar akan Dilistriki dengan Energi Terbarukan

logo-plnJAKARTA – Saat ini, rasio elektrifikasi di Tanah Air sebesar 76,3 persen dan ditargetkan sampai akhir tahun meningkat menjadi 79,6 persen, salah satunya yang belum mendapatkan aliran listrik yakni pulau terluar di Indonesia.

Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana akan mengembangkan sektor kelistrikan di pulau-pulau kecil dan sedang di seluruh Indonesia yang hingga kini belum teraliri listrik dengan energi baru terbarukan (EBT).

Direktur Konservasi, Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTE), Kementerian ESDM, Maritje Hutape menjelaskan, langkah ini guna membangun ekonomi seluruh daerah dengan mendorong pemanfaatan listrik.

“Kami mempunyai program pengembangan pulau ikonis (iconic island). Program untuk mengembangkan suatu pulau kecil dan sedang sehingga dapat memenuhi energi sendiri melalui pemanfaatan EBT,” tutur Maritje di Hotel Harris, Tebet, Jakarta, Rabu (19/6/2013).

Maritje menilai, program iconic island telah berjalan di Pulau Sumba. Pulau itu sudah dapat mandiri dengan memanfaatkaan sumber energi yang diperoleh lewat pemanfaatan potensi EBT

Maritje menjelaskan, dengan mengimplementasikan program ini maka ekonomi dari di beberapa pulau kecil dan sedang akan berjalan.

“Implikasinya, kesejahteraan masyarakat dan sistem pembangunan juga dapat berjalan dengan baik,” jelasnya.

Maritje mengungkapkan, saat ini sejumlah pulau yang tersebar di Indonesia memiliki potensi EBT yang cukup besar. Di antaranya adalah potensi panas bumi, dan air yang cukup besar sehingga dapat dioptimalkan sebagai sarana sumber energi bagi pembangkit listrik.

“Kini realisasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) bakal mencapai 3.967 megawatt (mw). Ada pun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) 1.174 mw,” tuturnya.

Sumber : okezone.com

82 Juta orang belum nikmati listrik, 124 Juta gunakan kayu bakar

2903Cw1Indonesia sudah merdeka lebih dari 60 tahun. Namun, tidak semua rakyat Indonesia hidup berkecukupan. Iklim kemerdekaan belum dirasakan betul oleh seluruh rakyat Indonesia. Indikator mudahnya, sebagian besar rakyat Indonesia belum menikmati infrastruktur dasar yang menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakannya.

Berdasarkan data dari International Energy Agency (IEA) yang berpusat di Amerika, dari 237 juta penduduk Indonesia, 82 juta diantaranya belum mendapat akses kelistrikan. Tidak hanya itu, lembaga dunia yang konsen di bidang energi tersebut juga mencatat, masih ada sekitar 124 juta penduduk Indonesia yang bergantung pada biomassa padat tradisional, seperti kayu bakar dan arang untuk memasak. Atas kondisi itu Indonesia dimasukkan sebagai salah satu negera miskin di dunia.

IEA memiliki program Sustainable Energy for All’ (SEfA) yang diluncurkan pada 2011 oleh Sekjen PBB, Ban Ki Moon. Berangkat dari kondisi penduduk Indonesia yang belum semuanya menikmati listrik dan masih mengandalkan kayu bakar, program ini diyakini bakal berhasil diterapkan di Indonesia.

Tiga target utama SEfA pada tahun 2030 mendatang adalah fokus pada akses universal pada layanan energi modern, penggandaan laju konservasi energi secara global serta menggandakan komposisi energi terbarukan dalam bauran energi global.

Institute for Essensial Services Reform (IESR) melihat Indonesia relatif pasif dan terlambat dalam melaksanakan tiga hal tersebut. ” Indonesia sangat strategis, penting juga reputasi bagus, karena sudah dilihat. Tapi setelah komitmen mau ngapain?. Kami melihat belum ada arah yang jelas,” jelas Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa di hotel Harris, Jakarta, Rabu (19/6).

IESR menyambut baik inisiatif SEfA diterapkan di Indonesia. IESR memberikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah antara lain perlunya mempertimbangkan isu-isu kritis seperti pemanfaatan sumber daya energi secara berkeadilan dalam mewujudkan energi yang mudah diakses.

Selain itu, perlunya pemberdayaan masyarakat, khususnya masyarakat setempat untuk terlibat aktif dalam upaya penyediaan energi melalui pengelolaan sumber daya energi terbarukan yang tersedia.

Terakhir, investasi dalam pemanfaatan sumber daya energi perlu mempertimbangkan dampak langsung dan tidak langsung terhadap masyarakat setempat.

“Dalam upaya untuk merumuskan rencana aksi SEfA di Indonesia, pemerintah Indonesia perlu memastikan agar naskah dokumen rapid assesment/gap analisys tersedia untuk diakses oleh publik, dan memastikan adanya forum konsultasi secara terbuka yang melibatkan OMS (Organisasi Masyarakat Sipil) setiap tahap dan saat finalisasi prioritas rencana aksi,” katanya.

Sumber : merdeka.com

Pemerintah Didesak Prioritaskan Listrik untuk Daerah Terpencil

pembangkit-listrikJAKARTA – Institute for Essential Services Reform (IESR) meminta kepada Pemerintah agar sektor kelistrikan di daerah terpencil atau di pulau terluar di Tanah Air bisa menjadi prioritas utama.

Ketua IESR Fabby Tumiwa mengatakan, yang belum mendapatkan akses kelistrikan di Tanah Air mencapai 14,7 juta rumah tangga. Namun Pemerintah malah fokus melistriki daerah Jawa dan sekitarnya untuk ketahanan dan ketersediaan.

“Melistriki 14,7 juta rumah tangga memang tidak mudah, itu sekarang mereka tinggl di pedesaan pelosok terpencil, nah untuk menyewa biaya akses listrik mahal sekali, tidak murah. Pemerintah punya dana untuk itu, tapi malah fokus untuk ketersediaan di wilayah Jawa dan sekitarnya,” ungkap Fabby kepada wartawan di Hotel Harris Tebet, Jakarta, Rabu (19/6/2013).

Fabby menjelaskan, dana Pemerintah tersebut habis itu realibility daerah Jawa dan sekitarnya namun akses listrik didaerah terpencil tidak ditingkatkan.

“Ini yang sulit, bagaiamana mau melistriki yang 14,7 juta itu?” tegas Fabby.

Namun Fabby melihat masalah ini, karena faktor keekonomian daerah terpencil memang terbatas, pasalnya daerah tersebut mendapatkan uang dari hasil pertanian yang fluktuatif.

“Kemampuan membayar mereka rendah juga, tergantung membayar dengan siklus yang lain, ini menjadi permasalahan. Mungkin Pemerintah melihat ini karena sisi ekonomi. Yang ini buat skala belakang bukan menjadi skala prioritas,” pungkasnya.

Sumber : okezone.com

Siaran Pers : Mewujudkan Akses Energi yang Berkeadilan di Indonesia Membutuhkan Keseriusan dan Determinasi Pemerintah

Pemerintah Indonesia didesak agar segera merumuskan proses implementasi Sustainable Energy for All1 (SEfA), diantaranya konsultasi multi-pihak, dan membuat kajian cepat (rapid asessment)/analisa kesenjangan (gap analysis) yang dapat mendukung pembuatan rencana aksi untuk memastikan Indonesia dapat berkontribusi dalam pencapaian target SEfA.

Fabby Tumiwa dari Institute for Essential Services Reform (IESR) menyampaikan bahwa Indonesia relatif pasif dan terlambat dalam melaksanakan tiga hal tersebut diatas sejak menyatakan dukungannya pada inisiatif ini pada bulan Juni 2012. Kajian cepat/analisa kesenjangan sangat penting untuk untuk mengetahui kebutuhan teknologi serta pendanaan yang diperlukan. Tanpa adanya hal tersebut dikuatirkan rencana aksi yang dihasilkan menjadi tidak terarah dan terpadu. Keterlambatan ini tidak hanya berdampak pada hasil yang dicapai, melainkan juga kehilangan kesempatan dukungan internasional.

Di tahun 2011, Sekjen PBB, Ban Ki Moon, meluncurkan inisiatif Sustainable Energy for All (SEfA). SEfA memiliki tiga target untuk dicapai pada tahun 2030: akses universal pada layanan energi modern, penggandaan laju konservasi energi secara global, serta menggandakan komposisi energi terbarukan dalam bauran energi global. Di tahun 2012, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM menyampaikan dukungannya untuk berperan serta mendukung pencapaian ketiga target tersebut.

Indonesia merupakan salah satu negara di yang dinilai memiliki dampak yang tinggi (high impact) dari keberhasilan mengimplementasikan SEfA. Indonesia merupakan salah satu negara yang rakyatnya miskin energi. Menurut IEA (2011), Indonesia memiliki 82 juta populasi tanpa akses listrik dan sekitar 124 juta orang yang bergantung pada biomassa padat tradisional (kayu bakar, arang) untuk memasak. Penggunaan biomassa padat ini menyebabkan penurunan kapasitas paru-paru dan sakit gangguan pernafasan di Indonesia.

Ketiadaan akses dan kekurangan pasokan energi menyebabkan sebagian besar dari mereka tetap sukar keluar dari jerat kemiskinan. Dengan demikian implementasi SEFA di Indonesia dapat mempercepat masyarakat miskin energi ini dapat terpenuhi kebutuhan energinya dan dapat keluar dari jerat kemiskinan.

“Pelaksanaan inisiatif SEFA di Indonesia membantu pemerintah Indonesia untuk memiliki target-target yang terukur dalam mengentaskan kemiskinan energi dengan menyediakan akses energi yang cukup bagi masyarakat miskin, dan mewujudkan keadilan energi di Indonesia,” imbuh Fabby.

Henriette Imelda, spesialis Energi dan Perubahan Iklim dari IESR menyatakan untuk memastikan kemajuan yang terukur Pemerintah Indonesia juga harus membuat serangkaian indikator pencapaian yang dapat diakses dan dimonitor oleh seluruh pihak, sebagai alat memonitor implementasi rencana aksi untuk mencapai target akses universal atas layanan energi modern, energi terbarukan, serta implementasi efisiensi energi di Indonesia. Indikator ini dapat mendukung laporan kemajuan melalui Global Tracking Framework yang telah dirilis oleh SEfA bulan lalu.

Selain itu, pemerintah juga diminta untuk menyiapkan pendanaan yang memadai untuk dapat memenuhi target akses energi, rasio energi terbarukan, serta efisiensi energi. Salah satu sumber pendanaan adalah dengan melakukan pengalihan subsidi BBM dan listrik yang tidak tepat sasaran untuk mendukung pendanaan energi perdesaan.

Kajian yang dilakukan oleh IESR (2012) mengenai sumbatan investasi efisiensi energi di Indonesia menyatakan bahwa subsidi harga energi memberikan sumbatan investasi menjadi tinggi. Kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) sebesar rata-rata 15% di tahun 2013 misalnya, dapat meningkatnya daya tarik investasi. Hasil studi tersebut menyatakan bahwa sasaran yang ditetapkan melalui Kebijakan Energi Nasional agar elastisitas energi menjadi lebih kecil dari 1 (satu) pada tahun 2025, untuk memenuhi target pertumbuhan ekonomi, dengan kebijakan konservasi dan efisiensi energi yang ada saat ini, tidak akan tercapai. Hal ini disebabkan karena harga energi yang berlaku masih jauh di bawah harga keekonomiannya. Studi yang sama menyatakan bahwa harga energi mendominasi keputusan untuk melakukan proyek efisiensi energi dan konservasi energi.

Subsidi energi yang saat ini ada di Indonesia juga melemahkan daya saing layanan energi dari energi terbarukan, dimana harga produksi yang tinggi tidak didukung oleh insentif dari pemerintah yang sepadan. Dengan harga produk yang tinggi, tidak mungkin energi terbarukan mampu berkompetisi dengan bahan bakar fosil yang disubsidi.

Menurut IESR, keberhasilan untuk mencapai keadilan energi di Indonesia membutuhkan keberanian, konsistensi dan determinasi pemerintah untuk melakukan reformasi subsidi energi. Pemerintah harus berani mengurangi subsidi energi yang tidak tepat sasaran dan mengalokasikan dana tersebut untuk mempercepat pembangunan energi perdesaan, mengembangkan energi terbarukan dan mendorong investasi efisiensi energi.

Jakarta, 19 Juni 2013

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

  • Henriette Imelda, HP: 081383326143 Email: imelda@iesr.or.id
  • Fabby Tumiwa, HP: 0811949759 Email: fabby@iesr.or.id