FGD#2 Pendanaan Energi Berkelanjutan di Indonesia

Backdrop-5x2.5m-WWF-IDN-sustainable-energy-finance

Sehubungan dengan studi mengenai Pendanaan Energi Berkelanjutan di Indonesia, WWF Indonesia bekerja sama dengan Institute for Essential Services (IESR), yang didukung oleh NORAD, kembali mengadakan serial focus group discussion yang ke-2, pada tanggal 26 Juli 2013 lalu di Hotel Mahakam. Focus Group Discussion ini lebih berfokus pada pembelajaran dari proyek-proyek energi yang ada di Indonesia, serta pembelajaran di tingkat ASEAN.

Fabby Tumiwa dari Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan ulang permasalahan dari pendanaan energi di Indonesia, sebagai pembuka diskusi serta penjabaran latar belakang dari studi ini. Ada 3 isu kunci dari penyediaan energi di Indonesia, yaitu:

  1. Pertumbuhan kebutuhan energi yang tinggi sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi. Isu ini memberikan tantangan tentang perlunya melakukan diversifikasi energi, terutama peningkatan porsi energi terbarukan dalam bauran energi, dalam rangka pemenuhan kebutuhan energi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang diinginkan. Padahal, sumber daya dari energi terbarukan kebanyakan terletak di daerah pelosok, sedangkan permintaan lebih banyak ada di daerah perkotaan. Jelas, dengan kondisi seperti ini, konservasi energi menjadi sangat penting untuk dilakukan di wilayah perkotaan dan menjadi bagian dalam skema ketahanan energi.
  2. 2. Isu kemiskinan energi dan pemerataan energi masih sangat kental di Indonesia. Saat ini, jumlah masyarakat yang belum memiliki listrik ada sekitar 15 juta rumah tangga. Tentu saja, ini menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, dan pada saat yang bersamaan, pemenuhan kebutuhan energi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang merata, juga sangat diperlukan.
  3. Adanya masalah peningkatan emisi gas rumah kaca di sektor energi, yang menuntun pada isu perubahan iklim.

Saat ini pembiayaan energi berkelanjutan di Indonesia masih sangat bergantung pada donor internasional, seperti hibah dan pinjaman lunak dari donor multilateral dan bilateral seperti World Bank, GEF, UNDP, NEDO, dan lainnya. Semenjak tahun 2000, saat Indonesia sudah semakin kaya, yang ditandai dengan meningkatnya APBN serta APBD, pembiayaan energi berkelanjutan yang non komersial (elektrifikasi perdesaan, daerah tertinggal) dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah melalui alokasi di APBN dan APBD. Teknologi seperti SHS, biogas, kompor hemat energi, mikrohidro, semakin sering diperkenalkan, terutama setelah adanya Kebijakan Energi Nasional di tahun 2006 yang menyatakan perlunya peningkatan komposisi energi terbarukan hingga 17% dalam bauran energi.

Walau demikian, dana yang sangat besar ini kemudian dikelola dengan tidak efektif. Terbukti dengan adanya proyek energi terbarukan yang didanai oleh APBN dan APBD yang tidak berkelanjutan; khususnya PV, serta beberapa biogas dan mikrohidro.

Praktek-praktek yang ada saat ini menunjukkan bahwa ada jeda pendanaan (financing gap) yang terjadi di Indonesia; diantaranya adalah:

  • APBN dan APBD yang digunakan untuk energi terbarukan hanya mencakup investasi di pengadaan teknologi, tidak termasuk upaya-upaya untuk mempersiapkan instisusi, serta komponen operational and maintenance (O&M) setelah proyek tersebut habis tenggat waktunya.
  • Pendanaan dari multilateral dan bilateral, hibah, hanya digunakan untuk proyek-proyek skala menengah sampai skala besar.
  • Pembiayan komersial juga hanya dilakukan untuk skala menengah sampai besar (Pembangkit Listrik Tenaga Air ukuran mini, 1-10 MW)
  • NGO hanya memberikan bantuan untuk pembangkit berskala kecil yang hanya dapat melistriki sampai 100 rumah.

Studi kasus pertama diawali oleh AZET Surya Lestari, yang pada kesempatan ini disampaikan oleh Bapak Abdul Kholik sehubungan dengan Indonesia Solar Energy Loan Program. Banyak pemikiran yang banyak beredar mengenai mahalnya mendapatkan listrik dari matahari. Padahal, setelah dihitung-hitung, justru dengan menggunakan surya, biaya yang dikeluarkan akan lebih murah, terutama dengan kondisi dimana harga listrik menanjak naik. Menurut perhitungan AZET, dalam waktu 5 tahun, pemasangan SHS akan mencapai nilai break even point-nya.

Kegagalan-kegagalan yang umumnya terjadi pada proyek-proyek SHS di daerah-daerah adalah:

  1. Manajemen energi. Teknologi SHS erat hubungannya dengan manajemen energi. Jadi, apabila diberikan sistem untuk menyalakan 3 lampu, harusnya tidak boleh dinyalakan secara bersamaan. Di beberapa desa dimana AZET melakukan uji coba, ternyata perilaku masyarakat tidak demikian. Mereka cenderung untuk menyalakan lampu tersebut secara bersamaan dan terus menerus, yang akhirnya mengganggu keseimbangan energi pada perangkat teknologi dan berakibat pada rusaknya baterai.
  2. Pemeliharaan. Memang pemeliharaan fasilitas energi surya cenderung sederhana dan relatif mudah. Walau demikian, tetap diperlukan kedisiplinan untuk melakukannya. Contohnya dengan penambahan air aki selama 6 (enam) bulan sekali. Hal sederhana tersebut dapat terlewat karena keteledoran dari masyarakat yang bertanggung jawab pada fasilitas tersebut.
  3. Short Component Life, dimana umur dari teknologi yang digunakan sangat pendek, sehingga menjadi persoalan tersendiri. Itu sebabnya kemudian AZET keluar dengan komponen baru bernama SLS atau Small Light System. Sebagai penunjangnya, dijaring juga para local entrepreneur untuk membuat mini charging station (wartes), dengan menggunakan SHS yang sebelumnya pernah digunakan. Mini charging station ini kemudian berevolusi tidak hanya terbatas pada memberikan jasa charging, tapi juga jasa-jasa lainnya seperti menyewakan peralatan atau jual peralatan, seperti lampu. Wartes juga memberikan cicilan kepada masyarakat apabila masyarakat ingin melakukan hal yang sama. Dengan melakukan hal ini, maka tercipta kebutuhan pasar, dimana banyak orang nanti bisa terlibat didalamnya.

Bapak Abdul Kholik juga menyatakan bahwa kunci sukses yang sekaligus merupakan tantangan dari proyek ini adalah:

  1. Ekspektasi dari pengguna akhir hanya di lampu saja dan tidak melebar untuk memiliki perangkat elektronik lainnya.
  2. Variasi produk, sehingga wartes tidak hanya menjual lampu saja, tapi juga menjual barang-barang lainnya, untuk meningkatkan pendapatan mereka.
  3. Permodalan, yang masih memerlukan bantuan dari pihak lain.
  4. Kontrol terhadap operasional di bawahnya. Lantaran kondisi geografis, kontrol terkadang sulit untuk dilakukan, sehingga menyebabkan adanya peminjaman uang yang terlalu besar yang biasanya digunakan untuk kepentingan pribadi.

Studi kedua yang dipaparkan berasal dari PPLH (Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup) Seloliman Trawas mengenai mikrohidro. Mikrohidro Seloliman didirikan dengan dana hibah, untuk memberikan akses listrik di Dusun Janjing, lantaran mereka tidak mendapatkan akses listrik dari PLN. Walau demikian, setelah hampir 20 tahun berdiri, mikrohidro Seloliman hari ini bukan hanya dapat memenuhi kebutuhan listrik dari masyarakatnya yang berjumlah sekitar 100 kk (kepala keluarga), namun juga dapat menghasilkan listrik tambahan untuk dijual ke PLN.

PLTMH Seloliman pada mulanya memiliki daya sebesar 12 kW dengan sistem pendanaan kolaboratif, yaitu dari lembaga donor dan swadaya masyarakat, pada saat itu sistem manajemen masih dikendalikan oleh PPLH Seloliman. Pada tahun 2000, kapasitas PLTMH ditingkatkan manajemen dan besarannya menjadi 35 kW untuk memenuhi kebutuhan listrik Dusun Janjing, PPLH Seloliman, dan unit usaha kecil di Dusun Sempur. Pada titik inilah manajemennya kemudian dirubah ke dalam bentuk paguyuban, dengan harapan masyarakat lah yang dapat lebih banyak terlibat aktif. Di tahun 2007, dibangun PLTMH kedua dengan kapasitas 14,5 kW untuk elektrifikasi dusun Balekambang dan dusun Biting sejumlah 50 kk, dimana kelebihan listriknya akan diinterkoneksikan ke PLN melalui sistem paralel ke PLTMH Kali Maron. Hasil penjualan listrik ke PLN menjadi tabungan mereka untuk membangun PLTMH yang baru.

Bapak Suroso menyatakan bahwa yang menjadi kunci sukses adalah karena dikelola oleh kelompok masyarakat dalam bentuk Paguyuban dengan manajemen profesional dimana terdapat AD/ART yang disepakati bersama, sistem pentarifan, serta adanya penunjukkan sistem kerja pelaksana harian yang mendapatkan kompensasi.

Beberapa hambatan dan tantangan yang masih dihadapi oleh PLTMH Seloliman adalah:

  1. Kesepakatan dengan PLN yang sifatnya masih jangka pendek/tahunan, serta harga jual listrik yang masih di bawah ketentuan (harga listrik ketentuan adalah Rp. 668/kWh, sedangkan yang didapat oleh Seloliman adalah Rp. 533/kWh sejak tahun 2005).
  2. Masih bergantung pada pihak luar untuk fabrikasi, sehingga menjadi tidak ekonomis. Apabila ada kerusakan atau harus membeli suku cadang, mereka harus pergi ke Bandung karena di Jawa Timur belum ada.
  3. Belum ada insentif langsung terhadap inisiatif lokal dalam hal rehabilitasi kawasan hutan dan daerah aliran sungai.

Studi kasus yang ketiga merupakan pembelajaran dari Indonesia Domestic Biogas Programme oleh Ibu Agi S. Cakradirana dari HIVOS. Proyek BIRU, atau Biogas Rumah, dilatarbelakangi oleh fakta rendahnya akses energi di Sumba, dimana HIVOS bekerja sama dengan BNI semenjak tahun 2011. Tentu saja ini menjadi tantangan tersendiri, mengingat pasarnya yang sulit serta mitra yang sedikit. Dari 4 tahun implementasi, terdapat beberapa pembelajaran dari Program ini:

  1. Kerjasama dengan Pemerintah, umumnya memberikan barang secara gratis, dimana kepemilikannya menjadi kurang. Pasar menjadi terganggu karena masyarakat jadi hanya menunggu barang gratis tanpa ada upaya lain.
  2. Fasilitas kredit. Koperasi setempat hanya akan memberikan pinjaman pada mitra. Namun, apabila mitra tersebut tersangkut kredit macet, maka, koperasi tidak akan mempromosikan mitra tersebut. Lama kelamaan, mereka tidak lagi memiliki mitra karena jumlahnya berkurang. Hal ini diperburuk dengan keengganan koperasi untuk melebarkan wilayah usaha, untuk mendapatkan mitra yang baru.
  3. Perlu kerjasama untuk meningkatkan efektivitas implementasi, karena BIRU tidak dapat bergerak sendiri. Diperlukan promosi dari penggunanya untuk meningkatkan peminat.
  4. Pilihan pendanaan. Tidak banyak mitra yang memiliki kemampuan untuk pre-financing; bukan hanya untuk pembangunan, namun juga untuk keberlanjutan seperti monitoring, dan lain-lain.
  5. BIRU juga mempertimbangkan pilihan untuk masuk ke dalam pasar karbon melalui mekanisme voluntary market menggunakan Gold Standard.

Focus Group Discussion tersebut juga mempaparkan pembelajaran dari ASEAN, yang disampaikan oleh Bapak Hardiv Situmeang dari ASEAN Center for Energy. Bapak Hardiv menyampaikan, bahwa ada aspek-aspek yang sangat relevan untuk kesuksesan proyek elektrifikasi perdesaan, yaitu:

  1. Teknologi yang tepat
  2. Keterlibatan masyarakat serta aspek sosial ekonomi
  3. Pelatihan dan peningkatan kapasitas yang terus menerus
  4. Kerangka kebijakan yang stabil dan dapat diprediksi
  5. Dukungan kebijakan yang reliable dan mekanisme pendanaan yang dapat diterapkan
  6. Susunan keberlanjutan proyek dan model bisnis

Menurut survey mengenai hal-hal yang paling penting dalam implementasi proyek-proyek elektrifikasi, skema pendanaan, setup proyek dan bisnis model dianggap hal yang paling penting ketimbang partisipasi lokal atau pun kepemilikan.
Dari sekian banyak mekanisme pendanaan yang diberlakukan di seluruh negara ASEAN, yang tentunya berbeda-beda kepemilikannya, beberapa elemen kunci dapat diidentifikasi:

  1. Menetapkan kerangka kebijakan dalam rangka meyakinkan sektor swasta untuk terlibat dalam kegiatan elektrifikasi perdesaan yang off-grid
  2. Menentukan tarif listrik yang tepat untuk elektrifikasi perdesaan yang off-grid
  3. Perlu dihindari adanya subsidi pada saat pendekatan elektrifikasi perdesaan berbasis pasar masih memungkinkan untuk dilakukan
  4. Perlunya kesepakatan jangka-panjang antara publik dan mitra swasta
  5. Perlu dihindari adanya keterlibatan politik dalam pemilihan model bisnis untuk proyek eletrifikasi perdesaan yang off-grid
  6. Karakter dari lokasi juga memegang peranan penting

Diskusi : Pendanaan Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia

foto 1 - 26 Juli 2013Perubahan iklim telah terjadi dimana-mana. Dampaknya berupa cuaca ekstrim sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Banjir yang terjadi di Magdeburg, Jerman, bulan Juni yang lalu juga menjadi salah satu dampak dari perubahan iklim. Walau demikian, tidak banyak orang yang membicarakan mengenai pendanaan untuk adaptasi perubahan iklim di Indonesia. Walaupun adaptasi lebih sulit untuk diukur dibandingkan dengan upaya mitigasi, namun kebutuhan pendanaannya jauh lebih besar daripada mitigasi. Institute for Essential Services Reform (IESR) yang merupakan bagian dari Indonesia Climate Change Alliance (ICA), mengadakan diskusi mengenai pendanaan adaptasi perubahan iklim, terutama di Indonesia. Diskusi ini mengambil tempat di Hotel Cemara, dan dilangsungkan pada tanggal 26 Juli 2013 yang lalu. Diskusi ini dihadiri oleh Bapak Ari Mochamad, Sekretaris Kelompok Kerja Adaptasi dari Dewan Nasional Perubahan Iklim. Juga Bapak Raphael Anindito dari GIZ, serta Ibu Wahyuningsih Darajati dari Bappenas.

Diskusi dibuka oleh Bapak Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR). Dalam pembukaannya, Fabby menyatakan pentingnya untuk membicarakan tentang pendanaan adaptasi perubahan iklim, mengingat di tingkat internasional, ada gelagat yang menunjukkan penipisan dana untuk adaptasi perubahan iklim. Contoh saja Adaptation Fund, yang sumber pendanaannya berasal dari 2% hasil transaksi karbon untuk Clean Development Mechanism. Estimasi dana untuk Adaptation Fund, pada awalnya bisa mencapai hingga ratusan miliar dollar per tahun, dengan perkiraan harga karbon sampai dengan 30 euro per tonnya, ternyata meleset sangat jauh. Harga karbon di pasar karbon Eropa turun drastis hingga 4-5 euro. Di lain pihak, apabila semua orang enggan untuk membicarakan mengenai pendanaan untuk kegiatan adaptasi perubahan iklim, lalu bagaimana mengatasi dampak-dampak perubahan iklim yang akan terjadi di kemudian hari? Terutama bagi negara berkembang yang kapasitasnya masih sangat terbatas.

foto 2 - 26 Juli 2013Bapak Ari Mochamad memberikan gambaran mengenai permasalahan adaptasi dan kebutuhan pendanaan adaptasi di Indonesia. Ari menyatakan bahwa sekarang dampak perubahan iklim sudah semakin nyata, dan bukan hanya negara berkembang saja yang mengalaminya, negara maju pun mengalaminya. Hal ini membuat banyak pikiran negatif mengenai apakah negara maju akan memenuhi komitmen mereka untuk memobilisasi dana perubahan iklim bagi negara berkembang, hingga USD 100 miliar per tahunnya. Kota New York contohnya, mereka harus mengalokasikan sebesar USD 20 miliar, akibat bencana yang dialami beberapa waktu lalu. Kehilangan sejumlah besar uang untuk membenahi situasi dalam negeri, sedikit banyak mempengaruhi keputusan negara maju untuk mengalirkan dana mereka kepada negara berkembang.

Banyak hal yang seringkali salah dimengerti orang, menganggap bahwa adaptasi adalah isu yang sama sekali terpisah dengan isu mitigasi, merupakan salah satunya. Pada dasarnya adaptasi dan mitigasi bukanlah dua hal yang dapat dipisahkan, karena keduanya memiliki dampak dan saling mempengaruhi dalam fungsi ekonomi, fungsi keanekaragaman hayati, fungsi budaya, dan fungsi air.

Apabila kita berbicara mengenai masalah adaptasi, maka akan menuntun kita pada satu masalah yang harus dipecahkan, yaitu ketidakpastian. Justru ketidakpastian inilah yang membuat isu adaptasi menjadi lebih kompleks dan tidak menarik bagi banyak negara maju untuk memberikan dananya. Ketidakpastian ini membuat isu adaptasi akan berkembang, melibatkan multidisiplin, dan multisektor. Itu sebabnya setiap rencana aksi adaptasi yang disusun, sudah seharusnya diberikan ruang untuk mengakomodir perkembangan tersebut. Walau demikian, banyak pihak juga yang kemudian menjadikan ketidakpastian menjadi alasan untuk pihak tersebut tidak melakukan apa-apa.

Bapak Raphael Anindito dari GIZ juga menyatakan ketidakpastian sebagai salah satu tantangan dalam isu adaptasi. Ketidakpastian tersebut membuat sulitnya menetapkan kebutuhan pendanaan untuk adaptasi. Ketidakpastian ini juga membuat ketimpangan pendanaan perubahan iklim antara mitigasi dan adaptasi menjadi jomplang sampai dengan 90%. Bagi Indonesia, pendanaan dalam bentuk pinjaman menjadi masalah. Kalaupun pendanaan untuk adaptasi itu ada, maka Indonesia memerlukan apa yang disebut dengan National Implementing Entity untuk dapat meng-akses dana tersebut.

Bapak Anindito memaparkan mengenai potensi dari sumber pendanaan untuk kegiatan adaptasi:

  1. Dana publik
    COP 13 di Bali sebenarnya sudah menegaskan tentang pembentukan Adaptation Fund, yang nilainya diperkirakan mencapai USD 270-600 miliar dari hasil transaksi Clean Development Mechanism (CDM). Walau demikian, seperti yang telah disampaikan di awal tadi, ternyata keberlanjutan dana di kantung Adaptation Fund menjadi mengkhawatirkan.
    Dana lainnya adalah USD 100 miliar per tahun yang menjadi kesepakatan di Copenhagen, dimana negara maju menyatakan komitmennya untuk mengucurkan dana sebesar USD 100 miliar per tahun bagi negara berkembang. Faktanya, hingga kini masih belum ada indikasi mengenai sumber dana yang mencapai USD 100 miliar per tahun tersebut.
  2. Pendanaan dari pihak Swasta, baik dari internasional maupun nasional.
    Pendanaan dari pihak swasta sangat patut untuk dilirik, karena sebenarnya sektor swasta lebih banyak memiliki dana ketimbang publik. Namun, tentu saja kembali lagi, apa yang menjadi insentif bagi pihak swasta apabila mereka berkontribusi secara positif untuk menggalang dana sebesar USD 100 miliar tersebut.
  3. Pendanaan pribadi/rumah tangga
    Pendanaan pribadi sebenarnya adalah salah satu pendanaan yang dibangkitkan dari pelaku kegiatan adaptasi itu sendiri. Karena mereka yang mengalami, sehingga seringkali korban dampak perubahan iklim justru harus menanggung dampak yang jauh lebih besar dari yang lainnya.

Ibu Wahyuningsih Darajati, Direktur Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), menyampaiakn permasalah dari institusi pendanaan di Indonesia. Dari Rencana Aksi Nasional untuk Adaptasi Perubahan Iklim yang sedang disusun oleh Bappenas, Ibu Wahyuningsih menyatakan estimasi kebutuhan pendanaan untuk adaptasi perubahan iklim di Indonesia, mencapai hingga Rp. 840 triliun, jauh lebih tinggi daripada kegiatan mitigasi yang tertuang dalam RAN GRK, yang mencapai Rp. 225 triliun. Hingga kini, masih belum ada bayangan mengenai sumber pendanaan perubahan iklim, khususnya untuk adaptasi, dapat diterapkan di Indonesia. Sumber pendanaan untuk kegiatan adaptasi perubahan iklim, hingga kini masih harus mengandalkan dana APBN.

Materi presentasi dapat diunduh di bawah ini: