Indonesia Makin Butuh Geothermal

gheotermal
Sebuah Pusat Listrik Tenaga Panas Bumi (Geothermal) di Kenya (Foto: dok).Untuk mengembangkan geothermal, Indonesia masih harus banyak belajar pada tiga negara yaitu Selandia Baru, Islandia dan Amerika Serikat.

JAKARTA – Menurut Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Susilo Siswo Utomo, di Jakarta, Selasa (26/11), upaya menambah sumber listrik baru sudah tidak dapat dihindari agar tidak terjadi krisis listrik.

“Bahwa tantangan pemerintah Indonesia adalah bagaimana cara kita bisa membangun pembangkit listrik paling tidak 5.000 megawatt per tahun, kemudian kalau untuk geothermal itu kira-kira paling kita 400 megawatt per tahun, ini terus dilaksanakan, harus dilaksanakan kalau tidak nanti Indonesia bisa krisis,” ujar Wamen ESDM, Susilo Siswo Utomo.

Pengamat kelistrikan dari Institute for Essential Service Reform, Fabby Tumiwa kepada VOA mengatakan untuk memenuhi kebutuhan geothermal di tanah air butuh waktu dan investasi besar.

“Untuk listrik, itu ‘kan proyeksi kebutuhan kita sampai dengan 2020 dibutuhkan 4.000 sampai 5.000 megawatt new install capacity setiap tahun untuk memenuhi tingkat pertumbuhan listrik saat ini. Jadi memang dibutuhkan pembangkit baru,” kata Fabby Tumiwa.

“Rencana sampai tahun 2020 itu panas buminya itu diharapkan bisa terbangun tambahan 4.000 megawatt, 10 tahun kita 400 megawatt per tahun, tapi kalau kita liat track dari 2010 sampai dengan saat ini kayaknya realisasi untuk bisa 4.000 megawatt tambahan sampai dengan 2020 itu susah terpenuhi, kurang realistis target itu mungkin, pembangunan panas bumi lambat sekali,” lanjutnya.

Fabby Tumiwa menambahkan pemerintah harus mempermudah aturan agar para calon investor berminat berinvestasi sektor geothermal, terutama masalah perizinan. Ia menilai untuk mengembangkan geothermal di Indonesia membutuhkan pihak asing karena selama ini Indonesia masih harus banyak belajar pada tiga negara yaitu Selandia Baru, Islandia dan Amerika Serikat.

“Masalah lelang, perizinan itu selalu jadi isu, lelang yang dilakukan oleh pemerintah biasanya tidak menghasilkan kandidat investor yang baik, yang mendapatkan WKP, wilayah kerja panas bumi itu tidak mampu untuk merealisasikan investasi karena masalah perizinan, sudah dapat izin tapi begitu mau eksekusi masih ada kendala masalah izin penggunaan kawasan hutan, jadi bukan regulasi, perizinan pinjam pakai kawasan hutan,” jelas Fabby.

“Ada beberapa yang beralasan masalah regulasi tapi kalau saya lihat regulasi panas bumi sudah lebih bagus ya, tetapi memang kualitas investor juga nggak mau ambil resiko, finansialnya terbatas, capital investmentnya 2.500 sampai 4.000 dollar per kilowatt tergantung pada lokasi, tergantung pada size kualitas uap steamnya, kita juga banyak belajar panas bumi dari New Zealand, dari Islandia juga banyak tapi untuk teknologi itu Amerika sudah mengembangkan,” kata pengamat kelistrikan dari Institute for Essential Service Reform ini.

Hingga saat ini kemampuan produksi listrik nasional sebesar 40 ribu megawatt sementara kebutuhan listrik nasional sebesar 32 ribu megawatt. Meski masih surplus 8.000 megawatt, pemerintah tetap berupaya menambah 5.000 megawatt setiap tahun untuk cadangan.

Tahun ini pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi listrik sebesar Rp 100 trilyun, namun anggaran subsidi listrik tahun depan akan turun menjadi sebesar Rp 72 trilyun.

sumber: voaindonesia.com.

Sawit untuk Bahan Bakar tidak Ganggu CPO

kaltim-kaya-energi-tapi-belum-bisa-penuhi-pasokanMetrotvnews.com, Jakarta: Persentase produksi kelapa sawit yang lebih besar dibanding kebutuhan minyak goreng dalam negeri membuat pemanfaatan kelapa sawit untuk bahan bakar sangat memungkinkan dilakukan. Apalagi Uni Eropa menerapkan pajak untuk ekspor CPO. Ini mendukung pemanfaatan biodiesel di dalam negeri.

Kendati begitu, pengamat energi Fabby Tumiwa mengingatkan jaminan pada suplai harus diimbangi dengan permintaan yang stabil. Pengusaha harus mengetahui lima tahun ke depan outlook supply and demand untuk menentukan rencana jangka panjang. Jika tidak, hal ini akan menimbulkan ketidakpastian. “Perlu ada kepastian regulatory framework dan rencana jangka panjang tahapan peningkatan campuran biodiesel,” kata dia.

Untuk menstabilkan harga dan menjamin pasokan secara jangka panjang, ia mengusulkan pemerintah untuk memberdayakan pengusaha kelapa sawit kecil. “Bikin kontrak jangka panjang dan pengilangan dalam negeri. Biar BUMN yang kelola, Bulog misalnya,” kata dia.

Di negara lain seperti Brasil, keberhasilan program biodiesel negara tersebut baru terlihat setelah 20 tahun program itu berjalan. Indonesia, menurutnya, bisa lebih cepat asalkan ada konvergensi investasi di sisi hulu dan hilir. “Investasi pemerintah Brasil di hulu, seperti meningkatkan benih dan pemberesan urusan lahan. Di hilir, mereka bikin kebijakan mobil yang dipasarkan di Brasil dual fuel,” ujarnya.

Mobil dual fuel, lanjutnya, bisa menggunakan bahan bakar 100 persen BBM, tapi bisa juga bisa menggunakan BBM campuran biofuel tingkat tinggi. “Kalau di Indonesia saat ini maksimal 20 persen BBN. Di Thailand sudah bisa yang 90 persen campuran BBN,” kata dia.(Ayomi Amindoni)

Sumber: metrotvnews.com.

Pemerintah Alokasikan Rp 500 M untuk Proyek Efisiensi Energi

go_green-1Jakarta – Pemerintah menyiapkan alokasi dana bergulir untuk efisiensi energi hingga Rp 500 miliar. Dana tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2014. Saat ini mekanisme pendanaan untuk proyek efisiensi energi segera dirampungkan oleh Kementerian Keuangan bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Direktur Konservasi Energi Kementerian ESDM Mariche Hutapea mengatakan, dana bergulir ini untuk mempermudah siapa pun yang ingin melakukan penghematan energi tetapi terbentur masalah pendanaan. Sebab, investasi yang dibutuhkan untuk penghematan cukup besar namun perbankan belum melihat proyek penghematan sebagai hal yang prospektif.

“Kalau dana bergulir ini sudah berjalan dan bank melihat itu, kami berharap mereka juga membuat program serupa. Ini jadi semacam embrio atau contoh bagi perbankan. Efisiensi energi bisa jadi bisnis yang prospektif,” kata Mariche ditemui usai acara seminar nasional Konservasi Energi di Jakarta, Selasa (03/12).

Mariche menuturkan, faktor jaminan pinjaman yang menjadi kendala baik pihak yang ingin melakukan efisiensi energi maupun pihak perbankan yang belum melirik proyek efisiensi energi ini lantaran. Dia menyatakan, salah satu solusi masalah jaminan ini ialah dengan melibatkan perusahaan jasa energi (Energy Service Company/ESCO) agar mampu menyakinkan pihak perbankan.

Lebih lanjut Mariche menjelaskan, beberapa langkah penghematan energi yakni low cost, middle cost, dan high cost. Langkah lowcost lebih ditekankan pada perubahan perilaku, misalkan mematikan lampu apabila tidak dipergunakan, maupun mengatur temperatur suhu ruangan pada 25 derajat. Dia menyebut, langkah low cost ini mampu menghemat listrik sebesar 908 gigawatt pada 2012.

Untuk mendapatkan penghematan energi yang lebih besar tidak bisa hanya dengan mengubah perilaku. Langkah middle cost dan high cost harus dilakukan misalkan mengganti bohlam lampu dengan jenis LED. Dia menyebut PLN memiliki 48 juta pelanggan, apabila mereka menggunakan satu lampu LED maka bisa menghemat 1728 megawatt. “Satu LED harganya Rp 60.000, kalau satu bangunan ada 1000 bohlam maka investasinya cukup besar. Makanya kami siapkan dana bergulir itu,” jelasnya.

Di tempat yang sama, Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, ada dua kendala dalam mengimplementasikan potensi penghematan energi di berbagai sektor industri, bangunan serta rumah tangga di tanah air.

Kendala pertama yakni terkait harga energi yang relatif terjangkau lantaran masih disubsidi oleh pemerintah. Kendala berikutnya ialah masalah akses terhadap pendanaan karena penggantian alat maupun barang memerlukan investasi. Menurutnya melibatkan ESCO merupakan langkah yang tepat dalam mengatasi masalah pendanaan. Skema ESCO yang dimaksud ialah investasi proyek penghematan energi akan ditanggung ESCO tapi pengembalian investasi itu dibayarkan tiap bulannya oleh perusahaan yang menggunakan jasa ESCO.

“Misalkan ESCO menawarkan kantor Anda dengan retrovit atau penggantian alat bisa menurunkan biaya energi hingga 10%. Pembayaran investasi ESCO dari penurunan biaya energi yang terjadi di kantor Anda. Tiap bulan Anda bayar itu saja sampai investasinya ESCO kembali,” jelasnya.

Namun Fabby menerangkan, skema seperti ini belum banyak dilakukan di Indonesia. Berbeda dengan di Thailand yang program konservasi energi sudah menjadi bisnis menjanjikan. Pemerintah Thailand sudah memiliki kebijakan konservasi energi sejak pertengahan 1990-an. Di awal 2000, pemerintah mengeluarkan skema pendanaan dengan bunga rendah sekitar 3-4% untuk investasi efisiensi energi. Setelah lebih dari 10 tahun, skema pendanaan itu membuat bisnis ESCO semakin berkembang dan pihak perbankan dengan senang hati meminjamkan uang bagi proyek efisiensi.

Dia berharap dana bergulir yang disiapkan pemerintah akan berdampak positif seperti yang terjadi di Thailand. “Rp 500 miliar itu kalau dilaksanakan dengan baik bisa jadi preseden dan memobilisasi pendanaan lain misalkan dari perbankan. Bisa jadi katalis,” kata Fabby.

Penulis: Rangga Prakoso/NAD

Sumber: beritasatu.com.