Program 35 ribu MW Dinilai Terlalu Optimistis

 

Jakarta, CNN Indonesia –Sejumlah pihak menilai Pemerintah terlampau optimistis menyoal program pasokan listrik 35 ribu Megawatt (MW) yang digulirkan Wakil Presiden Jusuf Kalla beberapa waktu lalu. Mengacu pada molornya proyek pembangkit listrik berkapasitas total 27 ribu MW atau fast track program (FTP) I dan II zaman SBY, program yang ditargetkan bisa rampung pada 2019 itu dianggap naif dan tak jauh beda dengan program sebelumnya.

“Pak JK harusnya sudah tahu kendala dan hambatan apa saja di sektor ketenagalistrikan Indonesia. Dia kan Wapres SBY dan pencetus FTP I dulu,” tegas Pengamat Kelistrikan Fabby Tumiwa kepada CNN Indonesia, Kamis malam (6/11). Fabby menjelaskan, terdapat tiga masalah di sektor ketengalistrikan nasional yang kerap menyebabkan proyek pembangkit molor dari yang dijadwalkan. Pertama menyoal adanya tumpang tindih perizinan yang menyebabkan proses persiapan pembangunan berlangsung lama. Bahkan, kata Fabby, ada beberapa proyek yang menghabiskan waktu dua tahun hanya untuk mengurus perizinan.

“Contoh yang jelas terlihat PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) Sarulla dan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) Batang. Coba, berapa lama itu molornya?” cetusnya.

Selain perizinan, Fabby bilang, kendala yang juga harus dihadapi sewaktu membangun pembangkit ialah kesulitan pembebasan lahan. Untuk diketahui, selain membutuhkan lahan yang luas investor juga memerlukan sebidang tanah untuk membangun jaringan listrik. Ia mengungkapkan, tak jarang sewaktu proses pembebasan masyarakat menaikan harga tanahnya hingga berkali-kali lipat. Inilah yang menyebabkan proses pembebasan juga menjadi kendala terberat di sektor ketenagalistrikan Indonesia. “Bahkan, PLN yang merupakan perusahaan Negara juga sering mengalami kesulitan dalam hal pembebasan. Kadangkala harus ada ketegasan Pemerintah kalau kenaikan harga tanah sudah keterlaluan,” ujarnya. Adapun keseriusan perusahaan listrik swasta atau independet power producer (IPP) dalam menggarap proyek pembangkit juga menjadi masalah tersendiri di dalam pelaksanaan program pembangkit.

Dengan minimnya kemampuan PLN dalam hal pendanaan, tentu saja peran serta IPP sangat dibutuhkan untuk membangun pembangkit. Meski begitu, Pemerintah harus lebih selektif memilih perusahaan dengan mempertimbangkan aspek rekam jejak dan kondisi pendanaan. “Yang ada sekarang (FTP II) paling cuma 25 persen IPP yang merealisasikan kesungguhannya. Yang lainnya mangkrak karena dana,” tuturnya.

Sebelumnya, Direktur Utama PT PLN (Persero) Nur Pamudji mengaku perusahaannya siap merealisasikan program Pemerintahan Joko Widodo terkait pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35 ribu Megawatt (MW). Dari total kapasitas 35 ribu MW, PLN siap membangun 15 ribu MW atau sekitar 42,85 persen.
“20 ribu MW lainnya bisa dibangun oleh IPP. Tapi ini baru skenario awal dan bisa berubah,” ujarnya.

Nur Pamudji mengatakan untuk membangun pembangkit listrik dengan kapasitas total 15 ribu MW, PLN membutuhkan dana sekitar US$ 22,5 miliar. Dimana hitungan tersebut didapat dari biaya investasi PLTU yang umumnya menghabiskan dana US$ 1,5 juta per MW.

“Ini baru perkiraan awal karena dananya belum menghitung biaya jaringan. Soalnya sebagian besar pembangkit masih menggunakan tenaga batubara (PLTU),” katanya.

(dim)

Sumber: CNN Indonesia.