Buat Pertamina Rugi, Premium Diminta Dihapus

Buat Pertamina Rugi, Premium Diminta Dihapus
JAKARTA
– PT Pertamina (Persero) mengalami kerugian cukup besar lantaran penjualan premium. Tercatat kerugian Pertamina sudah mencapai Rp15,2 triliun.

Eksekutif Institute for Essential Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, jika membuat rugi, kenapa Pertamina masih mempertahankan penjualan premium.

“Ngapain pertahankan Ron 88 (premium) kalau menyebabkan rugi,” ungkapnya Rabu (23/9/2015).

Selain itu, Fabby menjelaskan, BBM jenis Ron 88 ini tidak memiliki market place. Segingga tidak memiliki referensi harga yang pas. Belum lagi adanya proses blending yang tentunya juga membutuhkan biaya.

“Jadi harga beli pertamina Ron 88 (premium) sama Ron 92 (pertamax) enggak jauh beda,” imbuhnya.

Dia menambahkan jika pemerintah menghapus premium, pemerintah bisa menjadikan pertamax sebagai BBM yang harganya diatur pemerintah.

“Kalau ron 88 dihapus artinya pemerintah menetapkan ron 92 lah yang diatur, nanti yang enggak diatur ron 95 lah yang di atasnya,” ucapnya. (rzy)

Sumber: Okezone.com.

IESR Sektor Migas Sebagai Penompang Anggaran Negara

isr-1024x768

JAKARTA, Kabarsebelas.com – Institute for Essential Service Reform (IESR) menggelar diskusi yang mengedepankan sektor migas sebagai penompang anggaran negara, Namun, Indonesia telah dikenal sebagai negara produsen minyak pada era 1960-1990an dan menjadi anggota organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) ditahun 1961-2008.

Perwakilan dari Migas, Agus Cahyo, mengatakan dalam masa kejayaannya, Indonesia mengalami dua kali puncak produksi minyak. “Puncak pertama terjadi pada tahun 1977 dengan tingkat produksi yang mencapai 1,65 juta barel per hari (bph) dan tingkat konsumsi yang hanya sekedar 300.000 bph,” katanya, Rabu (23/9), saat diskusi “Mampukah Sektor Minyak Dan Gas Tetap Bertahan Sebagai Penompang APBN Indonesia Ke Depan”?, di Hotel Green Alia, Cikini, Jakarta.

Sementara itu, produksi yang sebesar itu dihasilkan dari kegiatan produksi yang dilakukan secara primary recovery. Kemudian  kedua terjadi pada tahun 1995 dengan produksi mencapai 1,6 juta bph dan tingkat konsumsi yang hanya 800 ribu bph.

Dia menjelaskan puncak produksi yang kedua ini dapat tercapai dari hasil kegiatan Enhancel Oil Recovery (EOR)2 dengan cara injeksi air dan injeksi uap. “Namun, setelah
Menurut data dari kementerian ESDM bahwa pada 1997 produksi minyak mentah Indonesia sebesar 1,557 juta bph. Kemudian pada tahun 2006 turun lagi menjadi 1,071 juta bph dan pada 2007 merosot hingga dibawah 1 juta bph yakni, 952 ribu bph,” ujarnya.

Lanjut, Agus, ketika produksi minyak menurun dapat dipastikan bahwa lifting minyakpun ikut menurun. Terlihat realisasi lifting minyak Indonesia terus mengalami penurunan hingga 40 persen bila dibandingkan tahun 2000. Melihat kecenderungan penurunan ini,ungkap Dia, Maka pada tahun APBN 2016 pemerintah menetapkan target lifting minyak bumi sebesar 830 ribu bph.

Sementara itu, target lifting ini sangat realitis dengan situasi saat harga minyak bumi di pasar internasional yang terus menurun sejak awal tahun 2015. “Angka target lifting tersebut belum final.Karena angka tersebut masih dalam pembahasan di komisi VII DPR,” ungkap Anton. (dade)

Sumber: Kabarsebelas.com.

2026, Cadangan Minyak Nasional Bakal Habis

318743_620

TEMPO.CO, Jakarta – Kementerian Energi Sumber Daya Mineral menampik rumor yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara kaya migas. Bahkan, diprediksi cadangan nasional bakal habis pada 11 tahun mendatang.

“Paradigma minyak bumi terhadap pendapatan negara harus diubah,” ujar Direktur Pembinaan Program Migas Kementerian ESDM, Agus Cahyono Adi, Rabu, 23 September 2015.

Saat ini, cadangan minyak nasional mencapai 3,74 miliar barel. Bandingkan dengan Venezuela yang memiliki cadangan minyak terbesar dengan jumlah 297 miliar barel.

Tahun ini, lifting minyak, diperkirakan hanya mencapai 812 ribu barel per hari. Kondisi berbeda ditunjukkan pada dekade 70-an di mana lifting minyak nasional mencapai 1,5 juta barel per hari. Penurunan ini disebabkan cadangan minyak yang terus merosot.

Apalagi, konsumsi minyak nasional mencapai 1,6 juta barel per hari. Artinya, Indonesia memang sudah mengalami defisit minyak sehingga kebutuhannya dipenuhi dengan impor.

Tahun ini saja, kontribusi migas ke pendapatan negara bukan pajak (PNBP) hanya berkisar 5 persen atau Rp 100 triliun dalam rata-rata lima tahun belakangan. Bandingkan dengan PNBP migas pada 11 tahun lalu yang mencapai 70 persen terhadap APBN.

Kata Agus, laju konsumsi masih bisa diredam dengan diversifikasi energi. Salah satu yang dikembangkan dan masih potensial adalah gas metan batubara (coal bed methane/CBM) dan gas serpih (shale gas). Kementerian mencatat ada 54 wilayah kerja CBM dan 5 wilayah kerja shale gas yang bisa diambil untuk memenuhi kebutuhan saat ini. “Apalagi biaya keekonomian CBM dan shale gas semakin murah seiring kemajuan teknologi, ini peluang kita,” ujar Agus.

Dia juga menjelaskan perubahan paradigma masyarakat terhadap minyak bumi perlu diubah. Minyak selayaknya bukan dianggap sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi, bukan sekadar komoditas yang digunakan untuk modal berdagang.

Perubahan ini bisa memacu pertumbuhan sektor lain yang menunjang migas. Jika hal ini dilakukan, nilai tambah dari industri minyak bakal melonjak hingga 2,5 kali lipat. Negara, kata Agus, tak perlu mengandalkan PNBP migas, melainkan melalui pajak dari sektor penunjang migas.

Sumber: Tempo.co.

Negara Tidak Bisa Lagi Andalkan Migas Topang APBN

negara-tidak-bisa-lagi-andalkan-migas-topang-apbn-4vhEtJ6caK

JAKARTA – Pemerintah diminta tidak lagi mengandalkan sektor minyak dan gas (migas) sebagai penopang anggaran negara. Pasalnya, sumber migas di Indonesia tidak lagi banyak.

Tercatat, memasuki 1990-an, produksi minyak Indonesia terus menurun. Menurut data Kementerian ESDM, 1997 produksi minyak mentah Indonesia mencapai 1,5 juta bph dan pada 2007 merosot menjadi 952 ribu bph.

“Kondisi hulu migas sekarang, konsumsi kita terus meningkat tapi produksi terus turun,” papar Direktur Pembinaan Program Migas Kementerian ESDM Agus Cahyono Adi dalam seminar energi di Cikini, Rabu (23/9/2015).

Sayangnya, dalam kondisi seperti ini pun negara masih mengharapkan sektor migas menjadi penopang anggaran belanja. Pemerintah masih menetapkan lifting migas sebagai salah satu asumsi dasar dalam menyusun kerangka ekonomi makro.

Nantinya lifting tersebut akan dihitung sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PBNp) dari sektor migas.

Agus menilai, dalam kondisi saat ini akan sulit bagi migas untuk memenuhi target lifting dalam APBN.

“Kalau harus ngisi terus APBN, sumber daya alam kita enggak terbarukan dan sudah satu abad jadi sulit, persented kita pasti turun,” imbuhnya.

Sumber: okezone.com.

Mata Najwa : Buka-bukaan Menteri Energi

Persoalan energi adalah persoalan sehari-hari, hidup matinya bangsa di kemudian hari. Sektor ini memang luar biasa menggiurkan, incaran para pemburu rente yang tidak segan menekan.

Baru-baru ini publik dikejutkan dengan peristiwa penembakan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Teror yang memunculkan tanda tanya, siapa pelaku dan motifnya. Apakah ini terkait dengan upaya pemberantasan mafia migas yang digaungkan sang menteri?

Malam ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said hadir dan siap buka-bukaan di Mata Najwa.

“Ada seseorang yang datang dan bersimpuh di kaki saya dan berkata Demi Allah saya bukan bagian dari mafia migas,”ungkap Sudirman Said ketika ditanya seputar isu seputar mafia migas.

Sudirman mengakui bahwa ada kekuatan besar yang selama ini bermain dan mengendalikan tata kelola migas di negeri ini.   Mantan Direktur Utama PT Pindad ini juga blak-blakan bagaimana kepentingan-kepentingan politik mewarnai sektor migas.

“Saya juga dibisiki, Mas Dirman, he is too strong,”tegasnya.

Tak hanya bicara soal sengkarut tata kelola migas, Sudirman Said menjawab berbagai tudingan, termasuk hubungannya dengan Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli.

Kami hadirkan juga Anggota Komisi VII DPR, Inas Nasrullah, Koordinator Divivi Monitoring dan Analisis Anggaran ICW, Firdaus Ilyas serta Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform, Fabby Tumiwa.