Ketika Minyak dan Gas Tak Lagi Menjadi Andalan Penopang Anggaran Negara

Pemerintah diminta untuk segera menyiapkan strategi kebijakan fiskal yang mengurangi ketergantungan pada pendapatan dari minyak dan gas. Realisasi lifting yang terus meleset dan merosotnya harga minyak mentah di pasar internasiona menjadi penyebab terjadinya ketidakstabilan fiskal di tingkat nasional dan daerah.

iesr-6-300x171Jakarta, 23 September 2015. Selama lima belas tahun terakhir, realisasi lifting minyak mentah Indonesia terus mengalami penurunan, bahkan meleset dari asumsi yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada 2000 misalnya, realisasi lifting minyak mentah hanya mencapai angka 1.328 ribu barel per hari (bph) dari target APBN sebesar 1.460 bph, maka pada tahun 2015 pemerintah hanya menetapkan asumsi lifting sebesar 825 ribu bph, itu pun menurut perkiraan banyak kalangan akan tercapai pada kisaran 812 ribu bph hingga akhir Desember 2015.

Dalam Rancangan APBN Tahun 2016, Pemerintahan Presiden Jokowi menerapkan asumsi lifting minyak mentah sebesar 800-830 bph dan lifting gas bumi sebesar 1.100-1.300 ribu barel setara minyak per hari. Meski belum disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada Desember nanti, namun asumsi ini dianggap cukup realistis mengingat situasi dimana cadangan minyak Indonesia yang kian menipis dan anjloknya harga minyak mentah di pasar internasional sejak pertengahan tahun lalu.

Menurut Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) penurunan lifting minyak mentah ini perlu menjadi perhatian yang serius bagi pemerintah, sebab lifting minyak dan gas merupakan salah satu asumsi yang digunakan dalam menyusun penerimaan negara APBN Indonesia.

“Ketika lifting minyak terus menurun dan harga minyak merosot secara tajam maka pendapatan dari sektor migas juga menurun secara tajam. Situasi ini tentu saja menimbulkan ketidakstabilan fiskal, baik di pusat maupun daerah. Sekarang ini banyak daerah-daerah penghasil migas yang mengalami kebingungan mengatasi biaya belanjanya karena alokasi Dana Bagi Hasil Migas menurun secara drastic,” ujar Fabby ketika membuka diskusi publik yang membahas tentang ketahanan sektor migas dalam menopang APBN Indonesia ke depan, yang berlangsung di Hotel Gren Alia Cikini, Rabu pekan lalu (23/09).

Dengan situasi dimana cadangan migas Indonesia yang semakin menipis dan tidak menentunya harga minyak di pasar internasional, pemerintah perlu segera menyiapkan strategi kebijakan dalam pengelolaan anggaran yang tak lagi bertopang dan menggantungkan penerimaan dari produksi minyak dan gas bumi.

Menurut data dari kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, cadangan minyak bumi terbukti Indonesia saat ini berkisar 3,7 milyar barel dan dengan tingkat ekstraksi saat ini produksi akan bertahan selama 10-12 tahun ke depan. Namun terjadi kesenjangan yang sangat lebar antara laju pertumbuhan konsumsi dan produksi sehingga mendorong pemerintah untuk melakukan impor bahan bakar.

“Pemerintah juga telah menyiapkan sejumlah kebijakan guna memastikan bahwa sektor migas yang tersisa dapat mendukung ketahanan energi Indonesia di masa depan” ujar Agus Cahyono Adi, Direktur Pembinaan Program Minyak dan Gas Bumi, Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Selain itu, dia menambahkan, pemerintah juga membuka iklim investasi yang lebih luas di sektor migas guna mendorong pencarian sumber-sumber ladang minyak baru yang kini lebih banyak di wilayah Indonesia timur.

“Kita juga perlu merubah paradigma bahwa Indonesia bukan lagi negara kaya minyak dan sektor migas bukanlah devisa bagi negara. Pendapatan dari sektor migas harus dikelola untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sektor lainnya.” ujar Agus.

Harga minyak dan kutukan sumber daya

Anjloknya harga minyak mentah memang memberikan pukulan yang cukup keras bagi APBN Indonesia. Jika pada tahun 2015 Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor migas mencapai besaran 14% dari APBN atau sebesar Rp. 216 triliun, maka pada Agustus 2015 kontribusinya baru mencapai 5% atau sebesar Rp. 81 triliun.

“Meski prosentasenya mengalami penurunan, namun jumlah pendapatan dari sektor migas masih sangat penting dalam menopang postur APBN dan APBN. Di beberapa provinsi kaya migas, seperti Riau, Kalimantan Timur dan Kepulauan Riau kontribusi Dana Bagi Hasil (DBH) Migas bahkan mencapai 25-40% dari pendapatan daerah” jelas Heru Wibowo, Kasubdit Penyusunan Anggaran, Kementerian Keuangan.

Pemerintah memang harus segera menyiapkan langkah-langkah adaptasi yang sangat serius akibat penurunan harga minyak dunia, ujar Berly Wartawardaya, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia. Sebab, diperkirakan situasi ini akan berjalan cukup lama akibat ditemukannya cadangan shale gas yang cukup besar di Amerika Serikat.

Pengelolaan pendapatan sektor migas harus dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan jangka panjang sektor non-migas, khususnya untuk pembangunan sumber daya manusia dan diversifikasi pendapatan nasional dan daerah, dan menyiapkan dana sumber daya alam untuk pembangunan jangka panjang.

Pembangunan sektor migas juga harus dilakukan secara bijak dan mendorong iklim investasi yang lebih sehat sehingga menarik investor untuk melakukan pencarian sumur-sumur migas baru di kawasan timur Indonesia.

“Perusahaan minyak nasional juga perlu didukung untuk melakukan ekspansi ke luar negeri untuk menambah jumlah cadangan minyak di dalam negeri. Selain perlunya pengelolaan konsumsi bakar bakar yang lebih bijak, terutama dalam pengelolaan sektor transportasi, sehingga jurang antara laju produksi dan konsumsi tidak semakin lebar” jelas Berly.

Dia juga menambahkan, pemerintah daerah juga perlu didorong untuk meningkatkan kapasitasnya dalam pengelolaan pendapatan dari sektor migasnya agar bisa terhindar dari fenomena kutukan sumber daya.

Berdasarkan hasil penelitiannya pada tahun 2006-2012 di 415 kabupaten 93 kota di Indonesia terlihat bahwa Indeks pembangunan manusia di daerah-daerah kaya sumber daya ternyata lebih buruk dibandingkan dengan daerah-daerah miskin sumber daya.

“Dengan jumlah dana yang mengalir ke daerah, pemerintah harusnya bisa lebih bijak dalam mengelola sumber daya yang mereka punya untuk pembangunan jangka panjang. Jika tidak, keberadaan sumber daya tersebut hanya akan menjadi sia-sia” jelasnya.

Ananda Idris, praktisi perminyakan menambahkan, Indonesia juga bisa belajar dari negara lain yang memisahkan pendapatan sektor migas dari APBN, dan memanfaatkan pendapatan tersebut untuk pengembangan industri migas melalui Petroleum Fund yang tujuanya adalah untuk membangun fasilitas sumber energi baru dan terbarukan atau optimalisasi energi yang telah ada.

Pendapatan yang akan masuk ke APBN, menurut Anada, justru berasal dari pajak atau retribusi yang dihasilkan dari industri yang dimotori dari industri migas. Di beberapa negara Eropa yang kaya migas seperti seperti Norwegia, pendapatan dari migas justru digunakan untuk mendorong pertumbuhan industri lain lebih berkelanjutan, seperti manufaktur, jasa dan lain-lain.

Untuk bahan presentasi narasumber dapat diunduh dibawah ini: