Jangan Buru-buru Cabut Subsidi Listrik

347288_ilustrasi-meteran-listrik-900-va-_663_382

Jangan sampai orang yang tidak tepat masih dapat subsidi.

VIVA.co.id – Rencana pemerintah membenahi subsidi listrik khususnya penguna rumah tangga tahun depan, mulai disosialisasikan kepada masyarakat. Kajian yang dilakukan pemerintah semakin jelas arahnya.
Subsidi yang saat ini diberikan kepada rumah tangga yang menggunakan daya listrik sebesar 900 Volt Ampere (VA) kemungkinan akan dicabut. Sedangkan pengguna daya 450 VA tetap disubsidi pemerintah.

“Yang 900 VA akan kami sisir. Kita nanti akan melakukan kebijakannya seperti apa, dan bentuknya seperti apa, nanti kita perhitungkan,” ujar Sudirman di Jakarta Minggu 8 November 2015.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menyambut baik langkah pemerintah tersebut. Menurutnya, pembenahan subsidi listrik memang mendesak untuk dilakukan.

Namun dia mengingatkan, ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus segera diperjelas pemerintah dan otoritas terkait khususnya Perusahaan Listrik (PLN), untuk merealisasikan kebijakan ini. Antara lain, terkait data pengguna listrik subsidi tersebut dan dampak dari kebijakan tersebut dari segala aspek, baik sosial dan ekonomi di masyarakat.

“Jangan terburu-buru menghapus subsidi. Pikirkan mekanisme yang tepat apakah menaikkan tarif untuk golongan 900 VA atau mendorong untuk migrasi ke 1.300 VA. Jadi implementasi kebijakan yang perlu jelas,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Senin 9 November 2015.

Sumber: VIVA.co.id.

Proyek Listrik 35 Ribu MW Terancam tak Selesai

Presiden Jokowi meresmikan proyek listrik 35 ribu MW
Presiden Jokowi meresmikan proyek listrik 35 ribu MW

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Penundaan pengucuran penyertaan modal negara (PMN) kepada 23 badan usaha milik negara (BUMN) dinilai akan menghambat program listrik 35 ribu megawatt (MW). Hal ini karena, BUMN yang rencananya mendapat PMN terbesar adalah PT PLN (persero) dengan nilai Rp 10 triliun.

Pengamat Energi Fabby Tumiwa menilai, nilai PMN yang seharusnya didapat oleh PLN bisa digunakan untuk mendongkrak investasi.

“Kalau itu tidak cair maka pembangunan transmisi bisa terhambat, demikian juga pembangkit. Persoalannya dalam kondisi sekarang saja sudah mulai kelihatan benih krisis. Artinya tugas PLN untuk bangun juga tidak akan kelar,” kata Fabby, Ahad (8/11).

Fabby menilai, molornya proyek 35 ribu MW bisa memperparah krisis listrik yang ada. Pemerintah pernah mencatat, dari 23 sistem ketenagalistrikan yang ada di seluruh Indonesia, 11 di antaranya mengalami krisis. Apabila pembangkit yang krisis ini tetap dipaksakan untuk bekerja, maka krisis justru dinilai akan makin parah. Perihal krisis ini, ungkapnya, bisa dilihat di Sumatera Utara.

“Makanya pemerintah maupun PLN harus hati hati soal PMN kalau tidak mau krisis listrik terus berlanjut,” katanya.

Sementara itu, Ketua Umum Kadin Eddy Ganefo menilai, kendala pemerintah dalam membangun pembangkit listrik 35 ribu MW sebetulnya bisa diatasi dengan melibatkan pihak swasta. Swasta dinilai bisa berlaku sebagai investor atau kontraktor. Menyangkut soal penundaan PMN ini, maka fungsi pihak swasta sebagai kontraktor akan hilang. Namun, fungsi pihak swasta sebagai investor masih bisa digenjot.

“Kalau melihat swasta sebagai investor nah justru ada peluang. Tinggal gimanapemerintah. Saya ingin pembangkit listrik itu swasta saja. Nanti akan ada persaingan usaha dan mereka akan dapat harga yang rendah,” ujar Eddy.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said meyakini, pembahasan PMN masih akan berlanjut dan masih ada harapan untuk diberikan kepada PLN.

“Saya masih ada harapan pada akhirnya ada solusi. Karena sekarang saya belum khawatir karena karena toh kalau disetujui butuh waktu. Saya belum bisa berkomentar karena pada waktunya saya masih berharap ada solusi,” kata Sudirman.

Sumber: republika.co.id.

Proyek Kelistrikan PLN Terancam Mangkrak

151109023PLNPLN membutuhkan anggaran hingga Rp 130 triliun per tahun.

JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memutuskan menunda penyertaan modal negara (PMN) terhadap 23 BUMN, termasuk ke PT PLN (Persero) dalam postur APBN 2016. Penundaan PMN itu dikhawatirkan dapat mengganggu kinerja PLN, khususnya dalam upaya membangun pembangkit dan transmisi listrik baru dalam upaya meningkatkan produksi listrik nasional.

Pasalnya, pemerintahan saat ini memiliki megaproyek pembangunan pembangkit listrik sebesar 35.000 megawatt (MW). PLN oleh pemerintah mendapat tugas membangun pembangkit dengan total 5.000 MW dan transmisi kelistrikan sepanjang 42.000 kilometer (KM).

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reforms (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan, program 35.000 MW merupakan salah satu proyek andalan Presiden Jokowi guna mengatasi krisis listrik yang terjadi di Indonesia. Megaproyek tersebut ditargetkan rampung pada 2019.

“Kalau PMN tidak bisa segera cair, pembangunan pembangkit dan transmisi akan terhambat. Sebab untuk mengerjakan proyek tersebut, PLN membutuhkan dana yang tidak sedikit,” ujar Fabby di Jakarta, Minggu (8/11).
Ia menyebutkan, guna menjalankan proyek kelistrikan 35.000 MW tersebut, PLN membutuhkan anggaran hingga Rp 130 triliun per tahun. Menurutnya, dari kebutuhan anggaran sebesar itu, perseroan diperkirakan hanya mampu memenuhinya senilai Rp 50 triliun.

Oleh sebab itu, sisanya harus bisa ditutupi dengan cara meminjam kepada pihak luar PLN, baik itu dari dalam maupun luar negeri. Jadi, guna menekan besaran dana pinjaman, PLN membutuhkan PMN tersebut.
“Sebenarnya PMN senilai Rp 10 triliun bagi PLN pada 2016 masih terbilang kecil jika dibandingkan kebutuhan pembangunan PLN. Menurut perhitungan saya, setidaknya PLN membutuhkan PMN hingga Rp 25 triliun, barulah program kelistrikan bisa berjalan dengan baik,” ucapnya.

Oleh sebab itu, ia menyebutkan, bila PMN tidak segera diturunkan, PLN akan kesulitan dalam menyukseskan program kelistrikan pemerintah. Menurutnya, efek dari terhambatnya program kelistrikan akan terlihat dalam dua hingga tiga tahun mendatang.

Saat ini saja, menurut Fabby, dari 23 sistem tenaga listrik yang ada, 11 di antaranya telah mengalami krisis dan defisit. Jadi, bila tidak ditanggulangi segera, efeknya akan lebih besar lagi.

Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Eddy Ganefo menambahkan, dengan tidak dimasukkannya PMN dalam postur APBN 2016 dikhawatirkan dapat menghambat perputaran roda ekonomi Indonesia. Sebab menurutnya, bila PLN tidak mendapatkan tambahan dana untuk membangun pembangkit dan transmisi listrik, peluang swasta untuk terlibat sebagai kontraktor akan ikut tertutup.

Namun menurutnya, bila memang PLN tidak sanggup untuk menjalankan proyek kelistrikan karena minimnya anggaran, bisa diserahkan ke investor swasta untuk mengerjakannya. Dengan begitu, ia menambahkan, dapat mengurangi beban anggaran pemerintah.

“Dengan dibangun swasta, akan tercipta persaingan yang sehat sehingga masyarakat tidak khawatir akan terjadinya harga listrik yang tinggi karena tidak dimonopoli lagi oleh PLN,” ujar Eddy.

Sebelumnya, dalam RAPBN 2016, pemerintah mengajukan anggaran PMN untuk 23 BUMN senilai Rp 40 triliun. Dari jumlah tersebut, PLN direncanakan mendapat Rp 10 triliun. Namun oleh DPR, pembahasan soal PMN ditunda dan akan kembali dibahas pada APBN Perubahan 2016.

Sumber: Sinar Harapan.