Pengamat: PLTG Terapung Hanya Penuhi Kebutuhan Jangka Pendek

Kapal MV Fortune yang berlayar dari Belgia dan membawa mesin pembangkit listrik untuk PLTG Gorontalo sedang berlabuh menunggu penurunan mesin ke darat.
Kapal MV Fortune yang berlayar dari Belgia dan membawa mesin pembangkit listrik untuk PLTG Gorontalo sedang berlabuh menunggu penurunan mesin ke darat.

JAKARTA, KOMPAS.com – Beberapa waktu waktu PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) menyewa kapal Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) terapung guna memenuhi kebutuhan listrik hingga tahun 2020 mendatang.

PLTG terapung tersebut disewa dari Turki dan berdaya 120 megawatt (MW).

Menurut Direktur Program Pembinaan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Alihuddin Sitompul, kapal PLTG terapung tersebut berlayar di kawasan Amurang, Sulawesi Utara.

Saat ini, kata Alihuddin, kapal pembangkit listrik tersebut sudah sampai di Amurang dan siap mengalirkan listrik.

“Saat ini sudah berlayar di Amurang. Sewa PLTG itu langsung di PLN. Ditjen Ketenagalistrikan melakukan pengawasan dari sisi harga,” kata Alihuddin dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (20/12/2015).

Meskipun berguna demi mengatasi masalah krisis listrik di kawasan Sulawesi Utara, namun para pengamat menilai keputusan PLN untuk menyewa PLTG terapung tersebut hanya mampu menyelesaikan masalah jangka pendek.

Apalagi, status penggunaan PLTG tersebut adalah sewa. Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute menilai, penggunaan PLTG terapung tersebut untuk jangka pendek demi mengalirkan listrik ke daerah-daerah yang belum tersentuh listrik sah-sah saja.

Meskipun demikian, pemerintah harus mencari alternatif yang lebih berkelanjutan dalam jangka panjang.

“Kalau untuk darurat no problem. Kalau jangka panjang bagaimana, itu sewanya dari luar. (PLTG) yang terapung inj juga tidak murah. Kalau untuk mengejar elektrifikasi atau menyebarkan listrik ke saudara-saudara kita yang belum dapat untuk keadilan tidak apa-apa. Untuk jangka panjang dan untuk kepentingan nasional saya kira pemerintah harus punya strategi,” papar Komaidi.

Senada dengan Komaidi, Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa memandang keputusan PLN untuk menyewa PLTG terapung hanya memberikan solusi jangka pendek. Ia menekankan bahwa status PLTG tersebut pun adalah sewa.

“Menurut saya ini hanya untuk solusi jangka pendek. Apalagi PLTG ini kan leasing. Lalu, solusi untuk jangka panjangnya bagaimana, harus tetap segera dipikirkan,” terang Fabby.

Penulis: Sakina Rakhma Diah Setiawan
Editor: Fidel Ali

Sumber: kompas.com.

India Serius Manfaatkan Energi Bersih, Indonesia Kapan?

Diskusi "Energi Kita" (Ist)
Diskusi “Energi Kita” (Ist)

JAKARTA, JITUNEWS.COM– Pemerintah India serius memanfaatkan clean energy atau energi bersih. Mereka punya target 300 ribu megawatt dari energi baru terbarukan. “Memang itu retorika India, tapi mereka tampak serius mengerjakan. Energi baru terbarukan di India memang luar biasa. Kenapa kita tidak bisa?” tanya Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, Minggu (20/12), dalam diskusi di kantor Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta Pusat.

Apa yang membuat pemerintah India seakan bisa melakukan targetnya, kata Fabby, itu disebabkan oleh keseriusan pemerintah India sendiri, dengan adanya perencanaan program yang jelas terukur, juga strategi jangka panjang.

“Yang kemudian didukung oleh lembaga riset dan inovasi dalam negeri mereka. Mereka juga sukses mengembangkan industri dalam negeri mereka dalam sepuluh tahun terakhir,” ujar Fabby.

Indonesia sendiri memiliki tantangan berbeda dengan India. Indonesia tidak bisa memenuhi pemanfaatan energi baru terbarukan sebagaimana dilakukan pemerintah India. “Untuk memenuhi 10 hingga 20 tahun kebutuhan energi yang akan datang saja, tidak bisa dengan cara biasa yang kita lakukan. Tantangan kebutuhan energi sedemikian besar. Target 35 ribu MW ini belum tentu tercapai dengan cara kita seperti ini,” tandas Fabby.

Penulis: Hizbul Ridho
Editor: Christophorus Aji SaputroSumber: jitunews.com.

Indonesia Disarankan Belajar Garap Energi Terbarukan dari India

Panel surya pada sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Terpusat yang dibangun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI bekerjasama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI di pulau-pulau terpencil di Sulawesi Utara.
Panel surya pada sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Terpusat yang dibangun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI bekerjasama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI di pulau-pulau terpencil di Sulawesi Utara.

JAKARTA, KOMPAS.com – Potensi energi terbarukan Indonesia amat besar, namun sayangnya belum terkelola dengan baik dan terarah.

Meski demikian, banyak negara berkembang lainnya telah fokus menggarap dan mengembangkan energi terbarukan.

Tidak perlu jauh-jauh, Indonesia dapat belajar dari sesama negara berkembang, India.

Menurut Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa, politik dalam negeri India terkait energi terbarukan telah begitu matang. Bahkan, India serius untuk menargetkan penggunaan energi terbarukan dalam beberapa tahun mendatang.

“Soal clean energy, kalau kita lihat politik domestik India serius memakai energi terbarukan. Target mereka itu di tahun 2030 mencapai 300.000 megawatt (MW),” kata Fabby dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (20/12/2015).

Lebih lanjut, Fabby menjelaskan, energi terbarukan di India bersumber dari tenaga angin dan surya. Selain itu, India pun serius dalam mengembangkan energi terbarukan.

Hal ini dapat dilihat dari kontrak baru pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang mencapai 10.000 MW hingga tahun 2017.

“Dalam banyak aspek, pemerintahnya serius. Ada perencanaan dan program yang jelas, terukur, tidak ganti pemerintahan lalu ganti kebijakan,” tutur Fabby.

Di samping itu, riset dan inovasi di dalam negeri India begitu kuat, termasuk dalam hal pengembangan energi terbarukan.

Fabby membuktikan, ada sangat banyak pusat penelitian yang didanai oleh pemerintah. Sehingga, pengembangan energi terbarukan dapat terealisasi dengan cepat.

“Mereka juga sukses mengembangkan industri di dalam negeri. Untuk mendorong pemanfaatan energi (tenaga) surya, india meluncurkan Solar Alliance bersama beberapa negera lainnya. India sangat maju dalam hal ini,” terang Fabby.

Penulis: Sakina Rakhma Diah Setiawan
Editor: Fidel Ali

Sumber: kompas.com.

Bangun Pembangkit, Porsi PLN Dibatasi 5.000 MW

Suasana aktivitas di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sudimoro, Pacitan, Jawa Timur, Senin (31/8). PLTU Sudimoro yang diresmikan pada 2013 itu memiliki dua unit pembangkit dengan kapasitas total tenaga listrik yang dihasilkan sebesar 630 MW. Proyek nasional tersebut merupakan bagian dari program percepatan pembangunan pembangkit listrik dengan menggunakan bahan bakar batu bara dengan total kapasitas mencapai 10.000 MW atau lebih dikenal dengan sebutan Fast Track Program tahap 1 atau FTP-1. ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko/Zk/pd/15
Suasana aktivitas di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sudimoro, Pacitan, Jawa Timur, Senin (31/8). PLTU Sudimoro yang diresmikan pada 2013 itu memiliki dua unit pembangkit dengan kapasitas total tenaga listrik yang dihasilkan sebesar 630 MW. Proyek nasional tersebut merupakan bagian dari program percepatan pembangunan pembangkit listrik dengan menggunakan bahan bakar batu bara dengan total kapasitas mencapai 10.000 MW atau lebih dikenal dengan sebutan Fast Track Program tahap 1 atau FTP-1. ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko/Zk/pd/15

JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan tetap memangkas porsi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dalam mega proyek 35.000 Megawatt (MW).

Perusahaan setrum pelat merah ini hanya mendapat jatah membangun pembangkit listrik sebesar 5.000 MW. Seperti diketahui PLN sebelumnya mendapatkan porsi 10.000 MW.

Direktur Program Pembinaan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Alihuddin Sitompul mengatakan, porsi PLN tetap dikurangi supaya PLN lebih fokus mengurus transmisi listrik dan tidak perlu memikirkan pembangunan pembangkit listrik.

“Ya kalau menurut saya PLN jangan bermain antara 5.000 MW atau 10.000 MW, PLN diupayakan harus fokus saja. Selesaikan saja apa yang menjadi tugasnya,” terangnya di Kantor Dewan Pers, Minggu (20/12).

Dari 5.000 MW tersebut, PLN ditugaskan untuk membangun pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) saja. Pasalnya untuk PLTG tidak boleh dilakukan ekspor.

Pengamat Ketenagalistrikan Fabby Tumiwa menambahkan, untuk tahun pertama ini memang belum ada pembangunan proyek 35.000 MW. Ia bilang tahun ini hanya tahun konsolidasi. Makanya terlihat lebih lambat.

“Nah Peraturan Presiden (Perpres) penugasan Independent Power Producer (IPP) itu yang belum selesai, itu juga agak rumit, pendanaan belum optimal karena tidak mudah. Transmisi juga gitu, ada yang komit ada yang tidak,” terangnya.

Satu-satunya cara untuk memperbaiki iklim investasi, kata Fabby, yaitu terkait dengan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang perlu dipertegas lagi. “Proses pembebasan lahan juga,” tandasnya.

Reporter Pratama Guitarra
Editor Havid Vebri

Sumber: kontan.co.id.