DPR Didesak Rampungkan RUU Migas

JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil Publish What You Pay (PWYP) lndonesia mencatat sejak tahun 2010 agenda RUU Migas selalu menghiasi daftar tahunan Prolegnas DPR RI.

Agenda RUU Migas tahun ini merupakan tahun ke-3 (tiga) bagi DPR RI periode 2014-2019 sekaligus menandai 12 tahun pasca terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 002 /PUU-l/ 2003 yang membatalkan sejumlah pasal dalam UU Nomor 21/2001 tentang Migas dan 4 (empat) tahun pasca terbitnya putusan MK No. 36/PUU-X/2012 yang membubarkan BP Migas.

Ketua Badan Pengarah PWYP Indonesia, Fabby Tumiwa mendesak DPR khususnya Komisi VII untuk segera membahas RUU Migas. Ia menilai, sampai hari ini tidak ada perkembangan apa pun yang signifikan dari pembahasan RUU Migas.

Padahal, percepatan pembahasan RUU Migas terkait dengan berbagai persoalan yang menuntut solusi yang sistemik, seperti kebijakan energi nasional yang belum mendukung visi kedaulatan energi, praktik-praktik mafia migas, inefisiensi biaya operasional serta dampak penurunan harga minyak mentah dunia yang mencapai titik terendah tahun ini.

Fabby yang juga Direktur Eksekutif, Institute for Essential Service Reform (IESR) mengatakan bahwa akar berbagai persoalan di sektor migas adalah payung hukum yang masih memiliki banyak celah, baik dari sisi perencanaan, pengelolaan, pembinaan maupun pengawasan.

Menurut dia, ada beberapa isu kunci yang harus dimasukkan ke dalam pembahasan RUU Migas, yaitu perencanaan pengelolaan migas, model kelembagaan hulu migas yang memungkinkan adanya proses check and balances; Badan Pengawas, BUMN Pengelola, Petroleum Fund, Domestic Marker Obligation (DMD), Dana Cadangan, Cost Recovery, Participating Interest (PI), Perlindungan atas Dampak Kegiatan Migas, serta Reformasi Sistem Informasi dan Partisipasi.

Aryanto Nugroho, Manajer Advokasi dan Jaringan PWYP Indonesia mengungkapkan reformasi sistem informasi dan partisipasi menjadi sangat krusial untuk menjamin pemenuhan hak-hak atas informasi publik.

Ia mengambil contoh, transparansi keterbukaan Kontrak KKKS, penghitungan dana bagi hasil atau DBH, data lifting, data penjualan dan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) harus dibuka sebagai bentuk pemenuhan hak informasi publik. Selain itu, RUU Migas harus memberikan jaminan ruang partisipasi untuk terlibat dalam setiap tahapan pengelolaan sektor migas di Indonesia yang nyaris tidak terpenuhi”

“Pembahasan RUU Migas menjadi semakin urgent di tengah berbagai inisiatif yang dilakukan oleh berbagai pihak dalam mendorong reformasi perbaikan tata kelola sektor migas seperti Koordinasi dan Supervisi Bidang Energi (Korsup Energi) yang diinisiasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), reformasi perizinan migas di ESDM dan BKPM ataupun follow up atas rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM). Inisiatif-inisiatif tersebut harus didukung dengan reformasi payung hukum melalui pembahasan RUU Migas di DPR,” kata Aryanto dalam sebuah diskusi di Jakarta, Ahad (29/5).

RUU Migas Harus Segera Dibahas

RUU migrasJAKARTA–Pembahasan rancangan Undang Undang Migas harus segera dilakukan untuk menuntaskan berbagai persoalan di sektor energi, khususnya masalah tata kelola industri minyak dan gas bumi.

Ketua Badan Pengarah Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Fabby Tumiwa mendesak DPR khususnya Komisi VII untuk segera membahas RUU Migas. Menurutnya, sampai hari ini tidak ada perkembangan apa pun yang signifikan dari pembahasan RUU Migas tersebut.

Fabby yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) menyatakan akar berbagai persoalan di sektor migas adalah payung hukum yang masih memiliki banyak celah, baik dari sisi perencanaan, pengelolaan, pembinaan maupun pengawasan.

“Setidaknya ada beberapa isu kunci yang harus dimasukkan ke dalam pembahasan RUU Migas, yaitu perencanaan pengelolaan migas, model kelembagaan hulu migas yang memungkinkan adanya proses check and balances badan pengawas, BUMN pengelola, Petroleum Fund, DMO, dana cadangan, cost recovery, participating interest, perlindungan atas dampak kegiatan migas, serta reformasi sistem informasi dan partisipasi,” katanya melalui keterangan resmi, Minggu (29/5/2016).

Adapun RUU Migas ditetapkan sebagai salah satu RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2016.

Sumber: http://industri.bisnis.com.

Koordinasi Pemerintah dan PLN Harus Diperbaiki

JAKARTA — Langkah pemerintah yang berencana untuk mengambil alih proses lelang proyek 35 ribu megawatt (MW) dari PT PLN (Persero) dinilai prematur. Pengamat kelistrikan Fabby Tumiwa justru tidak sepakat dengan istilah “pengambilalihan proses lelang” oleh pemerintah.

“Seharusnya, ada koordinasi yang lebih baik antara pemerintah dan PLN,” ujar Fabby di Jakarta, Ahad (30/5). Sinergi antara keduanya, menurut Fabby, bertujuan untuk memastikan proses lelang berlangsung sesuai dengan jadwal yang terukur disertai jaminan bahwa prosesnya berlangsung secara transparan disertai hasil akhir yang optimal.

Bagaimanapun juga, lanjut Fabby, proyek listrik 35 ribu MW adalah proyek pemerintah dan prioritas Presiden Joko Widodo. Oleh karena itu, pengawasan oleh pemerintah kepada PLN tetap perlu.

Artinya, Kementerian ESDM bisa menjadi pemimpin proses sekaligus mengawasi eksekusi proses lelang oleh PLN atau institusi lain. Fabby juga menambahkan bahwa PLN seharusnya lebih fokus untuk cepat menyelesaikan lelang pengadaan 10 ribu MW dan jaringan transmisi serta distribusi listrik.

“PLN harus diarahkan oleh regulator. Dalam proyek 35 ribu MW, Kementerian ESDM harus mengoordinasikan pelaksanaannya dengan PLN,” kata Fabby yang juga menjabat sebagai direktur eksekutif Institute for Essential Services Reform tersebut. Lebih lanjut, Fabby menyebut, untuk lelang IPP bisa dilakukan oleh pemerintah dan PLN.

Namun, proses administrasi dan pelaksanaannya dilakukan oleh Independent Procurement Agent atau agen pengadaan independen. Pemerintah sedang mengkaji sejumlah langkah untuk mempercepat proses lelang proyek 35 ribu MW.

Salah satu caranya, dengan mengambil alih proses lelang yang sebelumnya ditangani oleh PLN. Langkah tersebut ditempuh pemerintah lantaran PLN dinilai lamban dalam melakukan proses lelang untuk proyek besar yang dijanjikan bakal pungkas dalam kurun waktu lima tahun ini.

Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sujatmiko menyebutkan, saat ini Kementerian ESDM tengah mengevaluasi sejauh mana kemajuan yang dicapai PLN dalam melakukan proses lelang proyek listrik nasional tersebut. Miko, sapaan akrabnya, menjelaskan, skema pengadaan tersebut nantinya bisa dilakukan oleh pemerintah sendiri atau melalui badan usaha lainnya.

Sujatmiko menuturkan, proses lelang sendiri seharusnya telah rampung pada tahun ini. Namun, PLN justru mengambil kebijakan yang dinilai malah memperlambat pencapaian target pemerintah.

Salah satunya, pembatalan proses lelang pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Jawa V, beberapa waktu lalu. Mengenai landasan hukum atas rencana ini, Sujatmiko mengatakan bahwa Kementerian ESDM sedang mengkaji apakah memang perlu dibuat beleid khusus terkait proses lelang oleh pemerintah ini.

Miko mengaku, sampai saat ini belum ada keputusan apa pun untuk menerbitkan peraturan baru, termasuk peraturan menteri (permen) sebagai landasan hukum kebijakan ini. “Kami sedang mengkaji alternatif terobosan untuk mempercepat proses lelang proyek 35 ribu MW. Termasuk, pelaksanaan lelang oleh institusi lain di luar PLN. Sedangkan, landasan hukum masih dikaji urgensi dan bentuknya,” kata Sujatmiko menjelaskan.

Dikonfirmasi terkait rencana pemerintah untuk mengambil alih tender proyek 35 ribu MW, PLN menolak berkomentar. “Tak ada yang perlu dikomentari. Kami tidak dapat arahan soal ini dari pemerintah,” ujar Manager Senior Public Relations PLN Agung Murdifi. rep: Sapto Andika Candra, ed: Muhammad Iqbal.

Sumber: http://www.republika.co.id.