PGE Lebih Tepat Tetap Dikendalikan Pertamina

pertaminaTRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Operasional PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), anak usaha PT Pertamina (Persero), saat ini dinilai berjalan baik dan memiliki proyeksi bisnis ke depan yang kuat.

Apalagi, PGE saat ini menjadi pionir dalam pengembangan energi panas bumi di Tanah Air.

Fabby Tumiwa, pengamat energi dari Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan risiko terbesar dari pengusahaan panas bumi adalah eksplorasi atau drilling.
“Dengan pengalaman Pertamina di bisnis migas, risiko ini dapat dikelola dengan baik,” ujar Fabby di Jakarta, Selasa (16/8/2016).

Menurut Fabby, melihat kondisi saat ini yang menjadi pertanyaan terkait rencana Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) agar PT PLN (Persero) ikut menyertakan modal di PGE adalah siapa yang nantinya menjadi pengendali. Pasalnya, Kementerian BUMN ingin PLN ikut menguasai saham PGE sebesar 50 persen dan sisanya 50 persen tetap dikuasai Pertamina.

“Siapa yang menjadi pengendali utama ini penting dalam rangka memastikan PGE berjalan secara optimal. Kalau dilihat dari aspek tadi, Pertamina lebih cocok jadi pengendali,” tegas dia.

Abadi Purnomo, Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia, tidak setuju bila PLN masuk ke PGE. Bila dilakukan, Abadi menilai ini merupakan langkah mundur dan membuat investasi panas bumi tidak kondusif. Pasalnya, PLN sebagai off taker ikut berbisnis yang berakibat pada pengembangan panas bumi jadi stagnan.

“Let all the business move on as it is, tak perlu corporate action. Apa sih yang diharapkan PLN? Harga murah? Putuskan saja di Kementerian,” ujarnya.

Rini Soemarno, Menteri BUMN, sebelumnya menegaskan PGE akan tetap di bawah Pertamina meskipun sebagian sahamnya akan diakuisisi PLN. Pertamina dan PLN akan memiliki saham yang sama masing-masing 50 persen di PGE. “Jadi PGE tetap bagian dari Pertamina,” kata Rini.

Kementerian BUMN saat ini telah menunjuk PT Danareksa sebagai konsultan untuk melakukan kajian masuknya penyertaan modal PLN ke PGE.

PGE hingga akhir 2016 menargetkan memiliki kapasitas terpasang listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas (PLTP) sebesar 542 megawatt (MW) dengan masuknya tambahan 105 MW dari tiga pembangkit, yakni PLTP Ulubelu Unit 3 berkapasitas 55 MW, PLTP Lahendong Unit 5 berkapasitas 20 MW, dan PLTP Karaha Unit 1 berkapasitas 30 MW. Salah satu di antaranya, PLTP Ulubelu Unit 3 sudah beroperasi sejak 15 Juli 2016.

Tafif Azimudin, Sekretaris Perusahaan PGE, mengatakan saat ini PGE mengerjakan lima proyek panas bumi sekaligus, tiga di antaranya beroperasi tahun ini. Sisanya, akan beroperasi pada 2017.

”Baru PGE satu-satunya perusahaan di Indonesia, bahkan di dunia yang mengerjakan lima proyek panas bumi sekaligus. Kami memang diinstruksikan untuk seprogresif mungkin mengembangkan panas bumi oleh Pertamina,” ungkap dia.

Menurut Tafif, PGE mendapat dukungan penuh dari induk usahanya, Perrtamina dalam mengembangkan sektor panas bumi. Apalagi dengan infrastruktur dan kompentensi Pertamina di upstream, operasional PGE sangat terbantu.

”Rig kami tinggal minta ke PDSI (PT Pertamina Drilling Service Indonesia). kami juga dapat dukungan dari PT Elnusa Tbk,” katanya.

Sumber: tribunnews.com.

Rencana Akuisisi PGE Dinilai Ganggu Program Listrik 35.000 MW

Rencana Akuisisi PGE Dinilai Ganggu Program Listrik 35.000 MWJAKARTA – Rencana PT PLN (Persero) mengakuisisi PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) dinilai bakal mengganggu program Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam membangun pembangkit listrik 35.000 Mega Watt (MW).

Fabby Tumiwa, pengamat energi dari Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan tidak ada keuntungan yang diperoleh PLN dari akuisisi PGE. Misalnya saja dari sisi biaya produksi listrik.

Menurut Fabby, PLN sempat menyampaikan bahwa dengan akuisisi tersebut biaya produksi listrik akan menjadi lebih rendah. Namun dengan kapasitas PGE yang sampai akhir tahun ini ditargetkan hanya mampu memasok geothermal untuk pembangkit 600 MW, jumlah itu dinilai masih jauh dari kebutuhan PLN.

Sehingga tidak mungkin itu bisa menekan biaya produksi listrik. “Kalau menurunkan biaya panas bumi bagi PLN sih iya, tapi kalau menurunkan harga produksi masih sulit,” kata Fabby kepada Sindonews, Senin (22/8/2016).

Menurut Fabby, akuisisi tersebut justru bisa mematikan PGE. Sebab akan sulit bagi PLN dalam memberikan permodalan agar PGE melakukan ekspansi dan mengembangkan bisnisnya. “Kalau sekarang PGE di bawah Pertamina justru kelihatannya bisa lebih lincah,” ujarnya.

Untuk itu, PLN disarankan fokus pada pembangunan pembangkit listrik. Saat ini saja baru sekitar 13.000 MW pembangkit yang selesai proses tendernya, sedangkan yang lain masih jalan di tempat.

Dengan lambatnya proses tender dan berujung pada keterlambatan konstruksi tentu ujung-ujungnya bakal berdampak pada krisis listrik.

Padahal mestinya jika ditargetkan pada 2019 sudah harus ada tambahan pembangkit 19.000 MW, maka pembangunan pembangkit sudah harus dilakukan saat ini untuk memenuhi kebutuhan di tahun tersebut.

Sayangnya, saat ini banyak tender pembangkit yang nasibnya justru tidak ada kejelasan. Bahkan beberapa tender batal dilaksanakan. Seperti PLTU Jawa 5, PLTU Sumsel 9, PLTU Sumsel 10, PLTMG Pontianak, dan PLTMG Scattered. Bahkan untuk PLTGU Jawa 1, PLN telah melakukan dua kali perpanjangan penawaran.

Untuk PLTGU Jawa 1, di mana pengajuan dokumennya akan ditutup pada 25 Agustus ini, juga minim peminat. “Kita lihat saja nanti hingga akhir tenggatnya berapa konsorsium akan memasukkan penawaran. Kalau jumlah konsorsiumnya sedikit, itu menunjukkan procurement PLN mungkin bermasalah,” kata Fabby.

Untuk itu, Fabby menyarankan Kementerian ESDM, untuk benar-benar mengawasi PLN dalam menjalankan program ini. Jika kondisinya dibiarkan seperti ini, akan berbahaya bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Kalau ketertinggalan suplai dengan demand terus terjadi, maka pengaruhnya adalah 2018-2019 itu di beberapa tempat krisis listrik akan bertambah parah. Di tahun 2018 saja, diperkirakan sudah ada ancaman defisit pasokan listrik untuk wilayah Jawa-Bali.

PLN tentu harus sadar bahwa potensi defisit pasokan listrik dan elektrifikasi di Indonesia disebabkan oleh dua area bisnis utama yang saat ini menjadi tanggung jawabnya, yakni pembangkitan dan transmisi-distribusi listrik. “PLN jangan sampai lupa bahwa tanggung jawab dan fokus bisnisnya adalah pembangkitan dan transmisi-distribusi,” ujarnya.

Hingga saat ini di sektor pembangkitan dan transmisi-distribusi kinerja PLN masing-masing hanya 1% dan 6%. Jika PLN tidak fokus pada tanggung jawabnya serta menjalankan pola serta kerjanya seperti saat ini maka bukan tidak mungkin pada 2019, kinerja PLN di area pembangunan pembangkit hanya 10.000 MW atau tak mencapai sepertiganya dari target. Sementara di sektor transmisi dan distribusi yang dicapai hanya di bawah 20.000 km atau hanya sekitar 40% saja. (ven)

Sumber: sindonews.com.