Menyerap Aspirasi Masyarakat Setempat dalam Pembangunan Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) di Muara Laboh

Listrik memang telah menjadi kebutuhan mendasar bagi masyarakat. Namun siapkah masyarakat jika sebuah pembangkit listrik dibangun di desa mereka. Apa saja keuntungan yang akan mereka dapatkan, dan bagaimana dengan dampak serta resiko yang akan mereka hadapi? Sebuah konsultasi publik bisa menjadi media bagi perusahaan, pemerintah daerah dan masyarakat untuk mengurangi resiko dari pembangunan sebuah proyek energi.

menyerap-aspirasi-masyarakat-setempat“Apakah pengeboran sumur uap air ini akan membuat sumber mata air kami menjadi kering? Bagaimana dengan sawah kami nantinya? Apakah sumur ini bisa mengalami kebocoran seperti yang terjadi di pulau Jawa sana?”

“Anak saya sudah mengirimkan lamaran kerja kepada wali nagari, tapi mengapa tidak dipanggil untuk wawancara? Apakah perusahaan menyediakan pelatihan bagi para karyawan?”

Berbagai pertanyaan tersebut disampaikan masyarakat Muara Laboh saat mengikuti acara konsultasi publik yang diselenggarakan PT Supreme Energi Muara Laboh (PT SEML) pada Rabu lalu (28/9), sebagai persiapan untuk pembangunan konstruksi 13 sumur Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang rencananya akan dimulai pada Januari 2017.

Jika pembangunan kontruksi ini berjalan dengan lancar selama dua tahun, maka PLTP Muara Laboh yang memiliki kapasitas 80 MW, akan siap beroperasi untuk menyediakan pasokan listrik bagi PLN di wilayah Sumatera (Riau, Jambi dan Sumatera Barat), termasuk juga kebutuhan listrik untuk masyarakat Muara Laboh sendiri.

Pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi atau PLTP adalah sesuatu yang baru bagi masyarakat Muara Laboh yang terletak di Kabupaten Solok Selatan, sekitar 150 km dari kota Padang, Sumatera Barat. Ada berbagai kekhawatiran sekaligus harapan yang muncul dengan adanya proyek ini. Jika situasi ini tidak dikelola secara baik dapat muncul resiko yang serius terjadinya konflik antara masyarakat, perusahaan dan pemerintah

“Konsultasi publik ini merupakan media untuk mengurangi resiko tersebut.” jelas Ismoyo Argo, Manager of Business Relations Supreme Energy.

Melalui konsultasi publik ini, jelasnya lagi, masyarakat akan mendapatkan informasi yang benar mengenai keberadaan sebuah proyek energi di wilayah mereka. Dengan begitu mereka bisa memahami apa yang menjadi saja yang menjadi keuntungan atau resikonya bagi kehidupan mereka.

Proses konsultasi publik sendiri merupakan bagian dari persyaratan yang ditetapkan oleh Asian Development Bank (ADB) atas pinjaman 90 juta dollar yang diberikan kepada Supreme Energy Muara Laboh yang sahammnya dimiliki oleh PT Supreme Energy, Sumitomo dan Engie Electrabel SA.

Sesuai dengan naskah Safeguard ADB, proyek ini memiliki dampak lingkungan berkategori A, pemindahan penduduk berkategori B, dan masyarakat adat berkategori C. Berdasarkan kategori tersebut, PT SEML harus melakukan pencegahan dampak lingkungan dan merancang relokasi penduduk lokal. Kedua aspek tersebut diatas tentunya berpotensi menciptakan ketegangan dengan masyarakat setempat dan Pemda, apabila tidak dapat dikendalikan dan diantisipasi dengan baik.

Tim SEML sepertinya berusaha mempersiapkan acara konsultasi publik dengan sebaik-baiknya. Konsultasi ini juga yang dihadiri oleh sekitar 260 peserta dari berbagai kalangan. IESR dan WWF Indonesia adalah dua organisasi non-pemerintah yang diundang pada acara konsultasi publik ini.

“Kami mengundang perwakilan dari pemerintah hingga wali nagari, termasuk pula tokoh masyarakat dan adat dan perwakilan kelompok masyarakat. Kami juga menyiapkan tim dari Jakarta dan Muara Laboh guna memberikan penjelasan yang berkaitan dengan proses teknis konstruksi dan dampak lingkungan,” ujar Ismoyo

Untuk menanggapi berbagai keluhan masyarakat, PT SEML juga menyiapkan mekanisme penanganan keluhan serta tim khusus yang menanganinya. Pihak Supreme Energy juga telah menyiapkan langkah-langkah mitigasi untuk mengatasi persoalan lingkungan akibat kegiatan konstruksi tersebut, termasuk pengelolaan arus lalu lintas kendaraan proyek.

Secara keseluruhan masyarakat Muara Laboh terlihat cukup antusias dan aktif dalam mengikuti konsultasi ini. Terlebih dalam forum ini juga dibahas mengenai peluang kerja dan usaha yang tersedia bagi masyarakat dan juga pasokan listrik yang selama ini telah ditunggu-tunggu masyarakat. Penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa lokal juga memudahkan masyarakat untuk membahasi topik pembahasan dan kerakraban dalam proses dialog.

Para peserta konsultasi juga diperkenalkan dengan komite yang berperan sebagai mediator antara perusahaan dan perwakilan wali nagari. Komite ini nantinya akan melakukan pendataan kebutuhan tenaga kerja serta pemasok lokal untuk material pembangunan sumur PLTP.

Namun demikian, ada pula sejumlah masukan yang disampaikan IESR kepada Supreme Energy dalam memperkuat pelaksanaan konsultasi publik di kemudian hari. Saran ini mungkin juga perlu diperhatikan bagi perusahaan lain yang melakukan konsultasi publik, sejenis yaitu:

  • Proses konsultasi publik. Idealnya konsultasi publik dilakukan di setiap tahap proyek, masa persiapan, implementasi dan pengoperasian. Pertemuan konsultasi publik juga dapat dirancang secara bersama-sama atau dilakukan untuk masing-masing kelompok pemangku kepentingan. Konsultasi publik membutuhkan persiapan matang yang dipakai untuk memetakan pemangku kepentingan, jenis kepentingan, kebutuhan dan keinginan masyarakat setempat, potensi konflik horizontal, perilaku dan isu-isu spesifik yang muncul dan berkembang. Memahami aspirasi masyarakat dan kebutuhan serta keinginan mereka akan membantu perusahaan mempersiapkan materi dan tanggapan yang sebaik-baiknya, yang dapat membangun kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan.
  • Pengelolaan waktu. Sebuah konsultasi publik efektif berjalan antara 2-4 jam saja. Hal ini disebabkan oleh kemampuan berkonsentrasi dari para pesertanya. Oleh karena itu waktu yang singkat ini perlu dikelola dengan baik sehingga seluruh topik yang hendak dibahas mendapatkan porsi yang cukup, demikian pula waktu yang cukup bagi masyarakat untuk bertanya atau berdiskusi. Salah satu cara untuk mengefektifkan waktu adalah adalah dengan menyiapkan materi pembahasan dalam bentuk alat peraga, animasi, atau media komunikasi lain yang lebih sederhana. Ini dapat membantu masyarakat memahami PLTP dengan lebih baik, ketimbang menggunakan presentasi dengan power point berikut dengan paparan yang sangat teknis.
  • Keberadaan Fasilitator. Fasilitator berbeda dengan pembawa acara atau MC. Fasilitator berperan untuk mengatur lalu lintas percakapan dalam konsultasi termasuk menggali aspirasi masyarakat dan membantu n warga untuk mengekspresikan gagasan. Seorang fasilitator juga mengelola waktu dan mengalokasikan waktu yang cukup untuk proses diskusi yang seimbang diantara para pemangku kepentingan, dan merangkum hasil konsultasi yang nantinya bisa disebarkan kepada masyarakat lainnya. Fasilitator juga berperan untuk memastikan bahwa suara kelompok perempuan, masyarakat kurang mampu dan yang berkebutuhan khusus bisa disampaikan di dalam forum konsultasi.
  • Suara dan aspirasi kelompok perempuan. Dalam forum pertemuan atau konsultasi kelompok perempuan sering kali terabaikan atau dianggap telah diwakili oleh kelompok laki-laki. Padahal mereka mempunyai peran yang khusus dan penting dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, termasuk yang berkaitan dengan pemenuhan akses energi, seperti air, penerangan dan alat masak. Perempuan juga berperan untuk menjamin kelangsungan kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan hidup keluarganya. Oleh karena itu suara perempuan perlu diperhatika untuk memastikan bahwa pembangunan sebuah proyek energi seperti PLTP dapat mendukung peran dan tugas perempuan dan bukan malah menambah beban dan persoalan baru.

Konsultasi publik bukanlah ajang untuk mendapatkan persetujuan, tetapi suatu tahap dari sebuah proses untuk membantu masyarakat untuk memahami proyek yang akan dilaksanakan, dan mengidentifikasi manfaat yang akan diterima langsung atau tidak langsung. Pemahaman yang baik atas proyek dan kepercayaan masyarakat terhadap kredibilitas perusahaan merupakan faktor penting mendapatkan persetujuan dan sokongan masyarakat setempat.

Kualitas Listrik: Perlukah Diamati?

Pernahkah Anda mengamati kualitas listrik di rumah Anda?

Barangkali tidak.

Setidaknya saya, yang tinggal di Jakarta, di salah satu area yang banyak disebut sebagai area maju karena berada di dekat jalan protokol dan kawasan bisnis terpadu. Mati listrik? Jarang, pake banget. Karena sedemikian jarangnya, saya pun abai dengan kualitas listrik di sana. Asumsi saya, semuanya baik-baik saja.

Ketika akhirnya saya memasang alat Electricity Supply Monitoring (ESM), asumsi saya terbukti salah. Voltase di tempat yang saya tinggali naik turun dengan frekuensi yang tinggi, dan terjadi setiap hari.

Institute for Essential Services Reform (IESR) saat ini sedang mengelola sebuah proyek yang disebut Electricity Supply Monitoring Initiative (ESMI). ESMI adalah sebuah inisiatif yang dibuat, dikembangkan, dan diterapkan di India oleh Prayas Energy Group (PEG).

Inisiatif ini pertama kali diperkenalkan pada publik pada bulan Maret 2015 di India dan saat ini diterapkan di beberapa ratus lokasi di seluruh India. World Resources Institute (WRI), Institute for Essential Services Reform (IESR) di Indonesia, dan Prayas Energy Group (PEG) di India, akan mengerjakan pilot project terkait ESMI di Indonesia.

img_20160927_114120

Sementara Jakarta dan sekitarnya tidak sering mengalami mati listrik, banyak rakyat Indonesia di berbagai area lainnya yang mengalami mati listrik dengan frekuensi yang cukup sering. ESMI, dengan alatnya yang disebut ESM device, digunakan untuk mengumpulkan data dengan metode crowdsource dari berbagai lokasi di Indonesia. Data yang diambil adalah data kualitas listrik (voltase dan frekuensi mati listrik) dan akan dipublikasikan pada masyarakat sehingga dapat dipergunakan untuk memantau kualitas listrik di Indonesia.

Salah satu kota yang dijadikan sasaran ESMI adalah Kupang, Nusa Tenggara Timur. Menurut data statistik PLN, provinsi ini memiliki rasio elektrifikasi di bawah 60% dan kekurangan daya yang mengakibatkan frekuensi mati listrik yang cukup tinggi. Dengan kualitas listrik yang belum optimal, monitor kualitas suplai listrik melalui proyek ESMI dapat digunakan oleh pelanggan layanan listrik untuk berkomunikasi dengan penyedia layanan. Model seperti ini kami sebut dengan evidence-based feedback.

Untuk memonitor kualitas suplai listrik di Kupang, IESR bekerja sama dengan Perkumpulan Pikul. Pada tanggal 26 – 28 September 2016 lalu, IESR dan Perkumpulan Pikul mengadakan workshop bersama untuk membahas mengenai ESMI di Kupang. Dalam workshop ini dibahas mengenai latar belakang ESMI, tantangan terkait listrik yang terjadi di Indonesia, tujuan ESMI, serta bagaimana implementasi ESMI di Kupang. Workshop ini diikuti oleh tim Pikul, Geng Motor Imut, dan dosen salah satu universitas di Kupang. Menurut Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Pikul, hampir setiap hari terjadi pemadaman bergilir di Kota Kupang, baik yang diinformasikan sebelumnya melalui akun sosial media PLN maupun yang tidak. Langkah pemberitahuan ini diapresiasi oleh masyarakat Kupang, meskipun mereka juga banyak menyesalkan dan bertanya-tanya mengenai seringnya pemadaman tersebut. Kupang memang mengalami defisit daya.

Menurut paparan data kondisi kelistrikan di Kupang, banyak trafo distribusi yang bebannya sudah melebihi hampir mencapai 100%, di mana sebaiknya beban pada satu trafo tidak melebihi 80%. Dengan kondisi ini, mati listrik dengan periode beberapa jam cukup sering terjadi di Kupang, sehingga Kupang dipilih menjadi salah satu kota untuk implementasi ESMI.

Pemetaan responden di Kupang juga dilakukan dalam workshop ini. Dengan beberapa kriteria pemilihan, 11 alat akan dipasang di Kota Kupang dan sekitarnya. Beberapa responden mengungkapkan bahwa keberadaan alat ini akan membantu mereka dalam memantau kualitas listrik di rumah/properti mereka dan menggunakan data tersebut untuk berkomunikasi dengan PLN setempat untuk peningkatan kualitas listrik. Ke depannya, advokasi ke masyarakat, pemerintah, dan penyedia layanan listrik akan dilakukan bersama-sama antara IESR, Pikul, dan perwakilan komunitas di Kupang.

Hening Marlistya Citraningrum, Program Manager (Sustainable Energy Transition)