Mengevaluasi Kinerja 2 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK

Pada 20 Oktober 2016, duet Jokowi-JK genap dua tahun lamanya dalam memimpin Republik Indonesia. Koalisi Masyarakat Sipil PWYP Indonesia menyoroti kinerja dari dua tahun pertama masa pemerintahan Jokowi-JK, khususnya dalam sektor energi dan sumberdaya mineral (ESDM). Dalam mensosialisasikan hasil evaluasi tersebut, PWYP Indonesia menyelenggarakan media briefing dengan menghadirkan Maryati Abdullah (Koordinator PWYP Indonesia), Fabby Tumiwa (Direktur IESR), dan Berly Martawardaya (Akademisi Universitas Indonesia) sebagai nara sumbernya. Media briefing tersebut diselenggarakan di kawasan Cikini pada 21 Oktober 2016.

Jokowi-JK mengusung nawacita sebagai sembilan agenda prioritas selama masa kepemimpinannya. Empat dari sembilan agenda tersebut terkait langsung dengan sektor ESDM, yaitu nawacita nomor 1, 2, 4, dan 7. Keempat agenda tersebut menghasilkan sembilan program yang terkait langsung dengan sektor ESDM. Program-program tersebut adalah:

  1. aspek regulasi, ketahanan, keamanan, dan penegakan hukum;
  2. aspek pemberantasan korupsi;
  3. aspek produksi dan penerimaan negara dari sektor SDA;
  4. bidang energi;
  5. peningkatan nilai tambah dan hilirisasi industri SDA;
  6. renegosiasi kontrak pertambangan;
  7. investasi, perdagangan dan pengembangan industri;
  8. aspek sosial: konflik dan hak masyarakat; dan
  9. aspek kelembagaan.

Komitmen pemerintah dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi tercermin dalam terbentuknya Korsup Energi yang anggotanya merupakan gabungan dari masyarakat sipil dengan KPK. Selain itu, pemerintah juga melakukan penataan izin usaha pertambangan dengan melakukan, salah satunya, pencabutan izin usaha pertambangan yang bersifat non Clean and Clear. Namun, kemajuan yang tidak terlalu signifikan dalam isu renegosiasi kontrak pertambangan juga terlihat selama dua tahun terakhir ini. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya jumlah perusahaan PKP2B dan KK yang telah menandatangani amandemen Kontrak Karya sesuai amanat UU Minerba.

Dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dari sektor ESDM, pemerintah melakukan upaya untuk menaikkan tingkat produksi dan jumlah investasi serta meningkatkan transparansi penerimaan. Untuk meningkatkan jumlah produksi, pemerintah mengeluarkan insentif fiskal dan juga mengembangkan teknologi Enhanced Oil Recovery. Terkait dengan upaya peningkatan investasi, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi pembangunan kilang dan infrastruktur listrik. Di samping itu, izin investasi disederhanakan hingga 60% dalam dua tahun terakhir. Namun sayangnya nilai investasi di sektor ESDM tetap saja terus menurun. Implementasi dari Extractive Industry Transparency Initiative dalam tata kelola sektor pertambangan di Indonesia pun juga dilakukan untuk meningkatkan transparansi penerimaan.

Pemerintah pun telah melakukan perubahan tata kelola dalam bidang energi selama dua tahun terakhir ini, seperti menetapkan tata niaga gas dan mengalihkan subsidi dari sektor energi ke sektor produktif lainnya. Mengenai peningkatan hilirisasi industri SDA, saat ini sudah banyak perusahaan pertambangan yang membangun pabrik smelter. Meskipun begitu, di sisi lain, pemerintah tidak menunjukkan upaya yang progresif dalam mengatasi konflik dan pemenuhan hak masyarakat.

Mengenai aspek kelembagaan, pemerintah melakukan upaya penguatan kelembagaan melalui pembentukan Direktoran Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Percepatan Infrastrukur Migas yang menunjukkan bahwa pemerintah serius dalam mengantisipasi kebocoran penerimaan di sektor ini.

Pemanfaatan EBT dalam Listrik

Di dalam Kebijakan Energi Nasional melalui PP No. 79/2014, ditargetkan bahwa, pada tahun 2025, peran EBT adalah minimal 23% serta kapasitas pembangkit listrik adalah 115 GW. Konsekuensinya, EBT harus menjadi sumber pembangkit listrik dengan kapasitas sebesar 45 GW pada tahun 2025. Diketahui bahwa kapasitas pembangkit listrik EBT saat ini adalah 9 MW; sehingga dibutuhkan tambahan 36 MW lagi sampai akhir tahun 2025. Untuk dapat mencapai target tersebut, diharapkan ada tambahan 16 MW sampai akhir tahun 2019; sehingga terdapat total 25 GW kapasitas pembangkit listrik EBT pada 2019.

Namun, sangat disayangkan, pengembangan pembangkit listrik EBT dalam dua tahun terakhir ini tidak signifikan. Tidak ada pembangkit listrik EBT dengan kapasitas ratusan MW yang masuk ke dalam grid. Sebenarnya, ada beberapa pembangkit listrik EBT dengan skala kecil (kapasitas ratusan KW) masuk ke dalam grid, namun ini semua berasal dari proyek Kementerian ESDM sebagai bagian dari program listrik desa.

Di dalam rancangan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang akan segera disahkan oleh Jokowi melalui Perpres, kembali ditegaskan bahwa 45 GW listrik pada tahun 2025 ditargetkan berasal dari EBT. Meskipun demikian, RUPTL 2016-2025[1] memasang target yang lebih rendah untuk tambahan pemanfaatan EBT dalam penyediaan listrik, yaitu sekitar 22 GW, pada tahun 2025. Hal ini mengakibatkan total pemanfaatan EBT dalam penyediaan listrik adalah 31 GW (22+9) pada akhir tahun 2025. Dengan kata lain, PLN hanya dapat menyediakan 2/3 dari target RUEN. Oleh karena itu, pemerintah harus dapat mengakselerasi pemanfaatan EBT sebagai sumber pembangkit listrik dalam 3 tahun ke depan.

Untuk itu, pemerintah harus dapat mengatasi permasalahan yang mengakibatkan mandeknya pemanfaatan EBT dalam sumber listrik selama dua tahun terakhir ini, yaitu:


1Dokumen ini menjadi acuan oleh PLN dalam menjalankan bisnisnya.

  1. PLN tidak mau bekerja sama dengan IPP dalam pemasokan listrik EBT

Selama ini, PLN menolak untuk menandatangani Purchase Power Agreement dengan harga Feed-in Tariff (FiT) yang telah ditentukan oleh pemerintah. Menurut PLN, FiT tersebut lebih mahal daripada biaya produksi PLN ataupun harga yang PLN terima ketika PLN melakukan kontrak langsung dengan perusahaan lain (Business to Business). PLN tidak ingin menanggung kerugian dari selisih harga ini. Ketidakpastian sikap PLN ini dianggap sebagai risiko investasi yang besar oleh perusahaan penyedia listrik (IPP).

2) Tidak adanya paket regulasi insentif pemanfaatan EBT yang komprehensif, baik untuk PLN dan IPP

3) Sulit mendapatkan pendanaan untuk proyek-proyek listrik EBT

Selama ini, tidak ada kerangka regulasi perbankan yang memungkinkan adanya pinjaman-pinjaman skala kecil dan menengah untuk proyek-proyek listrik EBT sehingga proyek-proyek ini cenderung tidak dapat disetujui oleh pihak perbankan.

Listrik

Satu hal positif dari pemerintahan Jokowi-JK adalah terjadinya peningkatan rasio elektrifikasi sebesar 1,2% dari 2015 sampai Juni 2016.

Pemerintahan Jokowi-JK memiliki dua program utama: (1) meningkatkan kapasitas pembangkit listrik sehingga dapat meningkatkan tingkat konsumsi per kapita; dan (2) meningkatkan rasio elektrifikasi dari 82% pada 2014 menjadi 97% pada 2019. Strategi utama dalam menjalankan program tersebut adalah: (2) meningkatkan kapasitas pembangkit listrik dengan program 35 GW; (2) meningkatkan rasio elektrifikasi di perdesaan serta di daerah terpencil.

Namun, pada nyatanya, apa yang terjadi? (1) belum ada kemajuan yang substansial dari pelaksanaan program 35 GW; (2) tidak seluruh pembangkit listrik beroperasi, bahkan masih ada beberapa pembangkit listrik yang mengalam krisis; (3) tingginya jumlah investasi yang dibutuhkan untuk pembangkit, listrik, transmisi dan distribusi, yaitu hampir Rp 2.000 T untuk 10 tahun mendatang.

Untuk mencapai akses listrik universal, pilihan penyediaan listrik dengan skema off-grid patut dipertimbangkan mengingat tidak semua daerah listrik bisa dijangkau dengan skema on-grid. Dalam penyediaan listrik dengan skema on-grid, institutional arrangement menjadi penting selain isu teknis. Pihak lokal harus dilibatkan dalam proses perawatan dan monitoring secara berkala.

Mineral

Dalam perjalanannya mengelola mineral, sudah sepatutnya Indonesia memiliki perusahan mineral skala dunia. Hal ini penting mengingat sifat mineral yang tidak terbarukan.

Rekomendasi

Secara umum, untuk ke depannya, dalam rangka mencapai target-target yang telah tertuang dalam dokumen-dokumen perencanaan seperti RPJMN, RUEN, dan lain sebagainya, pemerintah harus konsistensi dalam pembuatan regulasi, konsistensi dalam pelaksanaan regulasi, serta konsistensi dalam kaitannya dengan pencapaian target.[1] Dokumen ini menjadi acuan oleh PLN dalam menjalankan bisnisnya.

Kenaikan Tarif Listrik Bertahap Sudah Tepat

079792300_1450348457-20151217-sistem-kelistrikan-jakarta-ay1Keputusan pemerintah mencabut subsidi listrik secara bertahap yang berujung pada kenaikan tarif listrik untuk golongan pelanggan 900 Volt Amper (VA) yang masuk dalam kategori Rumah Tangga Mampu (RTM) dinilai sudah tepat.

Pengamat energi dari Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa ‎mengatakan, dengan mencabut subsidi listrik bertahap maka akan mengurangi kejutan pada masyarakat. Alasannya, dengan pencabutan bertahap ini dengan kata lain kenaikan tarif listrik akan dilakukan secara bertahap.

“Kalau dalam rencana dilakukan tiga tahap maka akan ada penyesuaian. Jadi tidak langsung kaget,: kata Fabby saat berbincang dengan Liputan6.com, di Jakarta, Senin (7/11/2016).

Dengan dicabutnya subsidi listrik, maka tarif listrik 900 VA saat masih disubsidi besarannya hanya Rp 600 per kilo Watt hour (kWh), jika subsidi tersebut dicabut maka akan mengalami kenaikan tarif menjadi sekitar Rp 1.500 per kwh.

Dengan adanya pencabutan subsidi bertahap maka masyarakat tidak akan langsung dikenakan tarif dua kali lipat saat subsidi dicabut. “Saya kira tiga tahap itu membantu masyarakat supaya tidak mengalami kaget,” jelas Fabby.

Sebelumnya pada 4 November 2016, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan pencabutan subsidi listrik pada golongan pelanggan 900 Volt Ampere (VA) yang berkategori mampu akan berlangsung bertahap, sebanyak tiga kali‎ sepanjang 2017.

Direktur Jenderal ‎Ketenagalistrikan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jarman mengatakan, pelanggan listrik 900 VA saat ini berjumlah 22,9 juta.

Namun ternyata usai pendataan, tercatat yang berhak mendapatkan subsidi masuk dalam kategori miskin dan rentan miskin hanya 4,1 juta pelanggan, sementara sisanya 18,8 juta pelanggan tidak berhak menerima subsidi.

“Itu untuk 900 VA, kan 900 VA total pelanggannya 22,9 juta, yang eligible untuk dapat subsidi 4,1 juta, berarti 18,8 juta itu kan tidak,” kata dia di Jakarta, Jumat (4/1‎1/2016).

Menurut Jarman, karena 18,8 juta pelanggan tersebut ‎tidak berhak menerima subsidi, maka pemerintah akan mencabutnya secara bertahap sebanyak tiga kali dalam setahun, mulai Januari 2017.

Namun Jarman belum bisa memastikan waktu atau periode pencabutan subsidi listrik tersebut. Adapun dengan pencabutan subsidi terhadap 18,8 juta pelanggan tersebut pemerintah ‎dapat menghemat Rp 22 triliun dalam satu tahun.(Pew/Gdn)

Sumber: liputan6.com.