Inilah Kendala Proyek Listrik 35 Ribu MW

inilah-kendala-proyek-listrik-35-ribu-mwProgram nasional proyek listrik 35 ribu mega watt (MW) berjalan tidak sesuai harapan. Apa saja kendalanya?

Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang, molornya program 35 ribu mega watt (MW) lebih banyak disebabkan oleh manajemen PT PLN (Persero). Pihak manajemen BUMN energi itu membuat bisnis proses menjadi panjang sehingga pengerjaan proyek memakan waktu.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menuturkan, dari proses lelang misalnya, PLN menerapkan kebijakan yang menyulitkan investor melalui berbagai syarat dan ketentuan. Namun saat peserta lelang bisa menyanggupi, PLN juga lambat dalam mengambil keputusan.

“Faktor utamanya ada di kapasitas PLN dalam melakukan pengelolaan lelang, negosiasi PPA dan eksekusi proyek,” kata Fabby di Jakarta, Selasa (15/11/2016).

Faaby juga menyoroti renanca umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) yang hingg kini terus mengalami perubahan. Akibatnya, arah pembangunan pembangkit listrik masih tak kunjung jelas juntrungannya. “Pemerintah dan PLN inkonsisten soal perencanaan RUPTL,” ujarnya.

Dia memang sudah menduga pembangkit listrik yang sudah commercial on date (COD) hanya sekitar 18-20 ribu MW di tahun 2019. Ini juga dibuktikan dari 11 ribu MW yang sudah dan negosiasi PPA, baru 6.000 MW yang masuk konstruksi.

Fabby juga menyoroti lelang pembangkit listrik berskala besar yang tak kunjung diputuskan, seperti PLTU Jawa 1 dan PLTU Jawa 5.

Ditambah lagi proyek Sumsel 8 yang mengubah spesifikasi dan desain lantaran PLN membatalkan pembangunan interkoneksi Jawa-Sumatra sehingga perlu negosisasi harga. “Sumsel 9 dan 10 kemungkinan batal. Ini semua proyek besar,” tutur dia. [hid]

Sumber: inilah.com.

Target Listrik Disunat, Defisit Listrik Mengancam

Pekerja PT Bukaka Teknik Utama Tbk mempersiapkan pengujian pembebanan tower dan uji tarik material di Cilegon, Banten, Senin (24/10). PT Bukaka Teknik Utama Tbk bersama PT Waskita Karya dan PT PLN mengadakan pengujian pembebanan tower transmisi 500 KV dan uji tarik material yang akan digunakan untuk jaringan transmisi Sumatera timur guna mendukung megaproyek listrik 35.000 MW. KONTAN/Carolus Agus Waluyo
Pekerja PT Bukaka Teknik Utama Tbk mempersiapkan pengujian pembebanan tower dan uji tarik material di Cilegon, Banten, Senin (24/10). PT Bukaka Teknik Utama Tbk bersama PT Waskita Karya dan PT PLN mengadakan pengujian pembebanan tower transmisi 500 KV dan uji tarik material yang akan digunakan untuk jaringan transmisi Sumatera timur guna mendukung megaproyek listrik 35.000 MW. KONTAN/Carolus Agus Waluyo

JAKARTA. Pemangkasan target megaproyek listrik dari 35.000 Megawatt (MW) menjadi 19.763 MW di tahun 2019 masih akan membuat listrik di luar Pulau Jawa mengalami defisit listrik. Pasalnya, rasio elektrifikasi yang ditargetkan mencapai 98% di 2019, hanya tercapai 93%.

Bagaimana tidak, dari angka 19.763 MW itu, pembangunan pembangkit listrik hanya terpusat di Pulau Jawa. Alasannya, Pulau Jawa merupakan pusat beban ketenagalistrikan.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menilai Sumatera, Kalimantan, Sulawesi serta pulau-pulau terpencil lainnya berprotensi krisis listrik dengan pemangkasan target 35.000 MW di 2019. Sebab, dari angka 19.763 MW sebagian besar pembangkitnya terpusat di Pulau Jawa.

“Contohnya Sumatera yang listriknya tumbuh agak cepat. Tapi saat ini saja sudah ada yang defisit. Tahun ini bisa tertolong karena PLTA bisa memasok cukup besar karena ada musim hujan yang panjang,” ungkapnya kepada KONTAN, Selasa (15/11).

Maka dari itu, pemangkasan proyek jadi 19.763 MW itu dinilai jauh dari kebutuhan di tahun 2019. Pasalnya, ada hidden demand yang muncul ketika pasokan ada. “Hal itu yang membuat pasokan cepat terserap. Pemerintah harus antisipasi itu,” tandasnya.

Sementara itu, Kepala Satuan Komunikasi Korporat PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), I Made Suprateka membenarkan bahwa pembangunan pembangkit listrik yang selesai di tahun 2019 sebesar 19.763 MW itu masih berpusat di Pulau Jawa.

Namun sayangnya dia belum bisa memberi detil pembangunan pembangkit yang berpusat di Pulau Jawa itu. Seperti diketahui, dari angka 19.763 MW, IPP mendapatkan porsi yang lebih besar ketimbang PLN. Di antaranya, IPP mendapatkan porsi sekitar 11.413 MW dan PLN 8.350 MW.

“Jadi, apabila target 35.000 MW itu selesai rasio elektrifikasinya bisa mencapai 98%. Kalau dilihat realistisnya yang selesai 19.763 MW rate 93%,” terangnya.

Untuk pembangunan pembangkit di Pulau lain, seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi maupun Papua hanya skala kecil dan pembangunan pembangkitnya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.

Angka 19.763 MW itu dilihat dari yang sudah melakukan Power Purchasment Agreement (PPA), Konstruksi dan sudah Commercial Operation Date (COD) per 31 Oktober. Di antaranya 9.790 MW yang PPA, 8.541 MW konstruksi dan 407 MW yang sudah COD.

“Kalau ini kemungkinan 19.763 MW ini yang pasti selesai 2019,” ungkpanya. Tapi menurut Made, ada beberapa lagi yang masih dalam proses pengadaan sekitar 7.000 MW. Artinya apabila tidak ada kendala akhir tahun ini bisa melakukan PPA. “Bisa saja bertambah tahun 2019 akhir menjadi 21.000-an MW yang selesai,” tandasnya.

Sumber: kontan.co.id.