Dialog Publik: Pendanaan Perubahan Iklim di Indonesia

Kegiatan ini merupakan kegiatan tahunan yang dilakukan oleh IESR yang mengundang instansi atau pihak-pihak yang punya kewenangan atau yang bertugas untuk membawa posisi Indonesia di dalam negosiasi perubahan iklim. Kegiatan ini berlangsung pada tanggal 31 Oktober 2016, di Hotel Oria. Pada tahun-tahun sebelumnya yang lazim diangkat adalah isu terkait COP yang cukup luas. Tahun lalu, sehubungan dengan Paris Agreement, maka seluruh aspek dalam Paris Agreement itu, dibahas. Namun, untuk tahun ini, karena banyak isu dalam Paris Agreement yang masih ‘dibentuk’, maka IESR hanya mengangkat satu tema, yaitu mengenai pendanaan perubahan iklim.
Pendanaan merupakan salah satu dari tiga pendukung yang menjadi agenda COP dan selalu disebut sebagai Means of Implementation (MoI): teknologi, capacity building, dan pendanaan. Terkait dengan pendanaan perubahan iklim, menarik untuk melihat kemajuan di Indonesia. Hal ini terlihat dari bagaimana Indonesia mempersiapkan institusi-institusi pendanaan, maupun mekanisme pendanaan di tingkat domestik, untuk mendanai aksi-aksi perubahan iklim, baik adaptasi maupun mitigasi. Untuk Adaptation Fund, saat ini sudah ada accredited implementing entity di Indonesia, yaitu Kemitraan. Dialog ini juga diperlukan untuk mengetahui apa yang sebenarnya ingin dilakukan oleh Kemitraan terkait dengan Adaptation Fund.

Indonesia juga telah menetapkan NDA untuk Green Climate Fund. Indonesia juga memiliki institusi seperti ICCTF yang dibentuk oleh Bappenas, serta inisiatif-inisiatif lain yang saat ini berkembang untuk mengakses pendanaan tersebut. KADIN juga saat ini tengah mempersiapkan suatu inisiatif. Ada juga NGO lain yang memiliki inisiatif untuk mendanai kota. Namun, yang menjadi isu saat ini adalah bagaimana mekanisme-mekanisme pendanaan tersebut, dapat memenuhi kebutuhan pendanaan untuk aksi adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim di Indonesia.

Selain daripada itu, mekanisme GCF yang merupakan mekanisme pendanaan terbesar untuk perubahan iklim, juga sudah mulai, dan sudah siap ‘belanja’. Modalitasnya sudah tersedia, instrumennya sudah ada, dan saat ini sudah siap untuk menyalurkan dana, sehingga negara-negara termasuk institusi-institusi dari negara-negara berkembang yang menjadi anggota dari UNFCCC, dapat memanfaatkan dana-dana tersebut. Untuk mengakses pendanaan tersebut, tentunya harus kembali ke kapasitas nasional Indonesia untuk mengakses pendanaan-pendanaan tersebut.

Sejak kesepakatan Paris tahun lalu, dan Indonesia juga sudah meratifikasi kesepakatan Paris, dengan perkembangan terkini melalui inisiatif pendanaan lingkungan, perlu untuk dilihat bagaimana pendanaan-pendanaan yang ada di Indonesia saat ini untuk siap dan dapat bersinergi dengan kebutuhan pendanaan yang ada. Kebutuhan pendanaan untuk Indonesia dapat mencapai 23% energi terbarukan saja, mencapai 1.600 triliun rupiah. Pendanaan investasi swasta ini juga tidak mudah, karena energi terbarukan, misalnya, masih dianggap sangat beresiko. Jadi sebenarnya, banyak pihak masih berharap, untuk mengakses pendanaan perubahan iklim seperti GCF sebagai salah satu cara atau jalan untuk membiayai energi terbarukan. Permasalahan adalah dana tersedia, namun untuk mengakses dana tersebut tidak dapat dilakukan dengan begitu saja, ada prosedur, mekanisme, dan kesiapan institusi untuk mengakses pendanaan tersebut.
Pendanaan perubahan iklim juga ditentukan oleh konstelasi politik, sehingga konstelasi politik perubahan iklim global paska Paris perlu juga untuk dicermati. Bagaimana kemungkinan konstelasi politik dengan terpilihnya Presiden Amerika Serikat, yang salah satu kandidatnya pada saat kampanye pemilihan Presiden, sudah menyatakan bahwa yang akan dilakukan pertama kali sebagai Presiden, adalah membatalkan keikutsertaan Amerika di dalam Paris Agreement. Apabila hal ini terjadi, apakah ini tidak mengulangi pengalaman Kyoto Protokol dulu? Lalu kemudian, terkait dengan komitmen. Salah satu komitmen di dalam Paris Agreement adalah mobilisasi pendanaan USD 100 milyar, yang diharapkan bisa naik lagi. Jika negara-negara besar seperti Amerika, yang dikuatirkan akan mundur dari PA, bagaimana implikasinya dengan janji-janji yang terkait dengan pendanaan, pengembangan kapasitas, transfer teknologi dan lain sebagainya? Hal-hal ini tentu saja sangat terkait dengan politik perubahan iklim.
Dalam konteks ini, IESR meminta kesediaan dari Bapak Prof. (HC) Dr. Rachmat Witoelar, Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim, agar dapat menyampaikan perspektif atau gambaran konstelasi politik perubahan iklim global paska Paris Agreement, serta memberikan overview terkait dengan konteks di Indonesia sendiri seperti apa, dan kira-kira apa yang sudah disiapkan oleh Indonesia untuk COP 22 di Marakesh.

IESR juga mengundang Direktur Jenderal untuk Pengendalian Perubahan Iklim dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang diwakilkan oleh Ibu Drs. Sri Tantri Arundhati, M.Sc., terkait dengan Adaptation Fund. KLHK merupakan NDA untuk Adaptation Fund. IESR juga mengundang Yayasan Kemitraan juga, yang merupakan accredited entity untuk Adaptation Fund untuk Indonesia. Terkait dengan pendanaan Green Climate Fund, IESR juga mengundang Bapak Dr. Syurkani Ishak Kasim, dari PKPPIM (Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral), di mana kementerian keuangan adalah NDA untuk GCF di Indonesia. IESR juga mengundang Bapak Medrilzam, Direktur Lingkungan Hidup dari Bappenas. Bappenas membentuk ICCTF di tahun 2009, dan saat ini dalam proses transisi karena awalnya mau menjadikan ICCTF sebagai transformation fund. ICCTF bisa mendukung mitigasi dan adaptasi, walau demikian, saat ini masih menyalurkan hibah untuk adaptasi dan mitigasi yang cukup besar sebenarnya, terutama dalam dua tahun terakhir, ada pendanaan dari USAID, lalu ada juga dari UK, dan terakhir bekerja sama dengan BRG, untuk pendanaan gambut. IESR juga mengundang Bapak Paul Butarbutar dari South Pole, yang akan mengulas mengenai pendanaan berbasis pasar, khususnya untuk mitigation action.

Beberapa hal yang muncul dari dialog ini adalah hal-hal yang terkait dengan kemungkinan untuk Indonesia menyusun UU Perubahan Iklim, bagaimana menggali isu pasar karbon lebih mendalam, instrumen-instrumen pembiayaan untuk adaptasi, serta sistem registry di Indonesia. Dialog ini juga menyampaikan bahwa negosiasi internasional memang penting, namun yang lebih penting dan mendesak adalah bagaimana kesiapan Indonesia membangun pondasi yang kokoh untuk mengimplementasikan Paris Agreement di dalam negeri.

Unduh Laporan Dialog Publik Menjelang COP 22: Pendanaan Perubahan Iklim (PDF)