Aturan Baru Kementerian ESDM Dinilai Hambat Investasi Energi Baru Terbarukan

JAKARTA, KOMPAS.com – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan baru saja menandatangani Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Baru Terbarukan (EBT) untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

Namun, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, aturan baru yang mengatur harga maksimum listrik dari sejumlah energi terbarukan itu justru akan menghambat investasi di sektor tersebut.

“Saya yakin investasi energi terbarukan akan saaturan baru yang mengatur harga maksimum listrik dari sejumlah energi terbarukan itu justru akan menghambat investasi di sektor tersebut.ngat terhambat kecuali bagi investor yang bisa mengakses sumber dana,” ujar Fabby dalam acara diskusi Energi Kita di Jakarta, Minggu (5/2/2017).

Setelah keluarnya Permen ESDM Nomer 12 Tahun 2017, subsidi tidak lagi diberikan kepada pengembang EBT. Sementara itu pemerintah belum menyediakan skema insentif untuk para investor.

Menurut Fabby, seharusnya pemerintah menyiapkan terlebih dahulu skema pemberian insentif kepada investor EBT sebelum mengeluarkan Permen 12 Tahun 2017. Insentif itu bisa berupa suku bunga pinjaman rendah hingga pembebasan pajak.

“Salahnya Permen 12 keluar tetapi faktor lain yang mempengaruhi keekonomian proyek belum ada,” kata Fabby.

Di tempat yang sama, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jarman mengatakan, subsidi untuk EBT memang tidak lagi diberikan sebab berdasarkan undang-undang, subsidi hanya boleh diberikan kepada masyakarat tidak mampu, bukan untuk pengembang atau perusahaan EBT.

Lantaran hal itu pula, usulan adanya anggaran subsidi EBT yang diajukan Kementerian ESDM ditolak oleh DPR.

Meski begitu, Jarman mengatakan bahwa pemerintah akan memberikan insentif kapada pelaku usaha sehingga EBT tetap bisa berkembang.

“Itu perlu dibicarakan dengan Kementerian Keuangan karena pengembangan di Kamboja saja itu ada insentif, bukan subsidi kepada harga EBT-nya,” tutur Jarman.

Sumber: kompas.com.

Aturan Baru Jual Beli Listrik Bertujuan Tertibkan Swasta

Pasokan Listrik Jakarta – Jajaran Sutet di jalur Cawang – Clilitan saat senja, sebagai salah satu jalur pasokan listrik jakarta dan sekitarnya, Kebutuhan pasokan listrik Jakarta akan meningkat pesat untuk 10 tahun mendatang. PLN memperkirakan permintaan listrik kota Jakarta mencapai 9.800 MW pada tahun 2021. Beban puncak Jakarta saat ini mencapai 6000 MW sedangkan beban puncak sistem Jawa-Bali mencapai 21.000 MW. BeritaSatu Photo / Gugun A. Suminarto

Jakarta- Direktur Jenderal Kelistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jarman menjelaskan bahwa peraturan baru terkait jual beli listrik melalui Peraturan Menteri ESDM bertujuan untuk menertibkan pengembang swasta agar taat regulasi.

“Adanya Peraturan Menteri (Permen) Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pokok-Pokok Dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik ini agar swasta tidak seenaknya sendiri, serta menaati kesepakatan, selama ini banyak pembangkit listrik yang terbengkalai,” kata Jarman di Jakarta, Minggu (5/2).

Dalam Permen no 10/2017 pengembang akan terkena penalti jika tidak menaati aturan atau bahkan Power Purchase Agreement (PPA) bisa batal.

Permen No 10/2017 mengatur tentang Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBL) antara pembeli (PLN) dengan penjual (independet power producer/IPP) terkait aspek komersial untuk seluruh jenis pembangkit termasuk panas bumi, pembangkits listrik tenaga air (PLTA) dan PLT Biomass. Sementara, pembangkit energi baru terbarukan (EBT) yang intermiten dan Hidro di bawah 10 megawatt (MW) diatur dalam peraturan sendiri.

Dalam hal ini jika penjual tidak dapat mengirimkan energi listrik sesuai kontrak karena kesalahan penjual, maka penjual wajib membayar penalti kepada PLN. Penalti proporsional sesuai biaya yang dikeluarkan PLN untuk menggantikan energi yang tidak dapat disalurkan.

Setuju dengan hal tersebut, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mangapresiasi adanya peraturan tersebut, untuk menegaskan aturan terhadap pengembang.

Namun terkait dengan peraturan energi terbarukan yakni Permen No 12 tahun 2017 ia berpendapat bahwa aturan tersebut perlu dikaji kembali. Menurutnya, pembelian listrik maksimal 85 persen dari biaya pokok produksi setempat berpotensi mengurangi iklim investasi.

“Ini seperti memberatkan jika 85 persen biaya pokok produksi (BPP) setempat harus dilaksanakan, belum lagi energi terbarukan didorong harus meningkat 35 persen,” katanya.

Sumber: beritasatu.com.