PLN Kebut Transmisi Senilai Rp 22 Triliun

JAKARTA. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) meyakinkan, akan memajukan penyelesaian pembangunan transmisi listrik 500 kilovolt (kv) di seluruh Sumatra sepanjang 1.400 km, dari sebelumnya selesai tahun 2019 menjadi akhir 2018. Kepastian pembangunan itu masuk ke Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2017-2026.

Direktur Utama PLN Sofyan Basir menyatakan, memang sebelumnya pembangunan transmisi listrik 500 kv ini dijadwalkan tahun 2019. Tapi dalam revisi RUPTL yang akan diselesaikan pada pekan depan, targetnya dimajukan. “Awalnya Maret 2019, tapi kita akan kejar akhir 2018,” terangnya kepada KONTAN, Kamis (23/2).

Ia mengisahkan, lamanya kepastian pembangunan transmisi listrik ini lantaran terkendala proses pembebasan lahan. Ketika negosiasi harga tanah, PLN wajib membeli dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

Namun, dengan adanya Keputusan Presiden Nomor 04 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan, kata Sofyan, PLN bisa membeli dengan harga pasar. “Itu terobosan, PLN bisa membeli lahan dengan harga pasar. Sehingga masyarakat mau menjual lahan mereka. Kalau NJOP kan seperempat harga pasar. Dengan Perpres pembebasan itu menjadi lebih cepat,” ungkapnya.

Maka dari itu Sofyan berharap, revisi RUPTL 2017-2026 selesai pekan depan. Sehingga, proses pembangunan transmisi bisa terlaksana. “Kami sudah mengajukan poin revisi,” tandasnya. Seperti diketahui, nilai investasi pembangunan transmisi listrik ini mencapai Rp 22 triliun.

Namun sayang, Sofyan enggan membeberkan lebih banyak isi dari revisi RUPTL 2017-2026 itu. Ia hanya bilang, revisi tersebut tidak banyak. Di antaranya penunjukan langsung pembangunan PLTU mulut tambang. Serta perubahan jumlah PLTU Mulut Tambang di Sumatra dan Kalimantan.

Pengamat Ketenagalistrikan, Fabby Tumiwa mengatakan sudah semestinya PLN fokus pada pengembangan sistem transmisi dan distribusi agar ada sinergi dalam pembangunan pembangkit 35.000 megawatt (MW). “Jadi sudah sangat tepat transmisi penyelesaiannya diselesaikan pada tahun 2018. Ini untuk mendukung program 35.000 MW,” terangnya.

Sumber: kontan.co.id.

Bank Berburu Bisnis Setrum

JAKARTA — Perbankan semakin tertarik untuk membiayai proyek pembangkit listrik mengingat kebutuhan dana untuk pembangunan infrastruktur itu sangat besar dengan tingkat risiko yang dapat dikelola.

Beberapa bank besar seperti PT Bank Mandiri Tbk. (Persero) dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. pun telah memiliki pipeline kredit untuk proyek setrum tersebut.

SEVP Corporate Banking Bank Mandiri Alexandra Askandar mengatakan, saat ini perseroan menyiapkan skema bilateral pada beberapa proyek pembangkit listrik dengan total nilai kredit bisa lebih dari Rp2 triliun.

“Proyek pembangkit listrik itu berada di luar Jawa yang dikerjakan oleh PLN dan swasta serta kapasitasnya di atas 100 MW ,” ujarnya kepada Bisnis pada Kamis (23/2).

Alexandra menuturkan, perseroan akan menyalurkan kredit ke proyek pembangkit listrik cukup besar pada 2017 dibandingkan dengan 2016. “Pasalnya, sektor listrik menjadi pendorong pertumbuhan kredit perseroan pada tahun ini,” tuturnya.

Pada 2016, bank dengan kode emiten BMRI itu mencatatkan portfolio pada sektor listrik sebesar 5% dari total portfolio kredit produktif perseroan.

Untuk kredit korporasi, sepanjang tahun lalu, perseroan mencatatkan pertumbuhan sebesar 15,6% menjadi Rp231,3 triliun, dibandingkan dengan periode sama pada tahun lalu senilai Rp200,1 triliun.

BNI pun menyiapkan daftar pembiayaan beberapa proyek pembangkit listrik melalui skema kredit sindikasi.

Pemimpin Divisi Unit Sindikasi Bisnis Korporasi Bank Negara Indonesia Betty Alwi menjelaskan pihaknya memiliki beberapa pipeline untuk kredit sindikasi listrik sepanjang tahun ini senilai US$1,3 miliar.

“Proyek pembangkit listrik tersebut dikerjakan oleh pihak swasta. Proyek ini berada di Sumatra dan Sulawesi,” ujarnya kepada Bisnis pada Selasa (21/2).

Bank dengan kode emiten BBNI itu mencatatkan pertumbuhan kredit korporasi 2016 untuk proyek pembangkit listrik sebesar 34,85% menjadi Rp25,88 triliun dibandingkan dengan realisasi pada 2015 yang senilai Rp19,19 triliun.

Bank pelat merah lainnya, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. pun menjadikan kredit pembangkit listrik menjadi salah satu andalan pembiayaan perseroan untuk proyek infrastruktur, selain proyek jalan tol dan pelabuhan.

Direktur BRI Kuswiyoto mengatakan, pihaknya siap memberikan pembiayaan untuk realisasi program 35.000 MW. Hanya saja, penyaluran kredit ke sektor itu kerap terhambat batas maksimum penyaluran kredit (BMPK).

“Sepanjang tahun lalu, penyaluran kredit kami kepada PLN sekitar Rp40 triliun, atau sudah mendekati BMPK itu,” ujarnya.

Kuswiyoto menyebutkan, untuk mengantisipasi aturan BMPK itu bisa dilakukan lewat jaminan pemerintah untuk proyek pembangkit listrik. “Namun, hal itu bisa dilakukan khusus untuk pembangkit listrik yang dikerjakan PLN saja,” ujarnya.

Tak hanya bank besar, beberapa bank menengah seperti PT Bank Maybank Indonesia juga memasukkan pembiayaan proyek pembangkit listrik dalam selera penyaluran kreditnya.

Sindikasi Kredit

PT Bank CCB Indonesia Tbk. yang baru selesai konsolidasi merger pada awal tahun ini pun juga langsung melirik penyaluran kredit ke sektor listrik.

Direktur Bank CCB Indonesia Luianto Sudarmana mengatakan pihaknya tertarik dalam sindikasi kredit pada proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Sumatra dan Kalimantan.

“Kami menyiapkan Rp3,5 triliun untuk penyaluran kredit pada segmen korporasi tahun ini,” ujarnya.

PT Bank Mega Tbk. yang memiliki ruang likuiditas cukup besar dengan posisi loan to deposit ratio (LDR) di bawah 60% juga berminat masuk ke pembiayaan pembangkit listrik.

Berdasarkan data Bloomberg, sepanjang tahun berjalan ini, sektor listrik menjadi penerima kredit sindikasi dengan porsi terbesar yakni 47% dari total nilai keseluruhan yang mencapai US$634 juta.

Minat bank yang tinggi itu juga dibarengi kolekti bilitas yang membaik. Statistik Sistem Keuangan Indonesia Februari 2017 menunjuk kan rasio kredit bermasalah sektor listrik, air, dan gas pada 2016 turun dengan selisih 0,66% menjadi 1,63%, dari posisi 2015 yang tercatat 2,3%.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform menilai masih ada keterbatasan pendanaan untuk proyek ketenagalistrikan di luar Jawa, termasuk bagi bank-bank BUMN.

Menurutnya, untuk proyek-proyek nonPLN, masalah utamanya terletak pada nilai keekonomian dan reputasi pengembang. Hal tersebut membuat bank lebih hati-hati. “Faktornya adalah bankability project dan kredibilitas pengembang,” tuturnya. (Lucky L. Leatemia)

Sumber: koran.bisnis.com.