Pengamat: ‎Perselisihan Freeport dan Pemerintah RI Jangan Sampai Berujung ke Arbitrase

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -‎ ‎Perselisihan PT Freeport Indonesia dan pemerintah Indonesia terkait perubahan status kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK), diharapkan tidak sampai berujung ke jalur arbitrase internasional.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Ferorm (IESR), Fabby Tumiwa‎ mengatakan, saat ini yang paling penting yaitu kedua belah pihak duduk secara bersama untuk mendapatkan solusi terbaik antara Freeport dan pemerintah Indonesia.

“Cari solusi yang paling optimal, dalam arti bisa di luar arbitrase,” saran Fabby di Jakarta, Minggu (26/2/2017).

Menurut Fabby, jika pun persoalan tersebut akhirnya ke jalur arbitrase internasional, maka pemerintah harus menyiapkan segala hal seperti argumen dan bukti yang kuat agar bisa menang.

“Pemerintah harus siap, dan harus disiapkan juga rencana-rencana selanjutnya, apakah kalau Freeport batal kontrak karya batal, kan tidak juga. Menuju arbitrase itu persoalan subtansi kontraknya perubahan KK menjadi IUPK,” tutur Fabby.

Dalam pernyataan sebelumnya, PT Feeport Indonesia menyatakan akan tetap berpegang teguh dengan Kontrak Karya, meskipun pemerintah meminta agar perusahaan mengakhiri KK 1991 agar memperoleh ijin operasi dan persetujuan ekspor.

Presiden dan CEO Freeport-McMoran Inc, Richard C. Adkerson mengatakan, PTFI tidak dapat melepaskan hak-hak hukum yang diberikan oleh KK sebagai dasar dari kestabilan dan perlindungan jangka panjang bagi perusahaan, para pekerja dan pemegang saham.

“Kepastian hukum dan fiskal sangat penting bagi PTFI untuk melakukan investasi modal skala besar jangka panjang yang diperlukan untuk mengembangkan cadangan perusahaan di lokasi operasi,” ujar Richard.

Sumber: tribunnews.com.

Modifikasi Permen 12/2017

Menurut saya, Permen ESDM 10/2017 dan Permen 11/2017 relatif cukup positif bagi iklim investasi di Indonesia. Namun tidak demikian dengan Permen 12/2017.

Permen ESDM 10/2017 bisa memangkas waktu negosiasi perjanjian jual beli listrik (PJBL). Beleid ini mengatur kepastian kontrak selama 30 tahun.

Kalau Permen 11/2017 bisa membikin harga gas untuk pembangkit listrik lebih kompetitif. Terutama, bagi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang membayar gas dengan harga tinggi. Meski positif, Permen 11/2017 memiliki dua catatan.

Pertama, tata niaga gas kurang mendukung aturan ini. Kedua, jika patokan harga gas dalam beleid tak cukup menarik ketimbang harga gas pasar di internasional, produsen gas bisa saja pilih menjual gas ke luar negeri.

Adapun Permen 12/2017 justru berpotensi menjadi beleid yang tak ramah dan tak menarik bagi investor. Akhirnya, aturan ini tak sejalan dengan target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Kebijakan Energi Nasional (KEN).

Pembatasan 85% biaya pokok produksi (BPP) bisa mematikan peluang investasi pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT). Pasalnya, hitungan itu hanya menarik investasi di luar Jawa.

Sementara investasi listrik di luar Jawa sarat dengan masalah kapasitas kecil dan jaringan listrik terbatas. Alhasil, PLN hanya membeli listrik dalam kapasitas kecil. Sebaliknya, kapasitas pembangkit listrik di Jawa besar tapi tarifnya tak sesuai dengan pemerintah.

Saya mengimbau, pemerintah agar memodifikasi Permen 12/2017. Misalnya dengan menetapkan tarif EBT yang tinggi untuk tiga tahun pertama. Setelah itu tarif menurun.

Selain itu, pemerintah juga harus melelang pembangkit listrik EBT skala besar antara 200 MW-1.000 MW dengan masa kontrak jangka panjang. Plus, jaminan interkoneksi ke jaringan listrik PLN.

Sumber: kontan.co.id.

Permen ESDM Ini Dorong Pengembangan EBT di Wilayah Timur Indonesia

JAKARTA, NETRALNEWS.COM – Wilayah timur Indonesia miliki potensi besar dalam hal pengembangan sumber energi baru terbaru dan terbarukan atau EBT. Apalagi, dengan terbitnya Peraturan Menteri ESDM No.12 Tahun 2017 tentang pemanfaatan EBT akan mendorong geliat penyediaan tenaga listrik di wilayah tersebut.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan,  Peraturan Menteri ESDM (Permen) Nomor 12 Tahun 2017 tentang pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan (EBT) untuk penyediaan tenaga listrik, membuat harga menjadi lebih murah. Selain itu, aturan ini dinilai membuat pengembangan EBT akan semakin menggeliat.

“Permen ESDM No. 12 ini ada dua tujuan, pertama mempertahankan harga listrik murah. Kedua, untuk mendorong EBT agar lebih kompetitif,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam diskusi tentang energi di Jakarta, Minggu (26/2/2017).

Menurutnya, Permen ini paling sesuai diterapkan di kawasan Indonesia Timur. Pemerintah diharapkan fokus pada penerapan peraturan ini secara penuh di wilayah tersebut.

“Kalau formula dalam Permen ini untuk kawasan Indonesia Timur akan menarik, tapi kalau diterapkan di Jawa mungkin berat,” tambahnya.

Dalam kurun waktu 1990-2010, kinerja sektor EBT bergerak negatif. Sementara, di negara-negara lain yang telah memulai pengembangan EBT terus mengalami peningkatan. Fabby mengatakan bahwa kondisi ini merupakan ‘warning’ bagi Indonesia.

“Dengan adanya Permen ini, kita harapkan dapat membuat investor lebih tertarik untuk mengembangkan potensi EBT di Indonesia,” pungkasnya.

Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Baru Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik menegaskan bahwa PT PLN (Persero) berkewajiban membeli tenaga listrik dari pembangkit tenaga listrik yang memanfaatkan sumber energi terbarukan.

Sumber energi tersebut berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Fotovoltaik, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm), Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg), Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).

Pembelian tenaga listrik dari pembangkit energi terbarukan dilakukan dengan mekanisme harga patokan atau pemilihan langsung. PLN wajib mengoperasikan pembangkit energi terbarukan dengan kapasitas sampai dengan 10 MW secara terus menerus (must run).

Peraturan ini juga mengatur pembelian tenaga listrik dari PLTS Fotovoltaik, PLTB, PLTA, PLTBm, PLTBg paling tinggi 85% dari Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat.

Sedangkan, pembelian tenaga listrik dari PLTSa dan PLTP menggunakan harga patokan paling tinggi sebesar BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat.

Sumber: netralnews.com.

Harga Listrik Energi Terbarukan Tidak Menarik

JAKARTA– Tarif listrik berbasis energi baru dan terbarukan (EBT) yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No 12/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik dinilai tidak menarik bagi investor. Sebab, dengan aturan itu harga listrik berbasis EBT ditetapkan maksimal 85% dari biaya pokok produksi (BPP) listrik PT PLN (persero) di masing-masing wilayah.

Secara terinci, jika BPP wilayah yang akan dibangun pembangkit EBT lebih besar daripada BPP nasional maka harga diberlakukan 85% dari BPP setempat. Namun jika BPP wilayah yang akan dibangun pembangkit lebih kecil dari BPP nasional, harga yang diambil adalah sama dengan BPP wilayah setempat.

Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Dharma mengatakan, formula baru yang ditawarkan pemerintah itu tidak menarik bagi investor. Pasalnya, membangun pembangkit berbasis EBT, khususnya panas bumi membutuhkan biaya investasi yang tidak sedikit.

”Harga yang ditawarkan harus masuk akal bagi investor. Formula yang di tawarkan pemerintah tidak berimbang karena dari sisi aturan hanya menguntungkan PLN karena ditentukan berdasarkan BPP PLN. Padahal membangun pembangkit energi terbarukan seperti panas bumi memerlukan investasi yang tidak sedikit,” kata dia dalam diskusi bertajuk ”Mengungkap Fakta Pengembangan EBT” di Dewan Pers.

Dia mengatakan bahwa regulasi yang diterbitkan pemerintah seharusnya mengakomodasi keinginan pengembang. Penetapan harga menurutnya tidak hanya dilakukan oleh PLN, namun juga diberikan kesempatan bagi pengembang. Di samping itu, pemerintah juga semestinya memberikan daya tarik supaya sektor EBT dilirik pengembang, bukan sebaliknya. ”Sejauh ini pola yang diterapkan tidak ilmiah karena ditetapkan berdasarkan BPP PLN,” ujarnya.

Hal senada dikatakan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa. Dia menilai aturan baru yang mengatur harga maksimum listrik dari sejumlah energi terbarukan itu justru akan menghambat investasi di sektor EBT. Pasalnya dengan keluarnya regulasi tersebut subsidi tidak lagi diberikan kepada pengembang, di sisi lain pemerintah juga belum menyediakan skema insentif.

Menurut dia, seharusnya pemerintah menyiapkan terlebih dahulu skema pemberian insentif kepada investor sebelum mengeluarkan aturan. Insentif itu, kata dia, dapat berupa suku bunga pinjaman rendah hingga pembebasan pajak.

”Ketentuan Permen ini tidak bisa dilepaskan dari insentif pemerintah khususnya mendorong biaya investasi yang tinggi mengembangkan energi terbarukan. Karena jika dilihat pengembang swasta ini harus masuk 60% untuk mengejar target (bauran energi) 23% pada 2025,” kata dia.

Dia membeberkan bahwa tren pertumbuhan energi baru terbarukan di Indonesia mengalami penurunan dari tahun 1990-2010 dibandingkan dengan negara-negara lain yang secara masif menggenjot pertumbuhan EBT.

”Ini bisa dilihat bahwa listrik yang dihasilkan EBT itu walaupun besaran naik tapi persentase bauran energi justru turun,” tandasnya. Dia juga mengatakan jika dihitung dari BPP nasional maka aturan tersebut dianggap hanya akan mengembangkan potensi EBT di Indonesia bagian timur, namun menyulitkan pengembangan EBT di Indonesia bagian barat, khususnya di Jawa.

Dia menjabarkan, saat ini BPP nasional sebesar USD7,5 sen per kWh. Dengan asumsi kurs Rp13.300 per dolar AS, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang akan dibangun di Papua dengan BPP wilayah mencapai USD13,67 sen per kWh listriknya akan dihargai USD11,61 sen per kWh.

Sementara jika dibangun di Jakarta dengan BPP USD5,37 sen per kWh, maka harga listriknya sesuai BPP di Jakarta. Hal itu berlaku untuk seluruh pembangkit berbasis energi baru terbarukan, kecuali pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) dan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP).

Khusus untuk kedua jenis pembangkit tersebut, harga listrik maksimal setara dengan BPP PLN di wilayah pembangkit dibangun karena kedua jenis pembangkit memiliki risiko yang tidak dimiliki pembangkit energi baru terbarukan jenis lainnya.

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Rinaldy Dalimi dalam diskusi tersebut mengatakan bahwa aturan baru tersebut ditujukan agar tarif listrik berbasis EBT menjadi lebih kompetitif. Dengan harga yang kompetitif, PLN pun wajib membeli listrik yang dihasilkan. ”Selama ini pengembangan EBT terhambat karena harga lebih tinggi dari BPP tadi. Dengan formula baru ini PLN wajib membeli seluruh listrik yang dihasilkan dari energi baru dan terbarukan,” kilahnya.

Sumber: okezone.com.