Pemerintah Diminta Berikan Subsidi Konverter Kit untuk Kendaraan Pribadi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah diminta memberikan subsidi bagi pengguna kendaraan pribadi yang berniat mengkonversi bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG). Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa melihat hal ini mutlak dilakukan lantaran mahalnya konverter kit.

“Investasi untuk konverter BBG cukup mahal. Sekitar 1500 dolar AS, 15 sampai 20 juta. Terus ongkos pasangnya,” kata Fabby kepada Republika.co.id, di Jakarta, Ahad (19/3).

Dengan begitu, menurut dia, kebijakan pemerintah mendorong penggunaan BBG secara masif bisa berjalan. Sebab para pemilik kendaraan pribadi mengikuti.

“Untuk pengguna kendaraan pribadi yang ga terlalu peduli akan garansi mobil, mereka bisa mengikuti (konversi BBM ke BBG),” tutur Fabby.

Pada tahun ini pemerintah membagikan 5.000 konverter kit secara gratis kepada konsumen. Menurut Fabby pada intinya, jika ingin serius mengembangkan BBG, pemerintah wajib membentuk kepastian pasar.

Selain kendaraan pribadi, angkutan umum, mobil dinas juga memakai bahan bakar gas. Agar penyediaan tepat dengan jumlah pengguna, ia menyarankan pemerintah bekersama dengan SPBG milik Pertamina untuk penyediaan gas. Jadi menurut dia tidak perlu mewajibkan seluruh SPBU menyediakan dispenser gas, lantaran belum ada kepastian pasar.

“Pokoknya intinya, bangun dulu pasarnya, bangun dulu permintaannya, lalu kemudian pemerintah bangun infrastruktur untuk pasokannya,” kata Fabby.

Sumber: republika.co.id.

Perlu Perubahan Mindset untuk Kejar 35.000 MW

PEMADAMAN LISTRIK TOTAL – Seorang bocah belajar dengan bantuan cahaya lilin akibat listrik yang padam total di Bone di Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, Minggu (12/3). Jaringan listrik Sulawesi Utara dan Gorontalo mengalami gangguan pada transmisi 150 KV akibat terjadinya hujan petir disertai angin. ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin

JAKARTA. Desakan kepada pemerintah dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk mengoptimalkan peran swasta dalam penyediaan listrik nasional terus mengemuka. Menurut Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Tumiran, untuk mempercepat realisasi program 35.000 megawatt perlu perubahan paradigma dan pola pikir.

“Harus ada pemahaman komprehensif bahwa listrik itu bagian dari infrastruktur nasional mendorong perekonomian, memunculkan industri sehingga menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan daya saing nasional,” kata Tumiran dalam pernyataan turtulisnya kepada KONTAN, akhir pekan lalu.

Percepatan proyek 3.000 MW mendesak karena kondisi kekurangan pasokan listrik di negeri ini. Kapasitas listrik nasional saat ini masih 58 gigawatt (GW) atau 210 watt per kapita, jauh di bawah Malaysia 950 watt per kapita, Singapura 2.500 watt per kapita.

Kurangnya pasokan listrik membuat langkah pemerintah mengundang investor untuk berinvestasi tidak maksimal. “DEN menargetkan pada 2023 pasokan listrik minimal 115 gigawatt supaya bisa menjadi tulang punggung perkembangan industri dan meningkatkan daya saing produk domestik,” ujarnya.

Tumiran menilai langkah Presiden Joko Widodo dalam menerapkan program 35.000 megawatt sudah benar, namun dari program ini sangat lambat di awal. Untuk itu, PLN perlu mengubah mindset, tidak hanya berpikir harus untung. “Tapi harus berpikir untung untuk negara,” ucapnya.

Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa juga bilang keterlibatan pihak swasta menjadi kunci penting mewujudkan program penyediaan listrik 35.000 MW. “Dari investasi US$ 120 miliar, separuh dari total investasi itu diharapkan dari swasta, US$ 50 miliar sampai US$ 60 miliar,” ujarnya.

Pengamat kelistrikan dan peneliti Center for Energy Security Studies (CESS), Ali Ahmudi menilai selama ini PLN terkesan tidak kooperatif dengan swasta, sementara BUMN itu juga memiliki keterbatasan finansial dalam menyediakan listrik sesuai target. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya daerah-daerah khususnya di luar Pulau Jawa yang masih defisit listrik.

Dia berharap pemerintah dan PLN memaksimalkan peranan swasta, sebab banyak independent power producer (IPP) atau perusahaan listrik swasta yang bisa diberdayakan guna mencapai target pembangunan listrik. PLN tinggal mengikuti pakem sebagai single buyer dan multi suplier.

“Political will pemerintah ke arah sana sudah ada dengan melibatkan pemerintah daerah. Sekarang tinggal bagaimana mendorong potensi swasta agar lebih bersinergi dengan PLN dan Pemda,” katanya.

Sumber: kontan.co.id.