Pencabutan Subsidi Listrik: Mahal atau Wajar?

Pencabutan subsidi listrik bagi rumah tangga golongan 900 VA telah diterapkan pemerintah. Apa implikasinya bagi konsumen?

Rumah saya di desa berlangganan listrik dengan kapasitas terpasang 900 VA. Kebutuhan listrik di rumah memang cukup dengan kapasitas segitu, tidak ada peralatan elektronik yang memakan daya besar seperti AC atau oven. Sehari-hari, yang rutin digunakan hanya penerangan, kulkas, dan televisi. Ada pompa air dan mesin cuci, yang penggunaannya kadang-kadang saja. Lampu di rumah juga kebanyakan sudah ganti lampu LED. Saya kira ini alasan terbesar Ibu tidak ikut menaikkan kapasitas ke golongan rumah tangga 1.300 VA seperti anjuran pemerintah (golongan yang tarif listriknya tidak disubsidi) karena memang konsumsinya sedikit.

Dengan berlakunya Permen ESDM No. 28 Tahun 2016 tentang Tarif Tenaga Listrik PT PLN, maka otomatis rumah saya adalah rumah yang diases ulang untuk urusan subsidi tarif. Dan seperti sudah diduga pula, rumah saya termasuk yang tidak lagi mendapatkan subsidi tarif listrik. Penyesuaian tarif ini dilakukan untuk seluruh rumah tangga golongan 900 VA yang dinilai sudah mampu. Jadi pemerintah melakukan pencabutan subsidi listrik yang selama ini dinikmati oleh 18,94 juta pelanggan berdaya 900 VA terhitung mulai 1 Januari 2017. Jumlah pelanggan golongan 900 VA yang dicabut subsidinya berkisar 82% dari total jumlah pengguna listrik 900 VA, termasuk rumah saya. Subsidi tersebut akan dicabut dalam tiga tahap, di mana tarif listrik per kilowatt-hour (KWh) setiap periodenya akan naik 33 persen.

Tagihan listrik rumah saya biasanya berkisar di angka 100 ribu rupiah per bulan, yang di bulan Maret langsung terasa kenaikannya menjadi ±150 ribu rupiah. Terang saja, tarif listrik yang sebelumnya “hanya” Rp 585/kWh kini menjadi Rp 1.032/kWh. Tarif ini akan naik lagi di bulan Mei 2017 menjadi Rp 1.352/kWh. Untungnya Ibu saya tidak lekas panik atau protes, karena sebelumnya sudah mengetahui bahwa pencabutan subsidi ini akan mempengaruhi tagihan listrik bulanan. Kemudian kami juga menyadari bahwa kami memang tidak layak untuk menerima subsidi. Barangkali harusnya kami menaikkan kapasitas listrik di rumah sehingga membayarnya juga tarif normal, namun penggunaan listrik kami juga tak terlalu besar.

Dinilai Tak Berpihak Pada Rakyat Miskin

Meskipun bertujuan menghemat anggaran dan mengalihkannya untuk membiayai listrik perdesaan, kebijakan ini menuai banyak protes dari konsumen pengguna listrik, terutama yang merasa berat dengan kenaikan tarif tersebut. Ribuan pengaduan mengenai kenaikan TDL ini masuk ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sejak Januari lalu. Pencabutan subsidi listrik ini juga dinilai tidak berpihak pada masyarakat kelas bawah.

Pemerintah menilai pencabutan subsidi listrik ini adalah langkah yang baik karena selama ini subsidi yang diberikan dianggap salah sasaran. Dengan pencabutan subsidi ini, diharapkan anggaran subsidi listrik di tahun 2017 bisa ditekan menjadi Rp 45 triliun, dari sebelumnya Rp 60,44 triliun di tahun 2016. Sekitar 4,1 juta rumah tangga yang dievaluasi masih berada pada golongan tidak mampu tetap mendapatkan subsidi. Dasar evaluasinya dilakukan bersama dengan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), yang selanjutnya dilakukan verifikasi ulang oleh PLN. Evaluasi seperti ini tentunya tak kebal error, sehingga Kementerian ESDM juga membuka kesempatan pengaduan masyarakat melalui kantor kelurahan/desa atau secara online. Kerangka waktu jelasnya perlu dipublikasikan agar masyarakat bisa tahu kapan keluhan mereka akan ditanggapi. Harapannya subsidi listrik TETAP diberikan bagi mereka yang tergolong tidak mampu.

Sementara verifikasi data dan bagaimana menanggapi keluhan masyarakat kurang mampu terkait pencabutan subsidi listrik itu adalah tantangan, kita juga hendaknya mencermati mengapa pengalihan subdisi listrik itu penting.

Hingga saat ini, rasio elektrifikasi (persentase penduduk yang mendapatkan akses listrik) Pulau Jawa (dan Indonesia bagian barat) memang timpang dibandingkan Indonesia bagian timur. Citra satelit NASA yang acapkali digunakan sebagai ilustrasi ketimpangan itu memang benar adanya. Rasio elektrifikasi DKI Jakarta misalnya, sudah mencapai hampir 100%, dan rata-rata provinsi di Jawa sudah di atas 90%. Provinsi-provinsi di luar Jawa, khususnya Indonesia bagian timur, masih di bawah 70%. Tercatat lebih dari 2.500 desa di seluruh Indonesia yang masih gelap total, sama sekali belum tersentuh listrik dalam bentuk jaringan PLN atau mesin diesel. Konsumsi listrik antara Jawa dan pulau-pulau di kawasan timur Indonesia (KTI) juga menunjukkan ketimpangan yang besar. Ini artinya pemenuhan energi di Indonesia belum merata, yang salah satunya disebabkan oleh kurangnya anggaran pemerintah untuk melistriki daerah-daerah yang memiliki tantangan geografis yang cukup besar.

Pertanyaan fundamentalnya bagi saya pribadi sebagai pelanggan 900 VA adalah, bersediakah saya membayar listrik lebih mahal sehingga saudara-saudara saya di KTI bisa merasakan nikmat listrik?

Saya dan Ibu berpendapat, pertanyaan itu bisa diiyakan. Tentu saja harus ada prasyarat kepercayaan bahwa pengalihan subsidi ini akan digunakan sebagaimana mestinya, dan itulah harapan kami. Ini juga tak menihilkan harapan lain bahwa kualitas listrik bagi daerah yang sudah terlistriki akan terus ditingkatkan. Jamak kita dengar bahwa banyak daerah di Indonesia yang sering mengalami pemadaman bergilir. Berdasarkan data yang didapat dari inisiatif pemantauan kualitas pasokan listrik ESMI yang dikelola oleh IESR di Indonesia, banyak lokasi di Jabodetabek yang mengalami pemadaman atau ketidakstabilan tegangan. Permasalahan ini semakin jamak ditemui di Kupang, salah satu kota yang menjadi lokasi pilot project ESMIInilah PR lain bagi penyedia layanan listrik di Indonesia: bagaimana pemerataan kualitas dilakukan.

 

Cermati Konsumsi Listrik Sendiri

“Wah parah nih pemerintah, masa tagihan gue naik dua kali lipat dari bulan lalu,” seorang teman mendadak curhat. Saat itu saya menyempatkan bertanya mengenai kapasitas terpasang di rumahnya. Karena si teman ini tidak yakin, saya menanyakan apa saja peralatan elektronik yang ada di rumahnya. Dia menjawab ada dua AC, kulkas, mesin cuci, pompa air, oven, dan beberapa yang lain. Dengan AC yang digunakan harian, saya cukup yakin bahwa kapasitas terpasang di rumahnya pasti setidaknya 1.300 VA.

“Coba cek dulu tagihan sama penggunaannya, harusnya sih rumah elo tarifnya normal aja kagak ada pencabutan subsidi karena emang nggak disubdisi, Neng,” saya menjawab sembari memberikan ilustrasi berapa konsumsi listrik yang dipakainya di rumah dengan peralatan elektronik sebanyak itu.

Saat ini kenaikan TDL hanya terjadi pada golongan rumah tangga 900 VA yang dianggap mampu, belum ada kenaikan TDL untuk golongan lain. Jadi ketika ada yang mengeluh seperti teman saya tadi, saya memang memilih bertanya kapasitas terpasang di rumahnya berapa. Dari sana bisa diperiksa kenaikannya karena TDL yang berubah atau karena konsumsi yang naik. Bulan April kemarin cukup panas di Jakarta, barangkali itu yang menyebabkan konsumsi listrik naik, akibatnya tagihan pun naik.

Sebagai manusia modern yang selalu mencari colokan di mana pun berada (tunjuk diri sendiri), membicarakan listrik ini menarik. Sering tak kelihatan (karena tidak membayar tagihan), tapi begitu naik, langsung terasa dampaknya. Apakah kita menyadarinya, dan kemudian peduli?

Hening Marlistya Citraningrum, Program Manager for Sustainable Energy Transition di IESR.