Swasta Jajaki Penjualan Listrik

Prioritas Energi Terbarukan untuk Desa Terpencil

Jakarta, Kompas-Engie Group, perusahaan swasta yang terdaftar di bursa saham Paris, Perancis berencana menjual listrik secara langsung ke masyarakat di Papua. Ini akan dilakukan melalui kerja sama proyek senilai 240 juta dollar AS atau Rp. 3,19 triliun dengan Electric Vine Industri.

Senior Vice President of Institutional and Regulatory Affairs Engie Indonesia Abiman Insandi menjelaskan Engie and Electric Vine Industries (EV) akan memasok sumber energi tenaga surya untuk menaikan rasio elektrifikasi di wilayah terpencil, khususnya di Papua.

“Listrik yang dihasilkan nanti akan dijual kepada konsumen. Namun itu tergantung pada perizinan pemerintah yang saat ini sedang dalam proses pengurusan,” ujar Insandi, Jum’at (2/6) di Jakarta.

Dalam keterangan resmi Engie Indonesia disebutkan, kerja sama itu bertujuan untuk mengembangkan, mendanai, membangun dan mengoperasikan jaringan mikro panel surya (fotovoltaik) untuk melayani hingga 2,5 juta penduduk di Papua. Tenaga listrik dari energi terbarukan tersebut dinyatakan bia disediakan selam 24 jam untuk sekitar 3.000 desa di Papua.

“Kerjasama ini sebuah langkah besar bagi EVI dalam usaha menyediakan listrik di wilayah terpencil di Indonesia. Kami sangat antusias untuk mewujudkan proyek ini,” ujar CEO Electric Vine Industries Bryse Gaboury

Sebelumya, EVI berhasil mengelola jaringan mikro fotovoltaik percontohan sejak Maret 2015 di Papua. Proyek percontohan itu berhasil menyediakan listrik selama 24 jam bagi 250 orang.

Badan usaha swasta dimungkinkan menyediakan dan menjual tenaga listrik langsung kepada masyarakat. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri energi dan Sumber Daya Mineral No. 38 Tahun 2016 tentang Percepatan Elektrifikasi di Perdesaan, Belum Berkembang, Terpencil, Perbatasan dan Pulau Kecil Berpenduduk melalui Pelaksanaan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Skala Kecil.

Sesuai Potensi

Adapun kapasitas maksimal penyediaan listrik dalam peraturan itu adalah 50 megawatt. Energi listriknya bersumber dari energi terbarukan sesuai dengan potensi setiap wilayah yag dikembangkan.

Sebelumnya, Direktur Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa mengatakan, agar program elektrifikasi desa di wilayah terpencil bisa direalisasikan, pemerintah harus menjamin pemberian subsidi listrik. Investasinya mahal karena lokasi yang terpencil sehingga pengangkutan peralatan membutuhkan waktu dan biaya ekstra. Selain itu, pasarnya juga relatif kecil akibat penduduk yang sedikit.

“Apabila dijual dengan tarif subsidi sejenis golongan 450 VA atau 900 VA, jelas perlu subsidi untuk menutup selisih ongkos produksi tenaga listrik dengan harga jual kepada konsumen,” kata Fabby.

Pemerintah sedang fokus untuk memberi akses listrik bagi 2.500 desa di Indonesia yang belum punya akses listrik. Mengaku pada Peraturan Menteri ESDM No. 38/2016, pemerintah mensyaratkan rasio elektrifikasi sedikitnya 95% untuk desa yang dibangun pembangkit yang dikembangkan swasta atau badan usaha milik daerah.

Dalam skala lebih besar, pemerintah telah memulai program pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt sejak Mei 2015. Targetnya adalah menaikkan rasio elektrifikasi menjadi 97% hingga 2019. Namun dengan sejumlah kendala yang ada, yang bakal terealisasi diperkirakan hanya 19.000 megawatt dari target yang ditetapkan.

Sumber : Kompas, 2 Juni 2017.

Indonesia tak terpengaruh walau AS mundur dari Perjanjian Paris

Keputusan AS menarik diri dari Kesepakatan Paris, bisa memicu militansi pro iklim

PAMERAN. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya (kanan) bersama Menteri Pariwisata Arief Yahya (kiri), dan Direktur UNDP Indonesia Christophe Bahuet melihat pameran foto bawah laut dalam peluncuran buku bertajuk The Magnificent Seven : Indonesia’s Marine National Parks di Galeri Kuntskring, Jakarta, Jumat, 2 Juni. Foto oleh Rosa Panggabean/ANTARA.

JAKARTA, Indonesia – Sejenak, dunia kaget. Tetapi tak menunggu waktu lama untuk maju terus dengan komitmen yang tertuang dalam Kesepakatan Paris atau ‘Paris Agreement on Climate Change’. Presiden Perancis Emmanuel Macron membuat pernyataan yang juga dibagi di akun Twitternya dengan tema “Make Our Planet Great”. Ini plesetan dari jargon Trump saat kampanye, “Make America Great Again”.

Reaksi dari sejumlah penggiat perubahan iklim di Indonesia senada dengan pernyataan sejumlah pemimpin dunia sebagaimana dimuat di sini. Ketua Panitia Pengarah Nasional Untuk Perubahan Iklim Sarwono Kusumaatmadja mengatakan, negara-negara bagian, kota dan masyarakat AS bisa jalan sendiri untuk mewujudkan ekonomi rendah karbon.

“Sikap Trump bisa memicu militansi pro iklim,” kata Sarwono di grup percakapan “Pojok Iklim” pada Jumat, 2 Juni. Sarwono setuju pernyataannya dikutip untuk Rappler.

Sebuah survei yang digelar Yale Communication tahun lalu menunjukkan data, sekitar 70 persen dari rakyat AS di 50 negara bagian mendukung keikutsertaan AS dalam Kesepakatan Paris. Negara bagian California, salah satu negara bagian terbesar di sana, mendukung Kesepakatan Paris.

Data World Resources Institute menunjukkan bahwa jika negara-negara bagian di AS yang mendukung Kesepakatan Paris adalah sebuah negara, maka mereka setara dengan kekuatan ekonomi ke-5 terbesar di dunia, penghasil emisi ke-6 terbesar di dunia dan negara dengan penduduk terbanyak ke-12 di dunia. AS adalah penghasil emisi karbon terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, AS bukan penentu utama dalam pencapaian target Kesepakatan Paris.

“Sudah terbukti di bawah Protokol Kyoto, mereka belum berkomitmen, dunia jalan terus,” kata Fabby, kepada Rappler.

Menurutnya, kebijakan perubahan iklim di AS bukan hanya ditentukan oleh pemerintahan federal, tetapi terutama oleh pemerintahan negara bagian.

“Ada 24 states, yang punya kebijakan perubahan iklim yang kuat. Ada enam negara bagian yang malah sudah melampaui target 2020,” kata Fabby. Beberapa negara bagian emisi karbonnya ada di bawah tingkat emisi yang ditargetkan saat tahun 1990.

Komitmen Indonesia

Walau Amerika Serikat menarik diri dari Perjanjian Paris, hal itu tidak berpengaruh terhadap Indonesia. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, memastikan Indonesia akan tetap berkomitmen untuk mengimplementasikan Perjanjian Paris yang telah diteken tahun 2015 lalu.

Siti mengatakan Indonesia sangat berkepentingan untuk menurunkan suhu bumi hingga di bawah 2 derajat celcius.

“Indonesia negara kepulauan dan pada dasarnya cukup rentan terhadap dampak perubahan iklim. Pulau kita sangat banyak ada 17.520 dan yang termasuk pulau kecil sangat banyak. Selain itu, tidak kurang dari 60 % penduduk kita berada di wilayah pesisir yang rawan rob,” ujar Siti memaparkan alasan Indonesia tetap menjalankan Perjanjian Paris melalui pesan pendek pada Jumat malam, 2 Juni.

Agenda pengendalian perubahan iklim yang dilakukan Indonesia juga sudah sesuai dengan perintah Undang-Undang Dasar. Itu sebabnya, pemerintah semakin wajib untuk mewujudkan hal itu.

“Melindungi masyarakat dari akibat dampak perubahan iklim juga merupakan perintah UUD 1945 untuk melindungi segenap tumpah darah dan bangsa Indonesia,” kata dia.

Lagipula, Indonesia sudah meratifikasi Perjanjian Paris melalui UU nomor 16 tahun 2016. UU ini harus dijalankan bukan atas perintah internasional, tetapi atas perintah UU terhadap pejabat eksekutif.

Perjanjian Paris, kata Siti merupakan seperangkat instrumen peraturan dasar, metode, pendekatan, referensi, standar, dan format terukur dalam upaya negara melakukan mitigasi serta adaptasi untuk mengendalikan perubahan iklim.

“Jadi, Indonesia akan menjalankan UUD dan UU kita sendiri dan tidak bergantung pada negara lain termasuk Amerika Serikat. Kita punya kedaulatan dan tujuan negara sendiri serta sasaran nasional yang harus dapat dicapai,” kata dia.

Fabby pun sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Menteri Siti. Menurutnya, yang penting negara-negara lain yang sudah menandatangani Kesepakatan Paris tetap berkomitmen untuk memenuhi target yang telah ditetapkan. Ada 175 negara termasuk Indonesia yang sudah menandatangani Kesepakatan Paris.

“Yang terpenting Indonesia bagaimana? Tanpa serious phasing out coal, susah bagi Indonesia capai target Paris Agreement setelah 2030,” kata Fabby.

Kesepakatan Paris adalah kesepakatan pertama dalam dua dekade yang menjadi pijakan bagi upaya dunia menekan kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat Celsius dalam tahun 2020. Kesepakatan Paris dianggap terobosan bagi kemanusiaan.

Saat menandantangani Kesepakatan Paris di Markas Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, AS, 22 April 2016, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menyampaikan hal-hal yang dilakukan Indonesia untuk memenuhi target penurunan emisi karbon.

Siti menggarisbawahi program Evaluasi Kinerja Korporasi, atau Corporate Performance Evaluation (PROPER), yang menyebutkan bahwa efisiensi yang dilakukan korporasi dapat menurunkan emisi setara dengan 39,8 juta ton CO2. Jika dibandingkan dengan posisi pada 2011, angka itu mencapai 65 persen dari pengurangan emisi gas rumah kaca.

Indonesia juga akan mendorong program Eco-Driving dengan membangun lebih banyak transportasi publik. Kontribusi dari program ini terhadap penurunan emisi karbon mencapai 10 persen.

Indonesia juga menyadari pentingnya pengaturan penggunaan hutan dan lahan untuk mitigasi perubahan iklim, yang dapat menghasilkan manfaat adaptasi. Luas lahan hutan di Indonesia tercatat 65 persen dari luas negara sebesar 87 juta kilometer persegi.

Salah satu bentuk kegiatan yang melibatkan kota dan kabupaten adalah penanganan sampah, baik di laut maupun di sungai-sungai.

Sumber: Rappler.com.