IESR Perkirakan Realisasi Mega Proyek sekitar 18-20 Ribu MW

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa memperkirakan, realisasi mega proyek 35 ribu MW sekitar 18 ribu-20 ribu MW. Namun, proses lelang dan pengadaan proyek tersebut harus selesai di tahun 2019, sesuai arahan Presiden Joko Widodo.

“Ya, memang tidak ideal kalau seluruh pembangkit selesai di tahun 2019, karena pertumbuhan beban tidak sebesar yang diperkirakan. Proyek 35 ribu MW bakal memakan waktu hingga 2023-2024, karena ada beberapa proyek yang kemungkinan tertunda karena faktor finansial. Selain itu, faktor pengadaan lahan masih menjadi masalah tersendiri dalam penyelesaian proyek,” kata Fabby kepada Investor Daily di Jakarta, Minggu (2/7).

Semula, proyek 35 ribu MW dicanangkan berdasarkan perkiraan pertumbuhan ekonomi mencapai 7% per tahun. Sedangkan faktanya, realisasi pertumbuhan ekonomi hanya sekitar 5% per tahun. Dengan kondisi tersebut, maka pertumbuhan konsumsi listrik diperkirakan 7-8% per tahun atau dibutuhkan tambahan listrik sekitar 5.000 MW per tahun.

Fabby menjelaskan, berkurangnya permintaan listrik dalam jangka menengah membuat PLN maupun pengembang listrik swasta (IPP) berhitung ulang. Itulah sebabnya, perkembangan proyek 35 ribu MW ini cukup dinamis.

Dalam menggarap proyek 35 ribu MW ini, PLN mendapat porsi sekitar 10 ribu MW. Sedangkan 25 ribu MW sisanya digarap oleh IPP.

“PLN bukan hanya membangun pembangkit listrik sebanyak 10 ribu MW, tapi juga membangun transmisi. Artinya, dibutuhkan pendanaan paling tidak sekitar Rp 80-90 triliun per tahun. Lebih dari setengahnya harus dicari oleh PLN dari bank, investor global, dan lembaga pendanaan internasional,” ujarnya. (*)

Sumber: beritasatu.com

Press Release: Report Says G20 Begins Transition To Low-Carbon Economy, But Too slow For Paris Agreement Goals

Berlin- 3 July 2017 – G20 countries have stepped up green finance, but their investment in fossil fuels remains so high that the “well below 2 degree” warming limits set in the Paris Agreement will be missed by a wide margin, says this year’s “Brown to Green” Report from Climate Transparency.

The “Brown to Green Report 2017: the G20 transition to a low carbon economy” is the third annual stocktake of the G20’s climate efforts by the Climate Transparency global partnership, released today ahead of this year’s meeting of G20 leaders in Hamburg. It has been developed by a group of experts from the G20 countries Argentina, Brazil, China, France, Germany, India, Indonesia, Mexico, South Africa and the UK.

The report provides the most comprehensive – yet concise – overview on G20 countries’ transition to a low-carbon economy. It rates their performance in emissions reductions, climate policy, finance, and decarbonisation, and provides graphic factsheets on each country.

“The G20 economies are becoming more efficient – they are beginning to decarbonise, but not enough to meet the goals of the Paris Agreement,” said Alvaro Umaña, Co-Chair of Climate Transparency and former environment minister of Costa Rica.

“The G20 countries use energy more efficiently and use cleaner energy sources, but energy consumption and the economies have grown. So the overall growth of greenhouse gas emissions is slowing, but is not yet in decline. Renewables are on the rise, but coal and other fossil fuels still dominate the G20’s energy mix,” said Niklas Höhne of NewClimate Institute.

“After President Trump resigned from the Paris agreement and withdraw important national climate policies like the Clean Power Plan, experts give the US much lower ratings for policy performance. The pro-Paris reactions in a lot of States and cities within the US are not reflected in the ratings,” said Jan Burck from Germanwatch, co-author of the study.

Brown to Green Report: Indonesia Tertinggal

Jakarta, 4 Juli 2017

Indonesia telah berupaya mengurangi laju pengeluaran emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan lahan, dan mengurangi subsidi bahan bakar fossil sejak 2015. Dua hal ini membuat Indonesia berada di jalur transisi menuju ekonomi rendah karbon. Walaupun Indonesia merupakan salah satu negara G20 dengan porsi energi terbarukan yang cukup tinggi dalam bauran energi primer, tetapi pengembangan energi terbarukan termasuk tertinggal dibandingkan dengan negara G20 lainnya. Daya tarik investasi energi terbarukan Indonesia juga memburuk, sedangkan kerangka regulasi untuk energi terbarukan berada dibawah sejumlah negara G20. Demikian sejumlah hasil dari Profil Indonesia dalam Brown to Green Report 2017.

“Brown to Green Report 2017: the G20 transition to low carbon economy,” adalah laporan tahunan ke-3 yang mengevaluasi upaya-upaya negara G20 mengatasi perubahan iklim. Laporan ini disusun oleh kemitraaan global Climate Transparency, dan diluncurkan sebelum pertemuan G20 di Hamburg minggu ini. Laporan ini disusun oleh sekelompok ahli dari negara-negara anggota G20, diantaranya Argentina, Brazil, China, Perancis, Indonesia, Afrika Selatan, dan UK.

Laporan ini memuat ulasan yang paling komprehensif tapi ringkas tentang transisi negara G20 menuju ekonomi rendah karbon. Laporan ini menilai kinerja dalam penurunan emisi gas rumah kaca, kebijakan perubahan iklim, pendanaan, dan dekarbonisasi, serta grafis fakta-fakta untuk setiap negara.

“Negara-negara G20 menjadi lebih efisien, mereka mulai melakukan dekarbonisasi tapi tidak cukup untuk memenuhi tujuan Kesepakatan Paris,” kata Alvaro Umana, Co-Chair Climate Transparency dan mantan menteri lingkungan Costa Rica.

Brown to Green Report memberikan suatu perbandingan yang berimbang antar negara yang dapat menunjukkan kepada para pemangku kepentingan dalam aspek apa negara mereka mencapai hasil yang baik, hal-hal apa yang dapat diperbaiki, dan aspek apa yang tertinggal. Laporan ini memberikan informasi kepada para pemangku kepentingan di setiap negara untuk memulai debat yang konstrukti yang diharapkan dapat menghasilkan ambisi yang lebih tinggi dalam mencapai Kesepakatan Paris.

“Bagi Indonesia, laporan ini penting untuk menilai pencapaian kita dibandingkan dengan negara ekonomi berkembang lainnya. Indonesia menggunakan bahan bakar fossil, khususnya minyak dan batubara, dalam jumlah yang cukup besar. Ini cukup mengkuatirkan dalam hal upaya Indonesia memenuhi target Kesepakatan Paris. Walaupun demikian, adanya penurunan subsidi BBM merupakan indikasi bahwa kita sedang berusaha mengatasi persoalan tersebut. Perlu strategi, rencana dan kebijakan yang lebih progresif untuk menuju transisi sistem energi yang rendah karbon,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform.

Laporan ini menunjukkan bahwa emisi GRK dari hutan dan gambut, serta pembangkitan listrik batubara terus meningkat hingga 2030, padahal agar konsisten dengan target Kesepakatan Paris, emisi GRK harus mulai stabil dan kemudian menurun. Target penurunan emisi yang disampaikan Indonesia dalam Nationally Determined Contribution (NDC) dinilai kurang ambisius terhadap tingkat yang dapat disebut kontribusi yang fair, dan tidak konsisten dengan target 2°C.

Porsi energi terbarukan dalam bauran energi primer termasuk yang tertinggi diantara negara-negara G20, tetapi pertambahan energi terbarukan merupakan salah satu yang terendah dan porsi batubara cenderung meningkat. Yang perlu menjadi catatan adalah daya tarik investasi energi terbarukan sangat rendah dengan kecenderungan menurun. Hal ini membuat Indonesia semakin sulit bersaing dengan negara-negara lain untuk mendapatkan investasi di bidang energi terbarukan.

Brown to Green Report 2017 secara lengkap, termasuk Profil Indonesia dapat diakses di http://www.climate-transparency.org/g20-climate-performance/g20report2017

Catatan untuk Redaksi

Climate Transparency adalah sebuah kemitraan internasional yang merupakan kumpulan para pakar dan lembaga yang bekerja untuk isu perubahan iklim dari beberapa negara anggota G20, diantaranya: Argentina (Fundación Ambiente y Recursos Naturales), Brasil (CentroClima/COPPE UFRJ), China (Energy Research Institute/ERI), Perancis (The Institute for Sustainable Development and International Relations/ISDIR), Jerman (Germanwatch, HUMBOLDT-VIADRINA Governance Platform, NewClimate Institute), India (The Energy and Resources Institute/TERI), Indonesia (Institute for Essential Service Reform/IESR), Meksiko (Initiativa Climática de México), Afrika Selatan (Energy Research Center/University of Cape Town) dan Inggris (Overseas Development Institute/ODI).

Produksi Brown to Green Report 2017 mendapatkan dukungan dari Mercator Foundation, World Bank dan European Climate Foundation.

Di Indonesia, Brown to Green Report 2017 dapat diakses melalui situs www.iesr.or.id

Kontak Media di Indonesia

Yesi Maryam, Institute for Essential Services Reform
Email: yesi@iesr.or.id
Mobile/WA : 081212470477