Energi Terbarukan Terabaikan

REUTERS/HANNIBAL HANSCHKE Para aktivis dari organisasi antiglobalisasi neoliberal, ATTAC, Selasa (4/7), ambil bagian dalam unjuk rasa di depan gedung Elbphilharmonie di Hamburg, Jerman, untuk memprotes rencana KTT G-20 yang akan digelar di kota ini, 7-8 Juli mendatang.

JAKARTA, KOMPAS — Indonesia tertinggal jauh dibandingkan dengan negara-negara anggota G-20 dalam pengembangan energi terbarukan. Hal itu dilihat dari rendahnya daya tarik investasi karbon, kualitas kerangka regulasi yang berada di bawah negara lain, pendanaan, dan upaya dekarbonisasi.

Hal itu terungkap dalam peluncuran laporan dan diskusi panel “Brown to Green Report 2017”, di Jakarta, Selasa (4/7). Laporan itu diterbitkan konsorsium Climate Transparency yang terdiri atas lembaga dan ahli dari beberapa negara G-20, yakni Australia, Argentina, Brasil, China, India, Perancis, Jerman, Indonesia, Meksiko, Afrika Selatan, dan Inggris. Beberapa lembaga di dalamnya, antara lain Institute for Essential Services Reform (IESR), Climate Action Tracker (CAT), Climate Change Performance Index (CCPI), HumboldtViadrina, New Climate Institute, Germanwatch, dan Overseas Development Institute (ODI) yang bergabung dalam Global Climate Transparency, “Pesan utama laporan ini adalah negara-negara G-20 telah melakukan dekarbonisasi, tetapi tidak cukup cepat untuk mencapai target Kesepakatan Paris,” kata Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa.

Emisi gas rumah kaca (GRK) di negara G-20 secara total meningkat 34 persen pada 1990- 2014 dan pertumbuhan ekonomi 117 persen. “Sehingga intensitas emisi lebih rendah. Ini kemajuan yang cukup baik,” kata Fabby. Dia menuturkan, G-20 menghasilkan 75 persen emisi global, 82 persen di antaranya terkait energi.

“Laporan ini menjadi permulaan untuk mendorong pemerintah membuat kebijakan yang mendukung pengembangan energi terbarukan,” tambahnya.

Emisi Indonesia tertinggi

Berdasarkan data yang dihimpun IESR, pada 1990-2015 Indonesia adalah anggota G-20 dengan emisi GRK tertinggi, yaitu mencapai 1.000 megaton setara CO2 (MtCO2). Yang memengaruhi adalah emisi dari energi, limbah, industri dan aktivitas pendukungnya, kehutanan, dan lainnya.

Dalam lima tahun terakhir, tambah Fabby, Indonesia menggunakan bahan bakar fosil, khususnya minyak dan batubara dalam jumlah besar. Hal itu berbanding terbalik dengan negara anggota G-20 lainnya yang mulai menggunakan energi terbarukan sehingga emisi mereka rendah.

“Untuk emisi GRK, trennya meningkat. Ini harus menjadi catatan karena sesuai dengan Kesepakatan Paris, minimal harus stabil sampai 2030,” tambahnya.

Daya tarik investasi untuk energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia saat ini tidak baik. Sejak Oktober 2016, Indonesia menempati peringkat ke-38 dari 40 negara dalam daftar Renewable Energy Country Attractiveness Index (RECAI). “Tahun ini investasinya turun menjadi Rp 30-Rp 40 miliar padahal sebelumnya bisa miliaran dollar. Investasi paling tinggi justru batubara dalam lima tahun terakhir, jadi emisinya tidak turun,” kata Fabby.

Soal pendanaan, dia mengatakan, sejak 2015 subsidi bahan bakar minyak di Indonesia semakin berkurang. “Akan tetapi, pada saat bersamaan subsidi untuk energi terbarukan juga berkurang,” katanya.

Sekretaris Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana menuturkan, kondisi investasi EBT memang perlu disempurnakan. “Kami bekerja untuk itu,” ujarnya.

Dia mengatakan, “Terkait subsidi EBT, sebetulnya setiap tahun meningkat. Tahun 2015, subsidi biofuel Rp 9,5 triliun dan tahun 2016 hampir Rp 10 triliun-Rp 11 triliun.

Tahun ini kelihatannya akan di angka itu juga,” ujarnya.

Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian LHK Nur Masripatin mengatakan, pihaknya tengah berkoordinasi dengan kementerian terkait untuk bisa menggunakan dana-dana kerja sama dengan negara lain. Pasalnya, pengguna anggaran bukan hanya pemerintah dalam hal ini kementerian.

Sementara itu, Jalal berharap pada tahun 2019 Indonesia memiliki kebijakan yang sudah pasti. “Sehingga tahun 2020 kita tidak ketinggalan.” Kesepakatan Paris mulai berlaku tahun 2020.

Sumber: Kompas.com.

 

Emisi Deforestasi Indonesia Tertinggi

Jakarta, Hijauku. Emisi dari deforestasi Indonesia tertinggi di antara negara-negara G20. Hal ini terungkap dari laporan The Brown to Green Report 2017 yang diluncurkan oleh Climate Transparency, Selasa (4/7). Acara peluncuran di Indonesia difasilitasi oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) di Jakarta.

G20 adalah kelompok negara-negara dengan perekonomian terbesar di dunia ditambah dengan Uni Eropa. Negara-negara G20 meliputi Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, Britania Raya, RRT, India, Indonesia, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Meksiko, Perancis, Rusia dan Turki.

Peluncuran laporan ini seiring dengan akan digelarnya pertemuan G20 yang akan berlangsung di Hamburg, Jerman. Laporan ini memberikan penilaian yang komprehensif terhadap kinerja negara-negara anggota G20 dalam transisi mereka menuju ekonomi rendah karbon.

Ada empat kriteria yang dinilai dalam laporan ini yaitu aksi negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, kebijakan perubahan iklim, pendanaan dan aksi dekarbonisasi.

Kalimantan Deforestation and Degradation Josh Estey-AusAID

Kinerja emisi gas rumah kaca per kapita Indonesia masuk dalam kategori menengah, namun pemakaian energi per kapita Indonesia masuk dalam kategori sangat tinggi – terendah kedua dalam peringkat negara G20.

Walaupun masih rendah, bauran energi terbarukan dalam pasokan energi energi Indonesia yang sebesar 8.5% pada 2014 berada di atas rata-rata negara-negara G20. Menurut Climate Transparency, pasokan energi terbarukan Indonesia hampir tidak ada pertumbuhan, sementara pasokan energi batu bara terus meningkat.

Climate Transparency juga menyarakankan Indonesia untuk memerbaiki kebijakan perlindungan hutan, karena emisi terkait deforestasi Indonesia tertinggi di antara negara-negara G20.

Dukungan terhadap skema pengembangan energi terbarukan dalam pasokan listrik nasional juga harus ditingkatkan. Dibanding negara-negara G20 lain, daya tarik investasi di energi terbarukan Indonesia termasuk rendah; kapasitas terpasang energi surya dan panas bumi Indonesia hanya naik sedikit pada 2016.

Sementara subsidi untuk bahan bakar fosil Indonesia masih menempati jajaran tertinggi di antara negara-negara G20, walau sudah ada upaya untuk memangkas subsidi ini sejak 2014.

Sumber:Hijauku.com.

Sulitnya Menumbangkan Emisi Gas Lewat Kesepakatan Paris

Oxfam, kepala besar mirip pemimpin G20 berpartisipasi dalam protes menjelang konferensi G20 di Hamburg, Jerman, Minggu (2/7). ANTARA FOTO/REUTERS/Fabian Bimmer
  • Negara G20 sudah memulai dekarbonisasi, tetapi tidak cukup kuat untuk mencapai Kesepakatan Paris
  • Pada tahun 2030 itu juga ditargetkan deforestasi di Indonesia tak boleh lebih dari 450 hektar

tirto.id  Negara kelompok 20 ekonomi utama atau G20 menyumbang 82 persen emisi karbon dan 75 persen gas rumah kaca dari total yang ada di atmosfer. Itu sebabnya, dalam mencapai Kesepakatan Paris, negara-negara ini memiliki tanggung jawab lebih besar.

Kesepakatan Paris ditandatangani pemimpin-pemimpin negara di seluruh dunia tahun lalu, termasuk Indonesia . Sampai Juni tahun ini, sudah ada 155 negara yang meratifikasi termasuk negara-negara G20—kecuali Amerika Serikat yang baru-baru ini keluar dari kesepakatan itu.
Kesepakatan Paris menargetkan menahan laju temperatur global hingga di bawah 2°C dari angka sebelum masa Revolusi Industri. Target ini dianggap penting untuk mengurangi risiko dari perubahan iklim. Negara-negara yang telah meratifikasi kesepakatan itu harus menurunkan emisi gas rumah kacanya dengan cara yang tidak mengganggu produksi pangan. Mereka juga harus menciptakan arus keuangan yang konsisten dengan jalur menuju emisi gas rumah kaca yang rendah.

Setelah kesepakatan diratifikasi, masing-masing negara mulai berbenah, mulai dari menerbitkan berbagai regulasi hingga melakukan berbagai cara agar emisi karbon dan gas rumah kaca bisa berkurang.

Beberapa negara seperti Cina, Perancis, Jerman, dan Inggris cukup gencar dalam investasi di bidang energi terbarukan. India juga sudah memulai investasi di energi hijau ini, tetapi penggunaan batu bara masih sangat dominan di negara itu. India adalah satu-satunya negara G20 yang telah mendeklarasikan akan menghentikan penjualan mobil bahan bakar fosil pada 2030 mendatang.

Kanada, Perancis, dan Inggris juga telah membuat rencana untuk menghentikan penggunaan batu bara sebagai sumber energi. Jerman, Italia, dan Meksiko juga sedang mempertimbangkan untuk mengambil langkah yang sama. Sementara itu, Indonesia belum memiliki rencana apa-apa soal penghentian penggunaan batu bara.

Menurut laporan Brown to Green yang dirilis Climate Transparency di Berlin pada Senin (3/7), negara-negara G20 telah melakukan dekarbonisasi dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan. Sebesar 98 persen dari sumber energi tenaga angin di seluruh dunia ada di negara-negara G20. Sekitar 97 persen dari total panel surya yang terpasang di dunia juga ada di negara G20, dan 93 persen dari total kendaraan listrik beredar di negara G20.

Selain di Rusia, penggunaan dan instalasi energi terbarukan di negara G20 meningkat. Sayangnya, di Rusia, penggunaan energi terbarukan malah turun hingga 20 persen sejak 2009. Pertumbuhan paling tinggi ada di Cina, Korea, Turki, dan Inggris.

Niklas Hohne dari New Climate Institute menyatakan negara-negara G20 telah menggunakan energi dengan lebih efisien. Negara-negara itu pun sudah mulai beralih ke energi yang lebih bersih. Akan tetapi, lanjutnya, pertumbuhan ekonomi terus memicu pertumbuhan konsumsi energi. Jadi, secara keseluruhan, pertumbuhan emisi gas rumah kaca melambat, tetapi belum menurun.

“Energi terbarukan tumbuh, tetapi batu bara dan minyak bumi masih mendominasi sebagai sumber energi di negara G20,” katanya dalam peluncuran laporan tersebut. Di antara negara G20, Jepang menjadi negara yang masih memberikan subsidi pada minyak bumi cukup besar.

Tahun 2020 hanya tersisa kurang dari tiga tahun lagi. Jika negara G20 mau berhasil mencapai Kesepakatan Paris, maka setelah tahun 2020 itu emisi karbon dan gas rumah kaca harus sudah mulai turun.

“Ekonomi negara-negara G20 sudah lebih efisien, mereka sudah memulai dekarbonisasi, tetapi tidak cukup kuat untuk sesuai dengan gol dari Kesepakatan Paris,” ungkap Alvaro Umana, Wakil Ketua Climate Transparency yang juga mantan menteri lingkungan di Costa Rica.

Indonesia yang Tertinggal

Indonesia menandatangani Kesepakatan Paris pada 22 April 2016, dan meratifikasinya pada 31 Oktober 2016. Meski sudah memulai upaya pengurangan emisi karbon, Indonesia masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara G20 lainnya.

Laporan Brown to Green menyatakan, walaupun Indonesia merupakan salah satu negara G20 dengan porsi energi terbarukan yang cukup tinggi dalam bauran energi primer, tetapi pengembangan energi terbarukan termasuk tertinggal dibandingkan dengan negara G20 lainnya. Daya tarik investasi energi terbarukan di Indonesia juga memburuk.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan, Indonesia masih menggunakan bahan bakar fosil, khususnya minyak dan batu bara, dalam jumlah yang cukup besar. “Ini cukup mengkhawatirkan dalam hal upaya Indonesia memenuhi target Kesepakatan Paris,” kata Fabby.

Walaupun demikian, lanjutnya, adanya penurunan subsidi BBM merupakan indikasi bahwa Indonesia sedang berusaha mengatasi persoalan tersebut. Perlu strategi, rencana dan kebijakan yang lebih progresif untuk menuju transisi sistem energi yang rendah karbon.

Emisi gas rumah kaca (GRK) dari hutan dan gambut, serta pembangkit listrik tenaga batu bara terus meningkat hingga 2030. Padahal, agar konsisten dengan target Kesepakatan Paris, emisi GRK harus mulai stabil dan kemudian menurun. Target penurunan emisi yang disampaikan Indonesia dalam Nationally Determined Contribution (NDC) dinilai kurang ambisius.

Nur Masripatin, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan keberatan jika Indonesia disebut kurang ambisius. Menurutnya, apa yang telah ditargetkan KLHK yakni penurunan emisi karbon 29 persen di sektor kehutanan sudah super ambisius.

Pada tahun 2030 itu juga ditargetkan deforestasi tak boleh lebih dari 450 hektar. “Saya sebagai orang kehutanan, ingin itu tidak diotak-atik, tetapi itu tidak realistis karena kita masih dalam proses membangun, berbeda dengan negara-negara maju itu,” katanya, Selasa (5/7).

Sampai saat ini, Indonesia juga belum menentukan dan menargetkan kapan puncak emisi karbon dan kapan ia mulai bisa turun. Masripatin mengatakan pihaknya belum berani menargetkan. KLHK harus menyelesaikan persoalan lain terlebih dahulu, yakni menekan kebakaran hutan dan merehabilitasi degraded land. 

“Kalau sampai 2019 itu berhasil, barulah kita bisa percaya diri menentukan kapan peaking time Indonesia,” imbuhnya.

Sumber:Tirto.id.

Penguatan Hukum Tekan Deforestasi

ANTARA FOTO/FB Anggoro

Jakarta, Media Indonesia. Kebutuhan lahan akan naik seiring dengan laju pertumbuhan penduduk. Hal itu menjadi salah satu ancaman karena akan ada pengurangan tutupan kawasan hutan. Lahan hutan diprediksi akan semakin banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Indonesia memberikan target untuk pengurangan tutupan lahan tidak lebih dari 450 ribu hektare per tahun pasca-2030. Hal itu sebagai upaya dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor lahan, alih fungsi lahan, serta kehutanan yang menjadi sektor utama dalam Dokumen Kontribusi Nasional yang Diniatkan (NDC).

“Dalam dokumen NDC kita targetkan agar pengurangan tidak lebih dari itu, bahkan kalau mau ambisius itu 325 ribu hektare per tahun,” ucap Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nur Masripatin saat ditemui Media Indonesia dalam peluncuran Brown to Green Report 2017, di Jakarta, Selasa (4/7).
Pengurangan tersebut, lanjut dia, tidak boleh berasal dari hutan alam dan harus masuk rencana pembangunan yang disepakati sehingga tidak ada lagi pengurangan tutupan kawasan hutan yang dilakukan secara ilegal.

Untuk itu, penguatan aspek hukum akan menjadi kunci utama menjaga angka tersebut. Selain itu, ada pula peningkatan pengelolaan kawasan konservasi dan hutan produksi. Saat ini, lanjut Nur, angka pengurangan tutupan hutan yang pemerintah masukkan ke dokumen level referensi emisi hutan (FREL) dalam skema REDD+ masih di angka 920 ribu hektare per tahun hingga 2020. “Setelah itu kita tekan ke 820 ribu sebelum masuk skema pasca-2030 tersebut.” Lebih jauh, Nur menyatakan saat ini badan layanan umum (BLU) yang menurut rencana akan mengelola dana lingkungan hidup termasuk perubahan iklim masih terkendala pembentukannya. Hal itu berakibat pada mandeknya dana donor dari luar negeri yang menuntut adanya badan khusus pengelola dana perubahan iklim untuk Indonesia agar dana tersebut tidak masuk anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). “Kalau pakai mekanisme APBN itu tidak akan fleksibel karena nantinya yang mengakses dana tersebut tidak hanya pemerintah,” terang Nur.

Penguatan Hukum Tekan Deforestasi Rabu, 5 July 2017 03:05 WIB Penulis: Richaldo Y Hariandja richaldo@mediaindonesia.com ANTARA FOTO/FB Anggoro KEBUTUHAN lahan akan naik seiring dengan laju pertumbuhan penduduk. Hal itu menjadi salah satu ancaman karena akan ada pengurangan tutupan kawasan hutan. Lahan hutan diprediksi akan semakin banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Indonesia memberikan target untuk pengurangan tutupan lahan tidak lebih dari 450 ribu hektare per tahun pasca-2030. Hal itu sebagai upaya dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor lahan, alih fungsi lahan, serta kehutanan yang menjadi sektor utama dalam Dokumen Kontribusi Nasional yang Diniatkan (NDC). “Dalam dokumen NDC kita targetkan agar pengurangan tidak lebih dari itu, bahkan kalau mau ambisius itu 325 ribu hektare per tahun,” ucap Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nur Masripatin saat ditemui Media Indonesia dalam peluncuran Brown to Green Report 2017, di Jakarta, Selasa (4/7). Pengurangan tersebut, lanjut dia, tidak boleh berasal dari hutan alam dan harus masuk rencana pembangunan yang disepakati sehingga tidak ada lagi pengurangan tutupan kawasan hutan yang dilakukan secara ilegal. Untuk itu, penguatan aspek hukum akan menjadi kunci utama menjaga angka tersebut. Selain itu, ada pula peningkatan pengelolaan kawasan konservasi dan hutan produksi. Saat ini, lanjut Nur, angka pengurangan tutupan hutan yang pemerintah masukkan ke dokumen level referensi emisi hutan (FREL) dalam skema REDD+ masih di angka 920 ribu hektare per tahun hingga 2020. “Setelah itu kita tekan ke 820 ribu sebelum masuk skema pasca-2030 tersebut.” Lebih jauh, Nur menyatakan saat ini badan layanan umum (BLU) yang menurut rencana akan mengelola dana lingkungan hidup termasuk perubahan iklim masih terkendala pembentukannya. Hal itu berakibat pada mandeknya dana donor dari luar negeri yang menuntut adanya badan khusus pengelola dana perubahan iklim untuk Indonesia agar dana tersebut tidak masuk anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). “Kalau pakai mekanisme APBN itu tidak akan fleksibel karena nantinya yang mengakses dana tersebut tidak hanya pemerintah,” terang Nur.

Sumber: Mediaindonesia.com.

Brown to Green Report 2017, dekarbonasisasi di Indonesia lambat

 

LAMBAT. Dalam diskusi yang digelar oleh Institute for Essenstials Service Reform (IESR), negara angggota G20 masih lambat dalam melakukan dekarbonisasi. Foto oleh Muhammad Harvan/Rappler

JAKARTA, Rappler Indonesia – Indonesia dianggap masih kurang ambisius dalam memenuhi target Kesepakatan Paris untuk mengurangi kenaikan suhu global di level kurang dari 2 derajat Celcius pada 2030. Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Essenstials Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa, dalam peluncuran “Brown to Green Report 2017”, Selasa, 4 Juli, di Jakarta.

“Pesan utama dari Brown to Green Report 2017 adalah, negara-negara G20 sudah melakukan dekarbonisasi, tetapi tidak terlalu cepat. Masih lambat untuk mencapai target kesepakatan,” ujar Fabby.

Brown to Green Report adalah laporan tahunan yang diterbitkan Climate Transparency yang bermarkas di Berlin, Jerman, mengenai perkembangan kinerja negara anggota G20 dalam menjalankan transisi menuju ekonomi rendah karbon. Laporan 2017 ini diterbitkan secara global pada tanggal 3 Juli, jelang konferensi tingkat tinggi kepala negara anggota G20 di Hamburg, Jerman, pada 7-8 Juli 2017.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo dijadwalkan akan hadir dalam KTT G20, setelah melakukan kunjungan bilateral ke Turki.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan ada 3 (tiga) tema utama dalam KTT G20. Yang pertama adalah mengenai masalah sustainability, bagaimana pertumbuhan ekonomi global dapat dilakukan secara inklusif dan berwawasan lingkungan. Kedua, adalah resilience. “Resilience ini adalah untuk mengantisipasi potensi risiko dan juga ketidakpastian yang masih berlaku di dunia ini,” ujar Retno.

Ketiga, kata Menlu Retno, adalah mengenai responsibility, yaitu ingin mendorong aksi bersama untuk pembangunan.

Dalam penjelasan mengenai Brown to Green Report 2017, Fabby mengatakan, bahwa Climate Transparency menghimpun data dari konsorsium organisasi internasional dengan keahlian di bidang perubahan iklim, termasuk IESR sebagai mitra di Indonesia.

Negara anggota G20 adalah penyumbang emisi karbon terbesar di dunia, yaitu 82%.Penilaian dilakukan pada upaya yang berkaitan dengan 4 aspek, yakni (1) pengurangan emisi; (2) dekarbonisasi; (3) performa kebijakan pro-iklim; (4) transisi finansial menuju “Green Economy“.

Fabby menjelaskan, bila dilihat dari segi emisi karbon, jumlah emisi yang dihasilkan oleh negara-negara G20 dari tahun 1990-2014 mengalami peningkatan sebesar 34%. Di sisi peningkatan emisi ini diikuti oleh pertumbuhan ekonomi hingga 117%. Menunjukan bahwa negara-negara G20 berhasil mengurangi intensitas karbon akibat aktivitas ekonomi dan menggunakan energi dengan lebih efisien.

Secara umum dalam laporan disebutkan bahwa penggunaan energi terbarukan di kalangan negara G20 meningkat. Namun, menurut Fabby, energi berbahan batu bara dan fosil masih mendominasi bauran energi untuk konsumsi nasional.

Kebijakan finansial beberapa negara yang masih cenderung berinvestasi pada sektor energi fosil juga berpotensi menghambat pemenuhan target Kesepakatan Paris.

Ketertarikan investor pada untuk pengembangan sektor energi terbarukan pun masih cukup rendah, seperti yang terjadi di Indonesia. Hal ini menghambat transisi ekonomi menuju “Green Economy”.

Kebijakan pro-iklim yang diterapkan oleh masing-masing negara G20 pun dinilai masih kurang ambisius, walaupun jika dilihat dari kerangka kebijakan terlihat lebih komprehensif. Dari data Nationally Determined Contribution (NDC) negara-negara G20 yang dikumpulkan oleh Climate Transparency, kebijakan dan target nasional negara-negara tersebut diprediksi tidak akan cukup untuk mencapai target kesepakatan Paris menjaga pemanasan di bawah 2 derajat, apalagi 1,5 derajat Celcius

Masih jauh dari target

TURBIN. Turbin angin di Belanda. Mengapa Anda harus peduli terhadap COP 21? Foto oleh Olivier Hoslet/EPA

Laporan Brown to Green Report 2017 menyatakan bahwa pencapaian Indonesia belum baik.Mengutip laporan itu, Fabby Tumiwa mengatakan Indonesia masih butuh banyak perbaikan dalam hal upaya memenuhi target kesepakatan Paris.

Tercatat bahwa emisi karbon yang dihasilkan Indonesia hingga tahun 2015 tertinggi di antara negara-negara G20 lainnya. Fabby menyoroti kebijakan Pemerintah Indonesia yang masih menggantungkan diri pada batu bara dalam memenuhi kebutuhan energi nasional.

“Selama Indonesia belum mulai phasing out coal, saya rasa sulit untuk mencapai target Kesepakatan Paris,” kata Fabby. Dia menyarankan audit terhadap pembangkit listrik batu bara yang sudah berusia tua, 30 tahunan, dan menggantinya dengan pembangkit baru yang ramah energi.

Dari aspek perkembangan Green House Gas (GHG), target emisi karbon yang ditetapkan Indonesia tidak kompatibel dengan target Kesepakatan Paris. Dalam Intended Nationally Determined Contribution (INDC) atau proposal penurunan emisi karbon, Indonesia mengumumkan komitmen menurunkan emisi karbon ke 29% dengan catatan business as usual, pada 2030. (BACA: Kontribusi Indonesia dalam penurunan emisi karbon)

Dari sisi kinerja perubahan iklim, Indonesia dianggap lemah dalam kebijakan inti dan implementasinya untuk mencapai Kesepakatan Paris. Ini menyangkut strategi pembangunan emisi rendah secara jangka panjang, target emisi gas rumah kaca pada 2050, fase meninggalkan enrgi berbasis batu bara, sampai penggunaan transportasi yang efisien energinya.

Dari sisi pendanaan, menurut Fabby, laporan itu menyebutkan Indonesia sukses dalam mengurangi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), namun stagnan dalam upaya pendanaan untuk pengembangan energi terbarukan melalui instrumen pendanaan publik.

“Indonesia ketinggalan dibanding negara G20 lainnya dalam menarik investasi di sektor energi terbarukan,” kata Fabby.

Dari aspek dekarbonisasi, peran batu bara dalam bauran energi di Indonesia cukup tinggi, namun masih di bawah rata-rata negara G20. Indonesia dianggap ketinggalan dibandingkan dengan negara G20 lain dalam penggunaan energi tenaga surya dan tenaga angin.

Fabby mengingatkan bahwa meningkatnya emisi karbon juga disebabkan alih fungi lahan hijau.

Tanggapan pemerintah

Dalam sesi diskusi menanggapi Brown to Green Report 2017, pemerintah diwakili oleh Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Nur Masripatin dan Sekretaris Direktorat Jenderal Energi Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, Dadan Kusdiana. Fabby juga mengundang Jalal dari Thamrin School, penggiat sipil di bidang perubahan iklim, untuk memberi tanggapan.

Menurut Nur Masripatin, pemerintah melalui KLHK melakukan berbagai upaya, antara lain restorasi lahan gambut, reboisasi hutan, dan pencegahan deforestasi.

“Tantangan terbesarnya adalah mencegah berkurangnya lahan hijau akibat kebakaran hutan, terutama akibat pengaruh iklim (El Nino),” ujar Nur Masripatin, menanggapi kritik terhadap kinerja Indonesia dalam mencapai target Kesepakatan Paris.

Nur juga mengingatkan posisi Indonesia dalam lingkungan negara G20 yang masih dalam proses pembangunan, termasuk membangun infrastruktur energi untuk meningkatkan rasio elektrifikasi. (BACA: 27 juta rumah tangga miskin masih dapat subsidi listrik)

“Jadi, Indonesia tidak bisa disamakan dengan mayoritas negara G20 lain yang tergolong negara maju seperti di Eropa dan AS,” kata Nur.

Dadan Kusdiana mengakui bahwa salah satu hambatan bagi transisi ekonomi Indonesia menuju ekonomi hijau adalah karena industri energi terbarukan tidak begitu menarik investor.

“Di kementerian memang perlu kami perkuat dengan ahli pendanaan untuk energi terbarukan,” ujar Dadan.

Dadan memaparkan data komitmen sektor energi untuk mendukung Indonesia mencapai target Kesepakatan Paris. Peran Energi Terbarukan dalam penurunan Gas Rumah Kaca pada sektor energi sebesar 49,87% untuk EBT listrik, dan 4,4% untuk non listrik. Peran Konservasi Energi para penurunan GRK sektor energi adalah 30,68%.

Untuk kegiatan lain, seperti teknologi bersih 10,13%, reklamasi lahan tambang 1,74% dan konversi minyak tanah ke elpiji serta jaringan gas sebesar 3,19%.

“Kami juga melakukan program manajemen energi, konservasi energi pada sektor publik, implementasi standar kinerja energi minimum (SKEM) atau label pada peralatan rumah tangga,” kata dia.

Menurut Dadan, saat ini, penggunaan sumber energi terbarukan hanya sekitar 6% untuk memenuhi kebutuhan nasional. Untuk mendorong investasi sektor EBT, Kementerian ESDM sedang menyusun regulasi tentang investasi khusus sektor EBT. Ia menyebutkan pembahasan pembahasan regulasi tersebut sudah ada pada level menko.

Fabby Tumiwa menambahkan, pemerintah perlu menerapkan kebijakan tegas yang memberikan insentif untuk pengembangan dan penggunaan EBT, dan disinsentif pada penggunaan energi fosil. Kebijakan itu harus diterapkan walaupun tidak populis, seperti menaikan harga BBM untuk menekan konsumsi bahan bakar fosil.

Jalal, perwakilan dari Thamrin School mengingatkan, pemerintah harus “memaksa” korporasi untuk turut serta melakukan transisi menuju ekonomi hijau. Ia menyarankan pemerintah agar segera menerapkan Green Bonds dan Carbon Pricing guna mendorong korporasi untuk mengadaptasi teknologi rendah karbon.

Sumber: Rappler.com.

Pengembangan EBT Indonesia Tertinggal oleh Negara G20

Baling-baling turbin angin untuk pembangkit listrik tenaga angin terapung pertama di Prancis di Pelabuhan Saint-Nazaire, Prancis. (ANTARA News/Monalisa)

Jakarta, ANTARA News – Pengembangan energi baru terbarukan (EBT) Indonesia tertinggal oleh negara-negara G20 yang tengah melakukan transisi menuju ekonomi rendah karbon dalam upaya mencapai target Paris Agreement.

Hal tersebut, menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, pada peluncuran laporan Brown to Green Report 2017 di Jakarta, Selasa, tertuang dalam Brown to Green Report 2017 yang merupakan laporan tahunan ke-3 berupa evaluasi upaya-upaya negara G20 dalam mengatasi perubahan iklim.

“Bagi Indonesia, laporan ini penting untuk menilai pencapaian kita dibandingkan dengan negara ekonomi berkembang lainnya,” katanya.

Hal positif yang dicapai Indonesia, menurut dia, adalah penurunan subsidi BBM dalam angka yang cukup besar dari 28 miliar dolar AS berkurang menjadi 6 miliar dolar AS, bahkan di 2017 hanya mencapai hingga Rp30 triliun.

“Ini indikasi bahwa kita sedang berusaha mengatasi persoalan pengunaan energi fosil yang sangat besar selama ini. Perlu strategi, rencana dan kebijakan yang lebih progresif untuk menuju transisi sistem energi yang rendah karbon,” ujar Fabby.

Dalam laporan tersebut ia mengatakan upaya mengurangi laju pengeluaran emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan lahan, dan mengurangi subsidi bahan bakar fosil sejak 2015 membuat Indonesia berada di jalur transisi menuju ekonomi rendah karbon.

Meski demikian, walau Indonesia merupakan salah satu negara G20 dengan porsi energi terbarukan yang cukup tinggi dalam bauran energi primer, tetapi pengembangan energi terbarukan termasuk tertinggal dibandingkan dengan negara lainnya.

Menurut Fabby, daya tarik investasi energi terbarukan Indonesia juga buruk, sedangkan kerangka regulasi untuk energi terbarukan berada di bawah sejumlah negara G20.

Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nur Masripatin mengatakan untuk “face out” energi fosil belum bisa dilakukan sampai 2019. Setelah itu, emisi karbon akan bisa “slow down”.

Jika Badan Restorasi Gambut (BRG) berhasil menjalankan restorasi dan KLHK berhasil mengatasi lahan terdegradasi di 2019 s.d 2020 maka Indonesia akan bisa percaya diri mengatakan berapa angka pasti penurunan karbon di masing-masing sektor.

Sumber: Antaranews.com.

Jelang KTT G20: Tekankan Isu Perubahan Iklim, Berikut Masukan Forum Masyarakat Sipil

Inilah batubara-batubara yang dihasilkan dari menggali perut bumi itu. Batubara masih jadi sumber andalan Indonesia, penghasil banyak emisi karbon, di tengah kekayaan sumber energi terbarukan. Foto: Tommy Apriando.

Jakarta, Mongabay. Pada 7-8 Juli 2017, akan terselenggara Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Hamburg, Jerman. Forum terdiri dari 20 negara anggota ini akan membahas isu penting perekonomian dunia, antara lain soal perubahan iklim. Negara-negara G20, menghasilkan 85% produk domestic bruto (GDP) dunia bertanggungjawab terhadap 75% emisi global.

Menjelang pertemuan ini, masyarakat sipil dunia tergabung dalam Civil20 (C20) merumuskan masukan yang kemudian diberikan pada Presiden G20, Angela Merkel, Kanselir Jerman. Isu perubahan iklim dan ancaman terhadap pembangunan berkelanjutan jadi masukan utama selain soal keuangan yang adil.

Di Indonesia, Forum Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Luar Negeri juga merumuskan sikap dan masukan kepada Pemerintah Indonesia dan negara-negara yang tergabung dalam G20 ini.

Yesi Maryam, Outreach Officer Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan, berdasarkan Brown to Green Report 2017 yang diluncurkan Climate Tranparency awal pekan ini, negara G20 memulai transisi menuju ekonomi rendah karbon.

Meskipun begitu, katanya, upaya ini sangat lambat dalam mencegah kenaikan di bawah dua derajat celcius sesuai target Kesepakatan Paris.

Dia contohkan Indonesia, menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca hingga 2030. Sayangnya, belum sejalan dengan target Kesepakatan Paris.

Kebijakan sektoral, dinilai belum cukup baik, dan minim strategi penurunan emisi jangka panjang. Walaupun, katanya, cukup berhasil dalam pengurangan subsidi bahan bakar fosil, namun dukungan instrumen pendanaan publik untuk energi terbarukan minim.

Daya tarik investasi energi terbarukan, ucap Yesi, sangat rendah dibanding negara G20 lain. Untuk itu, IESR, meminta Presiden Joko Widodo dalam KTT G20, memperkuat ekonomi Indonesia sejalan dengan Kesepakatan Paris.

“Mendorong pengurangan emisi gas rumah kaca sektor kehutanan, lahan gambut dan energi terbarukan lebih ambisius sebelum 2020.”

Berdasarkan trend, jika negara G20 tetap melakukan bisnis seperti biasa (bussiness as usual),diperkirakan temperatur global naik tiga sampai empat derajat, seperti tercantum dalam laporan Brown to Grown Report 2017: The G20 Transition to Low Carbon Economy.

Laporan ini diterbitkan Konsorsium Climate Transparency terdiri atas lembaga dan ahli dari beberapa negara G20, yakni Meksiko, Afrika Selatan, Australia, Inggris, Indonesia, Argentina, Brasil, China, India, Jerman, dan Perancis. Lembaga yang tergabung dalam konsorsium ini seperti Overseas Development Institute (ODI), IESR, Climate Action Tracker (CAT), Climate Change Performance Index (CCPI), HumboldtViadrina, New Climate Institute, dan Germanwatch.

”Pesan utama dalam laporan ini bahwa negara-negara G20 telah melakukan dekarbonisasi, tetapi tak cukup cepat mencapai target dari komitmen dalam Kesepakatan Paris,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Pada 1990-2014, emisi gas rumah kaca (GRK) negara G20 meningkat 34% dengan pertumbuhan ekonomi 117%. Laporan ini pun jadi rekomendasi mendorong pemerintah membuat kebijakan yang mendukung pengembangan energi terbarukan.

Sayangnya, pengembangan energi terbarukan masih tertinggal jauh dibandingkan dengan negara anggota G-20. Penelitian ini memaparkan penyebab daya tarik investasi karbon rendah karena kualitas kerangka regulasi tak pasti, pendanaan dan upaya dekarbonisasi.

Padahal, katanya, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan cukup tinggi, namun sangat tertinggal. Dia contohkan, aksi bertolak belakang dengan Kesepakatan Paris dalam menurunkan emisi dengan rencana pemerintah masih mengandalkan energi barubara.

Fabby bilang, dalam lima tahun terakhir,  Indonesia masih mengandalkan bahan bakar fosil, terutama minyak dan batubara.  Sedangkan negara anggota G20 lain sudah lari ke energi terbarukan.

Senada dengan Yesi, dia bilang, Indonesia ada upaya kurangi energi fosil tetapi perlu strategi, rencana dan kebijakan progresif dalam melakukan transisi menuju ekonomi rendah karbon.

Berdasarkan lembaga riset Renewable Energy Country Attractiveness Index (Recai), daya tarik investasi energi terbarukan Indonesia tak baik. Pada Oktober 2016, Indonesia menempati peringkat ke-38 dari 40 negara, namun Mei 2017, posisi Indonesia tak lagi disana.

”Ini karena kerangka regulasi energi terbarukan masih di bawah sejumlah negara G20 dan regulasi selalu berubah membuat investasi tak aman,” ujar Fabby.

Nur Masripatin, Direktur Jenderal Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup, mengatakan, KLHK sudah mendorong ada instrumen kebijakan seperti pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) untuk pengelolaan dana lingkungan hidup. BLU ini, katanya, bisa meyakinkan pemodal untuk berinvestasi, termasuk energi terbarukan.

BLU ini, katanya, jadi lembaga keuangan yang membiayai upaya penurunan emisi karbon dan kegiatan perlindungan lingkungan hidup.

”Ini penting karena mekanisme APBN tak fleksibel untuk seluruh penggunaan karena yang mengakses dana tak hanya pemerintah.”

Meski demikian, sebelum rancangan Perpres itu ditandatangani, KLHK harus menyelesaikan rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup, merupakan turunan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. ”Masih proses, kami minta secepatnya. Ini penting.”

Kebijakan harus jelas

Arief Wijaya, Manajer Senior Hutan dan Iklim WRI menyatakan, pemerintah perlu tegas dalam perumusan kebijakan dan rencana aksi dalam memudahkan investor energi terbarukan agar tertarik ke Indonesia.

”Perlu ada komitmen jelas dari para pemimpin negara dan pengambil keputusan untuk memahami terkait sumber energi terbarukan,” katanya, seraya bilang, setidaknya, kebijakan itu bisa menyeimbangkan antara energi fosil dan terbarukan.

Kala bisnis masih dari membabat hutan

Laporan keberlanjutan

Forum juga soroti soal kewajiban pelaporan berkelanjutan. Jalal, Penasihat Kebijakan Keuangan Transparansi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, mengatakan  TuK menuntut pemerintah Indonesia mewajibkan pelaporan keberlanjutan dengan segera.

“Sangat jelas, perusahaan-perusahaan di dunia cenderung menutupi berbagai dampak negatif operasi mereka. Sudah bukan saatnya perusahaan seenak udel tak melaporkan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan mereka,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (6/6/17).

Perusahaan-perusahaan besar, terutama yang tergabung dalam Bursa Efek Indonesia sudah seharusnya wajib melaporkan kebijakan, program dan kinerja keberlanjutan dengan komprehensif. Selama ini, katanya, kewajiban pelaporan bagi perusahaan yang melantai di BEI masih asal-asalan dan sangat longgar.

Pewajiban laporan itu, kata Jalal, diikuti pengawasan ketat dan kejelasan kewajiban ekonomi, sosial dan lingkungan perusahaan. Hal ini, katanya,  akan bisa mengubah praktik perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia maupun dunia.

Pemerintah, katanya, bisa juga membuat regulasi tegas dan menciptakan sistem insentif bagi perusahaan yang mengarah pada keberlanjutan dan disinsentif bagi yang bertentangan dengan keberlanjutan.

“Perusahaan harus bertanggungjawab terhadap dampak-dampak ini. Sekarang banyak mengaku, sebenarnya brain washing. Peduli tapi paling merusak lingkungan,” katanya.

Selain itu, fokus negara-negara ini mesti diarahkan pada keuangan berkelanjutan. “Waktu kita pendek sampai 2030 untuk menyelematkan diri dari perubahan iklim.”

Salah satu pemangku kepentingan yang paling perlu diubah perilaku adalah lembaga jasa keuangan.”Sudah saatnya pendanaan publik maupun swasta ditimbang dengan ukuran tegas. Yang membantu mencapai tujuan SDG’s dan Kesepakatan Paris, itulah yang dibiayai. Yang bertentangan dengan keduanya segera perlu dimasukkan dalam daftar negatif dan tak dibiayai.”

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) mengatakan, Indonesia dan negara G20 penting memastikan perusahaan ekstraktif mematuhi standar internasional dalam pembangunan berkelanjutan. Memastikan mereka memperhatikan aspek HAM, lingkungan, tata kelola transparan dan akuntabel serta hak pekerja.

Rachmi Hertanti,  Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), menyoroti proteksionisme melalui reformasi kebijakan perdagangan dan investasi internasional yang harus disikapi hati-hati.

Dia mencontohkan, berbagai kebijakan dalam negeri untuk meningkatkan daya saing rentan digugat lewat pengadilan arbitrase internasional. Misal, kebijakan pemerintah Indonesia membatasi ekspor konsentrat untuk memperkuat industri hilir diprotes dan digugat banyak negara.

Forum masyarakat sipil untuk kebijakan luar negeri antara lain terdiri dari IESR, Migrant Care, Prakarsa, Walhi, PWYP, dan TuK Indonesia menyatakan dukungan pada kesimpulan rekomendasi C20 dalam pertemuan di Hamburg, 19 Juni 2017. Rekomendasi itu antara lain, desakan pada penghentian perlakuan atas lingkungan, lautan dan atmosfer seolah tempat pembuangan sampah tanpa batas untuk beragam jenis polusi dan gas rumah kaca.

Juga melaksanakan segera Kesepakatan Paris dengan strategi iklim jangka panjang yang ambisius, menghapuskan bahan bakar fosil, menetapkan sinyal harga karbon efektif dan adil. Kemudian, menggeser arus keuangan untuk mempromosikan transformasi dari ketahanan serta berpegang teguh pada janji untuk meningkatkan biaya iklim.

***

KTT ini menjadi sebuah pertemuan pertama para pimpinan global, sejak Donald Trump, Presiden Amerika Serikat menyatakan menarik diri dari Perjanjian Paris.

Andrew Light, Distinguished Senior Fellow, Program Iklim, WRI Global,mengatakan, G20 akan menunjukkan bagaimana negara lain mengirimkan sinyal kuat untuk mendukung Persetujuan Paris, meski ada keraguan AS.

”Banyak pihak mendukung Jerman, sebagai tuan rumah G20, memiliki pernyataan komperhensif dalam mendukung kesepakatan Paris Agreement dan Sustainable Development Goals, pengembangan energi terbarukan dan efisiensi energi,” katanya kepada Mongabay.

Sebelumnya, AS telah mengumumkan NDC, mengurangi 26-28% emisi pada 2025, dimana komitmen kuat banyak berasal dari negara bagian besar seperti New York dan Washington DC.

“Administrasi ada keputusan Trump bisa membalikkan beberapa kebijakan terkait iklim yang ada.” Arief menambahkan, Indonesia harus memainkan peran lebih vocal dalam negosiasi G20 ini. “Saatnya kita menunjukkan posisi penting dan unik di G20 dari sudut pandang lingkungan.”

Indonesia, katanya,  memiliki lahan gambut tropis signifikan, memiliki hutan hujan terbesar ketiga di dunia.

Dia berharap, Presiden bisa menyampaikan pesan yang memberikan dampak baik bagi penanganan perubahan iklim, misal, pesan tentang investasi dan pembangunan Indonesia dalam energi terbarukan dan bagaimana Indonesia mendorong industri ramah lingkungan.

Selanjutnya, WRI mengharapkan, delegasi Indonesia bisa membawa rencana tindakan nyata dari NDC ke bagian pembangunan berkelanjutan, iklim dan energi. ”Lebih penting lagi, pemikiran tentang pembangunan berkelanjutan harus menjadi dasar setiap keputusan dan kebijakan yang dibuat,” katanya.

Sumber: Mongabay.co.id.

Jokowi diminta perjuangkan perbaikan iklim Indonesia di KTT G20

Presiden Jokowi. ©2016 Merdeka.com

Merdeka.com – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) memperkuat komitmen Indonesia atas Kesepakatan Paris dan mendorong perbaikan iklim Tanah Air di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20.

“Kami meminta Presiden Jokowi dalam KTT G20 di Hamburg untuk memperkuat komitmen Indonesia atas Kesepakatan Paris dan mendorong emisi gas rumah kaca di sektor kehutanan, lahan gambut dan energi yang lebih ambisius sebelum 2020,” kata Fabby dalam diskusi di Jakarta, Kamis (6/7).

Dia menambahkan, Indonesia telah menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca hingga tahun 2030 yang dinyatakan dalam Nationally Determined Contributions (NDC). Namun, hal tersebut belum sejalan dengan target Kesepakatan Paris.

Menurutnya, kebijakan iklim Indonesia di tingkat sektoral dinilai belum cukup baik, dan minim strategi penurunan emisi jangka panjang. Walaupun dinilai cukup berhasil dalam upaya pengurangan subsidi bahan bakar fosil, namun di sisi lain dukungan instrumen-instrumen pendanaan publik atas energi terbarukan tidak bertambah.

“Daya tarik investasi untuk energi terbarukan Indonesia juga sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara G20 lainnya,” imbuhnya.

Terkait dengan perubahan iklim, lanjutnya, negara-negara G20 mempunyai peran penting memimpin dunia menuju pembangunan rendah karbon. G20 yang menghasilkan 85 persen GDP global, bertanggung jawab terhadap 75 persen emisi global.

Berdasarkan Brown to Green Report 2017 yang diluncurkan oleh Climate Transparency, negara-negara G20 telah memulai transisi menuju ekonomi rendah karbon. Namun, hal itu dinilai masih sangat lambat untuk mencegah terjadinya kenaikan di bawah dua derajat celcius sesuai Kesepakatan Paris.

Sumber: Merdeka.com