Aturan Mobil Listrik Disusun

JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tengah menyiapkan draf peraturan presiden mengenai pemanfaatan tenaga listrik untuk transportasi. Kebijakan ini untuk menekan impor minyak dan elpiji serta untuk mendorong pemanfaatan energi yang lebih ramah lingkungan.

“Sudah ada instruksi tertulis dari Presiden bahwa pemerintah mendukung pengembangan mobil listrik. Kebijakan ini untuk mendukung terciptanya lingkungan yang lebih bersih. Sedang disusun (aturannya), barangkali akan berupa peraturan presiden,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan seusai membuka seminar “Powering Indonesia 2017”, Rabu (19/7), di Jakarta.

Menurut Jonan, selain Kementerian ESDM, instansi lain yang terlibat dalam penyusunan draf atau rancangan peraturan tersebut adalah Kementerian Keuangan dan Kementerian Perindustrian. Salah satu hal yang dibahas dengan Kementerian Keuangan adalah mengenai perpajakan. Menurut dia, dengan sistem perpajakan saat ini, impor mobil listrik menjadi sangat mahal harganya.

“Ide teknisnya, baterai mobil listrik, bila tenaganya habis, bisa ditukar dengan yang sudah terisi penuh. Sistemnya semacam penukaran tabung elpiji. Soal perakitan di mana dan impor segala macamnya itu di Kementerian Perindustrian,” ujar Jonan.

Jonan menambahkan, jika rencana itu terealisasi, impor minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM), termasuk elpiji, oleh Indonesia akan turun drastis. Penggunaan tenaga listrik untuk transportasi juga sejalan dengan rencana bauran energi nasional, yakni 23 persen dari energi terbarukan pada 2025.

Bukan masalah utama

Mengenai rencana tersebut, Direktur Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa mengatakan, isu kecukupan pasokan daya listrik untuk pengembangan mobil listrik di Indonesia bukanlah masalah utama. Pasokan listrik yang ada di Indonesia, terutama di kota-kota besar, sangat cukup untuk pemanfaatan mobil listrik. Isu yang krusial adalah kemudahan mengisi tenaga baterai di ruang publik.

“Selain itu, bagaimana sumber energi pembangkit listriknya? Apabila masih menggunakan batubara, tetap saja ada kontribusi emisi gas rumah kaca yang besar. Akan lebih bagus jika memanfaatkan sumber energi terbarukan,” ujar Fabby.

Secara umum, lanjut Fabby, biaya pemakaian tenaga listrik untuk kendaraan jauh lebih hemat dan murah ketimbang memakai gas atau bahan bakar minyak. Di samping itu, mobil listrik juga lebih ramah lingkungan. Menurut Fabby, perlu campur tangan pihak Kementerian Koordinator Perekonomian untuk mengoordinasikan penyusunan regulasi mengenai kebijakan pemanfaatan tenaga listrik bagi transportasi.

Sebelumnya, pemerintah telah menerbitkan sejumlah aturan mengenai pemanfaatan gas untuk transportasi. Namun, kebijakan itu bisa disebut jauh dari sukses. Data Kementerian ESDM mengungkapkan, pemanfaatan gas untuk transportasi di Indonesia belum optimal, yaitu hanya 0,06 persen dari total konsumsi gas nasional, atau setara dengan 4,48 miliar british thermal unit per hari (BBTUD) pada 2015. Pada 2016, porsi gas untuk transportasi menurun menjadi 0,05 persen dari keseluruhan pemanfaatan gas bumi domestik.

“Gas untuk transportasi tidak bisa jalan karena SPBG (stasiun pengisian bahan bakar gas)-nya tidak ada. Tidak bisa dibangun karena banyak masalah dan tantangan, seperti infrastruktur dan pasokan gasnya,” kata Jonan.

Gas untuk transportasi diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 Tahun 2015 yang merupakan perubahan dari Perpres No 64/2012 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Bahan Bakar Gas untuk Transportasi. Aturan yang terbaru adalah Peraturan Menteri ESDM No 25/2017 tentang Percepatan Pemanfaatan Bahan Bakar Gas untuk Transportasi Jalan. Dalam peraturan ini, pengelola SPBU di daerah wajib menyediakan sarana pengisian gas alam terkompresi (CNG) paling sedikit satu dispenser. (APO)

Sumber : kompas.id.

PLN Ingin Amankan Pasokan

Direktur Bisnis Regional Kalimantan PLN Djoko Rahardjo Abumanan mengatakan, pihaknya mengajukan usul kepada pemerintah agar bisa menjadi pelaksana pengelola tambang batubara. Langkah itu untuk mengamankan pasokan batubara bagi pembangkit-pembangkit yang dioperasikan PLN. Saat ini, ketergantungan terhadap pasokan batubara dari perusahaan tambang dinilai cukup besar.

“Untuk membangun pembangkit listrik mulut tambang, tak hanya menguasai pembangkitnya, tetapi juga tambangnya. Ini bertujuan untuk mengamankan pasokan batubara untuk kebutuhan pembangkit,” ujar Djoko dalam konferensi pers, Jumat (21/7), di Jakarta.

Djoko mengatakan, pada saat harga batubara sedang murah, banyak perusahaan batubara yang menawarkan batubara mereka ke PLN. Sebaliknya, saat harga batubara sedang tinggi, perusahaan-perusahaan tersebut enggan menjual ke PLN atau lebih memilih mengekspor batubara tersebut.

“Keamanan pasokan penting di tengah dorongan pemerintah untuk membangun pembangkit listrik tenaga uap di mulut tambang (di lokasi tambang batubara),” katanya.

Kepala Satuan Komunikasi Korporat PLN I Made Suprateka menambahkan, mayoritas tambang batubara di Indonesia dikelola swasta, bukan negara. Menurut dia, di banyak negara, sumber tambang batubara dikelola penuh oleh negara. Batubara dianggap penting sebagai sumber pasokan energi.

“Sekitar 80 persen hasil produksi tambang di Indonesia diekspor dan sisanya untuk kebutuhan di dalam negeri. Dengan penguasaan tambang batubara, kecukupan pasokan batubara PLN lebih terjamin,” kata Suprateka.

Dalam program 35.000 megawatt (MW), ada tujuh proyek pembangunan PLTU mulut tambang di Kalimantan, yaitu PLTU Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 3, 4, dan 5 dengan total kapasitas 600 MW, PLTU Kalimantan Timur 3, 5, dan 6 dengan total kapasitas 541 MW, dan PLTU Kalimantan Timur-Utara berkapasitas 400 MW. Proyek pembangkit tersebut ditargetkan bisa beroperasi secepatnya pada 2019.

Dalam bauran sumber energi pembangkit PLN, penggunaan batubara masih cukup dominan, yakni lebih dari 50 persen dari pembangkit. Pada 2016, konsumsi batubara oleh pembangkit PLN sebanyak 50,5 juta ton. Berikutnya, gas dengan porsi sekitar 20 persen, solar 11 persen, dan sisanya berupa tenaga hidro dan panas bumi.

Hati-hati

Secara terpisah, Direktur Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa mengatakan, PLN harus berhati-hati dengan rencana memiliki aset tambang batubara untuk kebutuhan perusahaan. Menurut dia, tren di dunia menunjukkan perlambatan pembangunan PLTU berbahan bakar energi fosil (batubara) yang dikenal tidak ramah lingkungan.

“Banyak yang beralih ke sumber energi terbarukan. Selain teknologi di bidang ini kian berkembang, ongkosnya pun akan semakin murah dibandingkan dengan pembangkit berbahan bakar batubara,” kata Fabby.

Menurut Fabby, cukup banyak contoh ongkos produksi listrik dari energi terbarukan lebih murah atau relatif sama dengan listrik yang diproduksi dari batubara. Saat ini di Amerika Serikat, lanjut dia, dengan teknologi tenaga surya dan penyimpanan daya, harga listriknya sekitar 4,5 sen dollar AS per kilowatt jam.

“Teknologi-teknologi energi terbarukan yang murah akan masuk ke Indonesia. PLN harus mencermati ini,” kata Fabby.

Oleh karena itu, tambah Fabby, PLN berpotensi menghadapi risiko finansial jika bersikeras ingin memiliki hak kelola tambang. Hal ini terkait perkembangan teknologi energi terbarukan yang akan mengubah peta permintaan listrik. (APO)

Sumber : kompas.id.