Dukungan IESR dalam Musyawarah Nasional Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Ke-1

Institute for Essential Services Reform (IESR) memberikan dukungan dalam Musyarawah Nasional (Munas) Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) ke-1 yang diselenggarakan pada tanggal 25 Januari 2018 di Jakarta. Munas AESI ini bertema “Konsolidasi Asosiasi Energi Surya Indonesia untuk Mendukung Pencapaian Target Kebijakan Energi Nasional dalam Rangka Mewujudkan Energi Berkeadilan Hingga Pelosok Negeriâ€. Dalam acara ini juga dilakukan peluncuran portal “Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap“ dan pameran INDOSOLAR 2018.

AESI diresmikan pendiriannya pada 15 Desember 2016. Sejarah pendirian AESI diawali pada saat Luluk Sumiarso menerima undangan dari Asosiasi Energi Surya di Jerman untuk berbicara mengenai berbagai sumber energi dan berdialog di sebuah konferensi. Sebelum datang ke Jerman, Luluk Sumiarso bertemu dengan beberapa pegiat energi terbarukan lain dan menginisiasi berdirinya Indonesia Solar Association (ISA).

IESR mendukung deklarasi AESI secara resmi dan juga berperan aktif dalam menfasilitasi beragam diskusi AESI dengan fokus pada pengembangan energi surya di Indonesia. Dari beberapa diskusi yang diselenggarakan tersebut, kemudian disepakati adanya kolaborasi beragam pemangku kepentingan untuk mencapat target gigawatt pertama energi surya di Indonesia dengan pemanfaatan listrik surya atap. Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA) ini dideklarasikan secara resmi dalam acara IndoEBTKEConnex tahun 2017 lalu.

Rida Mulyana sebagai Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM menyampaikan pemerintah sangat mengapresiasi AESI dalam mendorong pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia. Rida menyampaikan adanya beberapa kendala untuk pengembangan energi surya, misalnya teknologi baterai, sifat yang intermitent dan tergantung cuaca, serta ketersediaan lahan. Harus dipikirkan mengenai solusi untuk mengatasi tantangan ini, tentunya kerjasama dengan berbagai pihak, melihat permasalahan secara holistik dan tidak saling menyalahkan. Rida juga menyoroti ragam pemangku kepentingan di AESI yang diharapkan dapat berkontribusi secara positif untuk mewujudkan cita-cita bersama.

Selanjutnya Arthur Panggabean sebagai konsultan GNSSA memberikan pemaparan mengenai portal GNSSA yang dapat diakses secara publik. Portal ini dirancang sebagai portal informasi mengenai pengetahuan, pertanyaan dan jawaban, juga forum untuk pelaku bisnis dan konsumen listrik surya atap untuk berjejaring.

Setelah pembukaan Munas AESI, dilakukan diskusi panel dengan tema “Towards the First Gigawatt Solar Energy in Indonesia†dengan moderator Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa. Duduk sebagai panelis adalah Harris, Direktur Aneka Energi Dirjen EBTKE Kementerian ESDM, Zakiyudin, Direktur Mesin dan Alat Mesin Pertanian Ditjen ILMATE Kementerian Perindustrian, Dewanto, Deputi Manager Alternatif PT PLN, dan Ahmad Masyuri, Head of Engineering PT Sampoerna.

Fabby Tumiwa menerangkan bahwa GNSSA dirancang dan dideklarasikan untuk berkontribusi terhadap target kebijakan energi nasional, yaitu 23% energi terbarukan pada tahun 2025. Dari target tersebut,  6,5 GW disumbang oleh listrik tenaga surya. Pembahasan tentang bagaimana rencana GNSSA ke depan terbilang penting, karena target GNSSA yaitu tercapainya 1 GW listrik surya atap dapat memiliki efek yang sangat luar biasa terhadap industri dan terhadap perkembangan pasar energi surya di Indonesia.

Harris menyampaikan bahwa tren kebijakan pengembangan EBT berubah sangat cepat, sehingga dibutuhkan upaya-upaya sinergi internal eksternal, termasuk kolaborasi dalam GNSSA. Energi terbarukan, terutama energi yang dibangkitkan dari energi surya juga dianggap sangat mampu menyikapi perubahan dengan inovasi-inovasinya, sehingga mampu mengurangi biaya investasi dan harga.

Kesiapan industri Indonesia terkait pasar dan manufaktur komponen listrik tenaga surya ditanggapi oleh Zakiyudin. Peningkatan daya saing industri pendukung proyek ketenagalistrikan telah diatur oleh Kementerian Perindustrian, seperti pemberian fasilitas BMDTP (Bea Masuk Ditanggung Pemerintah) untuk impor bahan baku industri pendukung proyek ketenagalistrikan. Pemerintah juga memberikan tax holiday untuk investasi baru  industri permesinan pendukung proyek ketenagalistrikan, dan mengajukan usulan pemberian fasilitas tax allowance.

Dewanto sebagai perwakilan PT PLN menjelaskan bahwa PLN tidak menghalangi keberadaan PV rooftop. Secara kebijakan, sudah ada keputusan direksi tentang aturan penyambungan energi baru terbarukan, termasuk pemasangan instalasi listrik surya atap untuk pelanggan dan integrasi ke jaringan PLN. Saat ini PLN sedang berada dalam kondisi yang sulit, dikarenakan adanya penurunan penjualan, di samping berlebihnya pasokan di Jawa Bali karena turunnya permintaan dan banyaknya industri yang masih menggunakan pembangkit listrik sendiri.

Pengalaman pelaku sektor industri dalam menggunakan energi terbarukan disampaikan oleh Ahmad Masyuri dari PT HM Sampoerna. Saat ini Sampoerna memiliki dua fasilitas di Sukorejo (Jawa Timur) dan Karawang yang membangkitkan listrik dari tenaga surya. Sampoerna memiliki komitmen intenasional untuk mengurangi emisi karbon dari penggunaan energi, yang dilakukan dengan penggunaan listrik surya atap, penggantian lampu dengan lampu LED, dan efisiensi proses produksi.

Munas AESI ke-1 ini kemudian dilanjutkan dengan musyawarah anggota AESI yang menetapkan Ketua Dewan Pengurus, Ketua Dewan Pembina, dan Ketua Dewan Pakar. Untuk tahun 2018 – 2021, terpilih Ketua Dewan Pengurus Dr. Andhika Prastawa, Ketua Dewan Pembina Luluk Sumiarso, dan Ketua Dewan Pakar Nur Pamudji.

PLN Sepakat Harga Batubara Jadi Komponen Harga Listrik

JAKARTA- Kontan.co.id. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) menyepakati Harga Batubara Acuan (HBA) sebagai salah satu komponen penentu tarif listrik, bersamaan dengan kurs dolar Amerika Serikat, harga minyak Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) dan inflasi.

Pasalnya, saat ini, kebanyakan pembangkit listrik yang digunakan oleh PLN menggunakan batubara melalui Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Jadi, menurut PLN, masuknya HBA sebagai komponen penentu tarif listrik adalah wajar.

“Itu supaya mendapatkan harga yang lebih realistis. Tarif listrik tidak secara langsung naik. Hanya pengadaannya saja yang naik. Tarif listrik kan tetap ditentukan oleh pemerintah melalui regulasi, meskipun HBA masuk sebagai komponen,” kata Kepala Satuan Komunikasi Korporat PLN, I Made Suprateka kepada Kontan.co.id, Senin (29/1).

Jika pengadaan bahan baku naik, kata Made, pihaknya meminta supaya pemerintah bisa menerapkan harga batubara melalui cost plus margin untuk pembangkit dalam negeri (DMO). Sehingga pembelian bahan baku batubara tidak mengikuti harga batubara yang sedang naik yakni senilai US$ 95,54 per ton.

Dengan penetapan batubara DMO untuk pembangkit itu ditetapkan, kata Made, maka tarif listrik bisa disesuaikan dan bisa turun.

“Pertama, dengan DMO ada kuantiti yang diberikan kepada PLN. Kedua, ada kesesuaian yang bisa membuat harga listrik lebih terjangkau,” tandasnya.

Sementara, Direktur Eksekutif Institute Energy for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan rencana pemerintah memasukan komponen kenaikan harga batubara dalam tarif adjustment tidak tepat. Alasannya, Harga batubara yang berkontrak dengan PLN tidak berubah sewaktu-waktu dan PLN tidak membeli batubara dari pasar spot dan tidak import. Tapi, kontrak jangka panjang dengan produsen lokal.

Selain itu, harga energi primer merupakan risiko yang harus dikelola oleh PLN, dan risiko batubara dengan BBM berbeda. PLN seharusnya dapat mengelola risiko harga batubara melalui kontrak dengan produsen/pemilik tambang.

“Jika Menteri ESDM memasukan HBA pada tarif penyesuaian, maka risiko yang harusnya dikelola oleh PLN menjadi risiko yang ditanggung oleh pelanggan listrik,” ungkapnya kepada KONTAN, Senin (29/1).

Kebijakan ini, kata Fabby, malah lebih menguntungkan produsen batubara, dan tidak memberikan insentif kepada PLN untuk melakukan efisiensi bahan bakar serta upaya untuk mengontrol biaya energi primer.

“KESDM juga diminta secara transparan mengumumkan perhitungan tarif adjustment secara berkala kepada publik. HBA itu dimaksudkan untuk menghitung pendapatan pemerintah dari royalti dan pajak,” tandasnya.

Sumber : http://industri.kontan.co.id/news/pln-sepakat-harga-batubara-jadi-komponen-harga-listrik

PAKAI Patokan Batubara Lokal, Tarif Listrik Bisa Murah

JAKARTA-KONTAN.CO.ID. Penerapan penetapan harga batubara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dalam negeri (domestic market obligation/DMO) dianggap mampu menekan harga listrik. Pasalnya, jika harga batubara untuk dalam negeri mengikuti harga pasar internasional yang terus naik maka, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) malah harus terus menanggung kerugian

Kepala Satuan Komunikasi Korporat PLN menyebutkan, pihaknya masih terus meminta supaya pemerintah bisa menerapkan harga batubara melalui cost plus margin untuk pembangkit dalam negeri. Sehingga pembelian bahan baku batubara tidak mengikuti harga batubara acuan (HBA) yang sedang naik yakni senilai US$ 95,54 per ton.

Dengan penetapan batubara DMO untuk pembangkit dalam negeri itu, kata Made, maka tarif listrik bisa disesuaikan dan bisa turun.

“Pertama, dengan DMO, ada kuantiti yang diberikan kepada PLN. Kedua, ada kesesuaian yang bisa membuat harga listrik lebih terjangkau,” tandasnya kepada KONTAN, Selasa (30/1).

Direktur Eksekutif Institute Energy for Essential Services Reformn(IESR), Fabby Tumiwa mengatakan dengan ditetapkannya DMO batubara memakai formula harga cost plus margin. Maka, PLN bisa beli batubara lebih murah. Sehingga, harga listrik bisa disesuaikan menjadi lebih murah.

“Tapi apakah produsen batubara setuju? Kalau harga batubara lebih rendah, bisa saja biaya produksi listrik turun, tapi dugaan saya kok tidak terlalu besar ya,” terangnya kepada KONTAN, Selasa (30/1)

Namun, kata Fabby, konsep biaya cost plus margin dalam pembelian batubara juga tidak sempurna, lantaran perlu ada batasan penggunaan formula untuk jenis batubara yang memang dipakai pembangkit. Selain itu juga, harus ada perbedaan nilai margin sesuai kualitas.

“Perlu penetapan harga DMO batubara untuk pembangkit. Tapi formulasinya, pemerintah harus hati-hati. Tidak dipukul rata,” ungkapnya.

Asal tahu saja, menurut data yang diperoleh Fabby, biaya pembangkitan rata-rata PLTU milik PLN tahun 2016 adalah Rp 532 per kWh dengan harga batubara rata-rata sekitar US$ 70-an per ton. Kalau harga rata-rata batubara tahun ini di kisaran US$ 85 per ton, harga pembangkitan PLTU akan naik sekitar 600 per kwh.

“Tapi dari total rata-rata pembangkitan PLN hanya sekitar 2%-3% saja. Tidak terlalu signifikan dan bisa ditutupi dengan efisiensi internal PLN,” tandasnya.

Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia menyatakan bahwa dari perspektif pelaku usaha berharap pembelian batubara untuk pembangkit dalam negeri bisa mengacu kepada harga pasar.

“Harga komoditas pada dasarnya sangat cyclycal. Adapun harga yang sedang menguat saat ini dikhawatirkan tidak sustain dan sangat rentan dengan banyak faktor eksternal,” terangnya kepada Kontan.co.id, Selasa (30/1).

Adapun pihaknya dengan senang hati mendiskusikan hal ini kepada pemerintah maupun PLN. Supaya, kebijakan yang akan ditetapkan tidak merugikan semua pihak.

Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerjasama, Kementerian ESDM, Agung Pribadi menyatakan pemerintah dalam waktu dekat ini belum akan menerapkan penetapan batubara DMO untuk pembangkit listrik dalam negeri. “Belum ada,” tandasnya.

Sumber : http://industri.kontan.co.id/news/pakai-patokan-batubara-lokal-tarif-listrik-bisa-murah

Harga Listrik Baru Untuk Ringankan Beban PLN

JAKARTA-The Jakarta Post. Pemerintah akan merancang harga listrik yang baru dengan memasukan harga batubara acuan (HBA) sebagai salah satu komponen perhitungan, ini adalah upaya yang dilakukan untuk meringankan beban keuangan Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang menjadi tanggungan pengeluaran pelanggan.

Menurut direktur eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa, jika pemeritha ingin meringankan beban PLN dengan memasukan Harga Batubara Acuan (HBA) dalam perhitungan harga listrik maka akan membebankan pelanggan dengan melonjaknya harga batubara akhir-akhir ini.

“Akan lebih baik jika pemerintah mengeluarkan komponen harga minyak mentah Indonesia (ICP)  jika dianggap tidak relevan dalam perhitungan harga listrik, jika tetap dimasukan ini akan menjadi beban bagi para pelannggan”

Baca lebih lanjut artikel ini tersedia dalam edisi Bahasa Inggris :

https://iesr.or.id/2018/01/new-price-formula-set-to-ease-plns-burden/?lang=en