Diskusi Mengenai Kerangka Regulasi untuk Mendukung Solar PV Rooftop di Indonesia

Kebijakan Energi Nasional (KEN) Indonesia mentargetkan adanya peningkatan bauran energi terbarukan dari 5% pada 2015 menjadi 23% pada 2025. Target ini mengindikasikan kapasitas pembangkitan listrik dari energi terbarukan sebesar 45 GW, atau diperlukan tambahan sekitar 36 GW dari kapasitas pembangkit yang ada saat ini. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) mendapatkan alokasi kapasitas 6,5 GW.

Meski mendapatkan porsi besar, hingga saat ini perkembangan energi surya di Indonesia masih belum optimal. Kementerian ESDM memperkirakan potensi listrik dari tenaga surya dapat mencapai kapasitas 560 GWp dengan teknologi saat ini, namun kapasitas total terpasang pembangkit tenaga surya masih di bawah 50 MWp. Potensi pasar yang besar untuk pengembangan energi surya ini adalah PLTS on-grid (utility scale), off-grid, dan PLTS rooftop (listrik surya atap).

Melanjutkan rangkaian diskusi mengenai listrik surya atap yang pernah diselenggarakan oleh IESR bersama Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), pada tanggal 31 Mei 2018 kembali diadakan diskusi untuk membahas interpretasi kebijakan mengenai listrik surya atap yang sudah ada dan memberikan rekomendasi untuk mendorong tumbuhnya penggunaan listrik surya atap dari golongan masyarakat dan corporate buyers non-IPP (independent power producer). Diskusi ini menghadirkan pembicara dari Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan dan Direktorat Jendera Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Divisi Energi Baru Terbarukan (EBT) PLN, Dewan Energi Nasional, dan AESI.

Dalam sambutannya, Ketua Umum AESI Dr. Andika Prastawa menyampaikan latar belakang perlunya diskusi ini. Pemanfaatan listrik surya atap, khususnya di perkotaan yang terhubung dengan jaringan diatur dengan Peraturan Menteri ESDM No. 1/2017 mengenai operasi paralel pembangkit. Peraturan ini dinilai menghambat penggunaan listrik surya atap non-IPP karena batasan kapasitas maksimum sebelum dikenai biaya operasi paralel, yaitu 30 kWp. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, yang berperan sebagai moderator diskusi juga mengutarakan perlunya regulasi yang mendukung listrik surya atap, melihat potensi besar yang dimiliki Indonesia saat ini. Laporan IRENA menyebutkan bahwa potensi penggunaan tenaga surya di dunia dengan solar PV rooftop mencapai 3,1 GW per tahun. Banyak negara di dunia yang sudah berada pada kondisi grid parity, di mana biaya produksi energi terbarukan sudah mendekati, sama, atau lebih rendah daripada biaya produksi listrik konvensional dalam jaringan. China akan mencapai kondisi grid parity pada tahun 2022 – 2023, dan sebagian besar negara di dunia paada tahun 2025 untuk penggunaan tenaga surya. Data dan prediksi ini menunjukkan adanya kesempatan dan tantangan yang besar untuk listrik surya atap. Teknologi akan semakin murah, namun Indonesia masih terbentur pada ragam regulasi dan sistem kelistrikan yang belum mendukung.

Dr. Rinaldy Dalimi dari Dewan Energi Nasional menyampaikan fenomena peralihan sistem ketenagalistrikan dari policy driven menuju market driven. Dengan berkembangnya teknologi dan kesadaran masyarakat, produsen listrik independen akan semakin banyak dalam beragam skala. Risiko bagi penyedia layanan ketenagalistrikan seperti PLN jelas ada:  kehilangan konsumen, tidak diperlukannya lagi jaringan transmisi tegangan tinggi/menengah, dan penguatan jaringan sehingga ketidakstabilan karena sifat variabel dari energi terbarukan seperti surya dan angin dapat dikendalikan. Karenanya diperlukan kerangka kebijakan dan regulasi yang kuat dan mengakomodasi proses transisi ini.

Selanjutnya praktik penggunaan listrik surya atap di Indonesia yang diatur dengan payung hukum peraturan menteri disampaikan oleh Nur Pamudji, Ketua Dewan Pakar AESI. Menurutnya, pemerintah perlu menerbitkan Permen ESDM khusus agar pelanggan PLN dapat memasang pembangkit listrik surya atap di bangunan miliknya atau di bangunan milik orang lain. Pembangkitan listrik oleh pelanggan ini adalah yang bertujuan untuk dipakai sendiri (own-use) dan tidak untuk dijual ke PLN (berstatus non-IPP). Pelanggan juga perlu diizinkan untuk beroperasi paralel dengan PLN (grid connected) agar kontinuitas pasokan listrik terjaga dan ekonomis (tidak perlu pasang baterai), dengan menerapkan skema net-metering. Dalam paparannya, Nur Pamudji menyebutkan beberapa rekomendasi lain bagi pemerintah dan PLN untuk mendorong penggunaan listrik surya atap, di antaranya kelonggaran menyewa pembangkit listrik solar PV, perlunya power wheeling, dan skema insentif yang lebih menarik untuk kapasitas pemasangan yang berbeda.

Hendra Iswahyudi selaku Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan DJK KESDM memberikan papan terkait aspek teknis sistem ketenagalistrikan. Paradigma yang dipegang oleh negara adalah keadilan dan pemerataan dalam pemanfaatan energi, termasuk bagaimana tarif listrik tetap dapat terjangkau oleh masyarakat. Pemerintah juga tidak menutup mata terhadap perkembangan teknologi yang semakin cepat, di mana masyarakat mulai memiliki kebebasan untuk memenuhi kebutuhan listriknya sendiri (producer-consumer/prosumer). Regulasi listrik surya atap yang ada saat ini dan digunakan oleh pemerintah dan PLN adalah Keputusan Direksi PLN No. 0733.K/DIR/2013. Dengan adanya Permen ESDM No.1/2017 mengenai operasi paralel pembangkit listrik,  Hendra memaparkan bahwa PLN masih mengusulkan adanya batasan 30 kWp untuk listrik surya atap. Banyak corporate buyers/industri yang keberatan dengan peraturan ini, sehingga diusahakan adanya peraturan yang lebih mendukung. Hendar menambahkan perlunya komitmen PLN sebagai operator untuk mengembangkan energi terbarukan dengan mengedepankan pemetaan potensi, sinergi sistem dengan tenaga intermittent,  dan pengembangan jaringan pintar.

Dilihat dari kebijakan energi terbarukan, Martha Relita sebagai perwakilan dari DJEBTKE (KESDM) mengungkapkan bahwa pemerintah juga mengharapkan usulan dari pelaku pasar dan pengguna di lapangan untuk revisi atau pembuatan kebijakan yang mendukung listrik surya atap. Martha menyoroti juga perlunya menjaga kualitas dan standar, di mana AESI dapat berperan untuk penyusunan regulasi standar dan teknis. Roadmap yang direncanakan pemerintah untuk pengembangan tenaga surya mencakup peningkatan kualitas komponen dan produk, penguatan standar SNI, insentif fiskal, penguatan jaringan PLN, dan dorongan pada industri untuk berkontribusi lebih besar.

Perspektif penyedia layanan ketenagalistrikan disampaikan oleh Budi Mulyono, Manajer Senior di Divisi EBT, PLN. Menurut catatan PLN, saat ini terdapat 246 pelanggan listrik solar PV yang diprediksi akan terus bertambah dari pelanggan sektor bisnis dan industri. Kebijakan PLN dalam mendukung perkembangan listrik surya atap mencakup pemberian fasilitas free parallel fee hingga kapasitas 30 kWp, adanya sistem billing yang mengakomodir offset ekspor impor dan memberikan ruang penyimpanan kredit kWh dari listrik surya atap milik pelanggan, penyiapan reserve margin yang cukup dan dan jenis yang sesuai guna menyesuaikan tenaga intermittent dari surya, pemastian kehandalan dan kualitas listrik untuk pelanggan listrik surya atap beserta sekitarnya dengan menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan setempat, serta penyusunan skema bisnis yang fair antara pelanggan dan PLN. Memang diakui bahwa beberapa tantangan masih dihadapi oleh PLN berkaitan dengan penggunaan listrik tenaga surya, di antaranya: listrik surya atap yang mengelompok akan mempengaruhi keseimbangan beban trafo yang melayani cluster tersebut, jaringan menjadai kurang stabil, perlunya sistem islanding untuk keamanan petugas dan lingkungan, juga pentingnya mempertimbangkan kapasitas listrik tenaga surya dari sisi hilir yang saat ini belum masuk dalam rendana kehandalan dan kestabilan jaringan PLN setempat.

Dengan pendapat dan perspektif yang muncul dalam diskusi ini, IESR dan AESI akan menindaklanjuti rekomendasi yang perlu disampaikan pada pemerintah dan penyediaan layanan ketenagalistrikan guna mendorong penggunaan dan pengembangan listrik surya atap di Indonesia yang mempertimbangkan beragam aspek, tidak hanya dari pengguna saja melainkan juga untuk keberlanjutan bisnis dan operasional PLN.

Diskusi ini ditutup dengan buka puasa bersama.