Harga Terbaru BBM Non-Subsidi Juli 2018, Pertamax Naik Rp600

Jakarta-tirto.id – PT Pertamina (Persero) kembali merilis harga baru jenis bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi yang berlaku mulai Minggu, 1 Juli 2018 hari ini. Jenis BBM yang mengalami kenaikan harga salah satunya Pertamax.

Berdasarkan daftar harga terbaru yang dirilis Pertamina, harga Pertamax di wilayah Pulau Jawa dan Bali yang sebelumnya Rp8.900 per liter naik Rp600 menjadi Rp9.500 per liternya. Harga Pertamax Rp9.500 per liter juga ditetapkan untuk wilayah NTB, NTT, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu. Sementara untuk Provinsi Riau, Pertamax naik menjadi Rp9.900 per liter.

Ada pun di Provinsi Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Maluku, Papua dan Papua Barat, Pertamax menjadi seharga Rp9.700 per liter.

Harga Pertamax Turbo di Provinsi Jakarta, Banten, Jabar juga mengalami kenaikan menjadi Rp10.100 per liter. Sementara itu, di wilayah Jateng, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali Pertamax Turbo menjadi seharga Rp11.150 per liter.

Informasi mengenai daftar harga terbaru BBM non-subsidi per 1 Juli 2018 ini dapat dilihat melalui laman resmi Pertamina. Selain Pertamax dan Pertamax Turbo, harga BBM jenis Dexlite dan Pertamina Dex serta solar dan minyak tanah non-subsidi juga mengalami perubahan di beberapa wilayah.

Kenaikan harga BBM non-subsidi ini telah diprediksi akan berpeluang terjadi kembali. Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa pada Februari lalu mengatakan kondisi tersebut dipengaruhi cadangan minyak di pasar yang semakin menipis.

“Kalau OPEC [Organization of the Petroleum Exporting Countries/Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi] enggak menaikkan produksinya, maka saya kira harganya bisa bergerak naik, karena OPEC mematok produksi minyaknya enggak naik,” ujar Fabby kepada Tirto.

OPEC sepakat memotong pasokannya sebesar 1,8 juta barel per hari guna mendorong harga minyak negara-negara produsen. Kesepakatan tersebut berlaku hanya hingga Maret 2018. Desember tahun lalu, OPEC sepakat memperpanjang pemangkasan produksi minyak hingga akhir 2018. Seiring keputusan tersebut, harga minyak dunia pun bakal ikut terpengaruh.

Sumber: Tirto.id

Pemerintah Didesak Terbitkan Regulasi Listrik Surya Atap

Jakarta-Petrominer– Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) terus mendorong pengembangan energi surya di Indonesia. Upaya ini disebutnya sejalan dengan target capian energi baru terbarukan (EBT) yang dicanangkan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) sebesar 23 persen pada tahun 2025.

“Pencapaian target pengembangan energi surya akan mendorong pengembangan EBT di Indonesia. Saat ini, energi surya baru tercapai 900 megawatt (MW), sedangkan targetnya dalam delapan tahun ke depan sebesar 6,5 gigawatt (GW),” ujar Ketua Dewan Pakar AESI, Nur Pamudji, dalam sebuah diskusi bertajuk Memanen Potensi Listrik Surya Atap Untuk Mencapai Target EBT, Sabtu (29/6).

Menurut Nur Pamudji, target energi surya sebesar 6,5 GW dapat tercapai dengan cara menggenjot pengembangan listrik surya atap (solar rooftop). Pembangunan listrik surya atap dapat dilakukan di rumah pribadi, gedung pemerintah, gedung komersil, rumah ibadah, atap pabrik, kawasan industri serta fasilitas publik lainnya.

“Ini sejalan dengan apa yang dicanangkan dalam Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap dengan mendorong pemanfaatan teknologi surya mencapai kapasitas terpasang 1 GW pada tahun 2020,” paparnya.

Tak hanya itu, saat ini terdapat gerakan global oleh perusahaan-perusahaan multinasional termasuk yang memiliki investasi di Indonesia untuk berkomitmen menggunakan listrik dari sumber energi terbarukan mencapai 100 persen yang dinamakan RE100.

Nur Pamudji menambahkan, dengan memanfaatkan energi surya atap merupakan salah satu cara bagi perusahaan-perusahaan tersebut untuk memenuhi komitmen dan target mereka karena dapat langsung dipasang di atap fasilitas produksi, atap rumah, atap gedung di mana sebagai tempat bekerja. Namun untuk mendorong terbangunnya secara masif, surya atap di Indonesia perlu regulasi untuk memudahkan pelanggan memasang energi surya atap tersebut tanpa harus membebani anggaran pemerintah maupun PLN.

“Untuk memasang energi surya atap ini pada dasarnya cukup mudah. Hanya perlu regulasi atau izin yang memudahkan pelanggan,” katanya.

Hal senda juga disampaikan Direktur Institute For Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa. Fabby menyarankan agar Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) segera merumuskan regulasi yang mendorong pemanfaatan teknologi listrik surya atap secara ekonomis.

“Adanya regulasi yang memadai dapat mendorong perkembangan pasar teknologi photovoltaic di Indonesia, yang pada akhirnya dapat menurunkan biaya teknologi dan investasi, serta membuka lapangan kerja,” paparnya.

Fabby menilai, pemerintah wajib mendorong pengembangan energi surya atap. Kementerian sebaiknya segera merumuskan regulasi guna mendorong perkembangan pasar teknologi energi listrik surya atap (photovoltaic) di Indonesia. Adanya regulasi yang mudah dapat menurunkan biaya teknologi investasi serta membuka lapangan kerja.

“Seperti kita lihat di banyak negara pengembangan energi surya di dorong sangat masif karena lebih murah dibandingkan dari batubara. Dengan investasi yang rendah maka dapat menurunkan biaya pembangkit listrik,” kata Fabby.

Dia menjelaskan, potensi potensi energi surya atap sangat besat di Indonesia. Berdasarkan laporam IRENA pada 2017 lalu potensi tenaga surya di Indonesia mencapai 3,1 GW per tahun di mana, sekitar 1 GW merupapakan potensi listrik surya atap dan 2,1 GW untuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).

Namun sayangnya, belum ada regulasi yang memadai untuk mendorong pengembangan listrik surya atap. Bahkan Permen ESDM No 1/2017 justru menghambat pemanfaatan teknologi listrik surya atap khususnya untuk bangunan komersil dan industri serta fasilitas publik. Regulasi tersebut secara tidak langsung menghambat pemilik gedung dan pabrik serta kawasan industri memasang PLTS di atap bangunan karena secara ekonomi lebih mahal dengan adanya ketentuan membayar kapasitas kepada PLN.

“Padahal berdastkan potensi ini target PLTS dan surya atap dapat tercapai dengan cepat jika di dukung dengan regulasinyang memadai,” jelas Fabby.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum AESI, Andhika Prastawa, memaparkan bahwa solusi listrik surya atap juga menjadi bagian dari upaya mewujudkan konservasi energi di Indonesia. Pengembangan energi listrik surya atap dapat mengurangi penggunaan energi fosil sebagaimana telah dijanjikan oleh Presiden Joko Widodo di COP 23 Paris pada tahun 2025 untuk mengurangi emisi gas rumah kaca khususnya CO2 sebesar 29 persen pada tahun 2030.

Dengan demikian, jelas Andhika, perlu adanya dorongan dan regulasin yang memudahkan baik dari pemerintah pusat hingga ke daerah.

“Regulasi yang mudah dan tidak berbelit dapat mendorong animo tinggi masyarakat memasang energi surya atap. Saat ini jumlah listrik surya atap yang tersambung dengan jaringan PLN lebih dari dua kali lipat dalm enam bulan terakhir. Tren tersebut dapat dilihat melalui pemasangan listrik surya atap di gedung perkantoran, bangunan komersial serta perumahan yang dikembangkan developer,” katanya.

Sumber: Petrominer.com