Kapasitas PLTS Indonesia Masih Minim

Jakarta, Kompas.id — Kapasitas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Indonesia masih minim. Hal itu terlihat dari kapasitasnya yang baru mencapai 90 megawatt-peak (MWp), sedangkan target pemerintah 6,5 gigawatt-peak (GWp) pada 2025.

Pemerintah diminta untuk segera membuat peraturan turunan yang menjamin dan mendorong pengembangan listrik surya di atap bangunan pribadi, pemerintahan, industri, serta fasilitas publik lainnya.

Data dari Institute for Essential Service Reform (IESR) per semester pertama tahun 2018 menyebutkan, kapasitas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Indonesia baru mencapai 90 MWp. Padahal, potensi kapasitas yang dimiliki PLTS adalah 560 GWp.

Direktur IESR Fabby Tumiwa dalam diskusi “Memanen Potensi Listrik Surya Atap untuk Pencapaian Target Energi Terbarukan” yang digelar oleh IESR dan Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), di Jakarta, Minggu (1/7/2018), mengatakan, kapasitas tersebut tergolong sangat kecil dibandingkan dengan kapasitas dari negara anggota ASEAN lainnya.

”Indonesia tertinggal jika dibandingkan dengan Singapura yang telah mencapai 130 MWp dan Malaysia 375 MWp. Kapasitas PLTS Thailand bahkan telah mencapai 2.700 MWp dari target 6 GWp pada 2030,” tutur Fabby.

Grafis kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga panas bumi di Indonesia sejak 2014-2017 dan rencana pengembangan di 2018.

Jika dibandingkan secara global, pembangunan PLTS Indonesia tidak mengikuti tren global yang cenderung naik dua kali lipat selama tujuh tahun terakhir di sejumlah negara. Padahal, potensi surya di Indonesia bisa lebih maksimal dibandingkan negara lain karena variasi musim Tanah Air lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara, seperti India dan Afrika Selatan.

Dalam Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) juga disebutkan, terdapat kewajiban agar bangunan pemerintah memasang panel surya minimal 30 persen dari luar atap yang dimiliki. Selain itu, bangunan rumah mewah, kompleks perumahan, dan apartemen wajib memasang panel surya minimal 25 persen dari luas atap yang dimiliki.

”Saya takut perpres itu terlupakan. Perpres telah diterbitkan tahun lalu, tetapi sampai sekarang belum ada yang melaksanakannya,” ujar Ketua Dewan Pakar AESI Nur Pamudji.

KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Suasana diskusi ”Memanen Potensi Listrik Surya Atap untuk Pencapaian Target Energi Terbarukan” oleh Institute for Essential Service Reform (IESR) dan Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), di Jakarta, Minggu (1/7/2018),

Pemerintah perlu beranjak dari paradigma bahwa pembangunan PLTS selalu diasosiasikan dengan program pemerintah untuk daerah tertinggal. ”Kalau hanya mengandalkan program itu, perkembangan akan lambat. Masyarakat banyak yang ingin ikut pasang panel surya,” ujarnya.

KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Ketua Dewan Pakar Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Nur Pamudji

Dengan adanya inisiatif dari masyarakat, pemerintah diminta untuk menjamin keamanan pemasangan panel surya di kediaman pribadi setiap pemilik. Saat ini, aturan terkait pemasangan panel surya secara mandiri dinyatakan belum ada.

Chairman Indonesia Rooftop PV Association Yohanes Bambang Sumaryo menambahkan, semakin banyak warga yang tertarik untuk memasang panel surya kendati harganya masih tergolong tinggi. Ia mencontohkan, dibutuhkan dana Rp 15 juta-Rp 20 juta untuk memasang panel surya dengan kapasitas 1 kilowatt-peak (KWp) atau 1000 watt-peak (Wp).

Jumlah kebutuhan kapasitas setiap rumah berbeda-beda. Namun, menurut Yohanes, instalasi panel surya merupakan investasi jangka panjang karena panel surya dapat digunakan hingga 25 tahun.

Ketua Umum AESI Andhika Prastawa mengatakan, pembangunan PLTS lebih mahal secara nilai ekonomis jika dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Kendati demikian, PLTS, baik secara pemasangan panel di atap bangunan maupun di atas lahan (ground mounted solar) dinilai lebih dapat membantu kebutuhan masyarakat dalam jumlah kecil, efisien secara luas lahan, dan tersedia dalam jangka waktu yang cepat.

Pada September 2017, Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, AESI, IESR, dan beberapa organisasi lainnya telah meluncurkan Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap dengan kapasitas terpasang 1 GW pada 2020. ”Kami bertekad untuk membantu agar seperenam dari target nasional tercapai,” kata Andhika.

Kebijakan Energi Nasional (KEN) Indonesia menargetkan peningkatan energi terbarukan dari 5 persen di tahun 2015 menjadi 23 persen tahun 2025. Dengan demikian, kapasitas pembangkit listrik dari energi terbarukan menjadi sebesar 45 GW atau diperlukan tambahan kapasitas 36 GW dari kapasitas pembangkit listrik yang ada saat ini.

Sumber: Kompas.id

 

Asosiasi Energi Surya Bidik 1.000 Rumah Dipasang Solar Rooftoop

Jakarta-Tempo.co – Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) bekerja sama dengan Real Estate Indonesia (REI) untuk memasang energi surya atap (solar rooftoop) saat membangun rumah. Ketua Umum AESI, Andhika Prastawa mengatakan nantinya anggota REI bisa menjual rumah beserta dengan modul panel surya yang telah terpasang.

“Target kami dalam pembicaraan awal bakal ada sekitar 1.000 rumah pertama yang akan dipasang photovoltaic di atapnya dengan total kapasitas 500 sampai 1000 watt (1 kilo watt),” kata Andhika saat ditemui usai memandu diskusi bertajuk “Memanen Potensi Listrik Surya Atap untuk Pencapaian Target Energi Terbarukan” di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Ahad, 1 Juli 2018.

Meskipun demikian kata Andhika, belum semua anggota REI bersedia membangun rumah berserta panel surya. Sebab, belum ada peraturan yang mendorong hal ini.

Hasilnya, kata Andhika, target tersebut masih terkendala dengan masih belum adanya aturan yang jelas dari pemerintah mengenai pemasangan energi surya atap. Terutama mengenai penyambungan hasil energi yang dihasilkan kepada jaringan milik perusahaan listrik negara (PLN).

“Karena kalau ada sesuatu mau nyambung ke PLN tidak ada izinnya atau tidak jelas mereka pasti tolak karena khawatir takut disalahkan,” kata Andhika.

Adapun aturan pemasangan energi surya atap saat ini hanya berdasarkan aturan yang telah dikeluarkan direksi PLN. Karena itu, Andhika berkeliling ke daerah-daerah bersama dengan PLN mensosialisasikan hal ini.

Direktur Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan potensi energi yang dihasilkan lewat pemasangan solar rooftop di Indonesia mencapai 3,2 sampai 4,2 kwh/kwp per hari. Menurut dia, jumlah ini jika dikalikan dalam kurun satu tahun dinilai cukup besar.

Selain itu data dari The International Renewable Energy Agency (IRENA) menunjukkan pemasangan solar rooftop memiliki potensi hingga 1 giga watts (GW) dari total 3,1 potensi energi surya. Namun, saat ini data dari Kementerian ESDM menunjukkan pemasangan solar rooftoop baru mencapai 90 mega watts (MW) hingga awal 2018.

“Jumlah ini tentu kecil jika dibandingkan dengan apa yang sekarang telah dicapai oleh Singapura, Malaysia maupun Thailand,” kata Fabby dalam acara yang sama.

Fabby mengatakan jika solar rooftop dilakukan juga bakal membantu pencapaian target peningkatan energi terbarukan yang dipatok pemerintah sebesar 23 persen pada 2025. Adapun jumlah bangunan rumah yang menggunakan pembangkit listrik ini telah meningkat dari 200 pada 2017 menjadi 400 unit hingga awal tahun 2018.

Sumber: Tempo.co

Media Briefing: Mendorong Regulasi Listrik Surya Atap Untuk Pencapaian Target Energi Terbarukan

 

Pemerintah melalui Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) telah mentargetkan pencapaian target energi terbarukan sebesar 23% di tahun 2025 atau setara dengan kapasitas pembangkit listrik sebesar 45 Gigawatt (GW), 6,4 GW diantaranya berasal dari pembangkit listrik tenaga surya.

Laporan IRENA (2017) menyebutkan Indonesia adalah negara yang memiliki potensi energi surya yang cukup besar yakni 3,1 GW per tahun, dimana 1 GW adalah potensi untuk listrik surya atap (solar rooftop) dan 2,1 GW untuk listrik di atas tanah.

Dalam acara media briefing “Memanen Potensi Listrik Surya Atap untuk Pencapaian Target Energi Terbarukan” yang berlangsung di Jakarta, Minggu (1/7), Dr Andhika Prastawa Ketua Asosiasi Energi Surya (AESI) menjelaskan, target 6,4 GW dapat terpenuhi melalui pengembangan listrik surya atap (solar rooftop) dengan memanfaatkan atap bangunan seperti rumah pribadi, gedung perkantoran, rumah ibadah dan fasilitas umum lainnya.

“Namun pemerintah perlu menyiapkan perangkat kebijakannya sehingga memberikan kepastian hukum bagi para pengguna atau penyedia jasanya. Dengan adanya regulasi ini, selain mendorong pencapaian target energi terbarukan, juga akan mendorong terbukanya peluang pasar dan industri di dalam negeri serta lapangan kerja yang luas.” ujar Andhika.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menambahkan penggunaan energi terbarukan telah menjadi trend yang berkembang pesat di seluruh dunia.

Laporan Renewable Energy Global (2018) memperlihatkan kapasitas listrik dari energi terbarukan, seperti sinar matahari, air, angin, panas bumi dan gelombang laut telah mencapai 2200 GW atau sekitar 15% dari total kapasitas pembangkit listrik secara global. Energi surya sendiri tumbuh sangat pesat dan mulai mendominasi, bersaing dengan pembangkit listrik dari tenaga angin.

Namun sayangnya, meski memiliki potensi energi surya yang cukup dan stabil, Indonesia belum mampu mengikuti perkembangan ini. Bahkan Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara tetangga di kawasan ASEAN.  Kapasitas pembangkit listrik energi surya di Thailand tahun 2018 sudah mencapai 2700 MW, diikuti Filipina sebesar 885 MW dan Malaysia 2700 MW.

“Bahkan negara kota seperti Singapura telah mencapai 100 MW di tahun 2017, sementara kapasitas pembangkit di Indonesia yang baru mencapai 90 MW. Di Malaysia meski baru dimulai tahun 2012, pemerintah telah menyiapakan sejumlah kebijakan yang mendorong pengembangan listrik surya seperti, seperti sistem net-mettering, insentif berupa feed-in tariff dan insentif bagi industri listrik surya atap.” jelas Fabby.

Usulan Regulasi Listrik Surya Atap

Ketua Dewan Pakar AESI Nur Pamudji menjelaskan saat ini belum ada regulasi yang cukup memadai untuk mendorong pengembangan listrik surya atap. .

Regulasi tersebut baru mengatur untuk pelanggan dengan kapasitas di bawah 30 kVA melalui Peraturan Direktur PLN No. 0733/2017 tentang pemanfaatan listrik surya atap dengan menggunakan sistem net-mettering bagi pelanggan PLN dan belum menggunakan sistem jual-beli harga listrik yang seimbang.

Sedangkan untuk kapasitas 30 kVA atau bagi pelanggan komersil, justru mengalami hambatan karena adanya Permen ESDM No. 1/2017 dimana Operasi Pararel Pembangkit Listrik dengan jaringan PLN dengan sistem pembangkit lebih dari 25 kVA harus membayar biaya kapasitas.

“Listrik energi surya adalah sumber energi bersih dan banyak pihak yang bersedia untuk mengembangkannya dana dukungan dana APBN. Pemerintah seharusnya mendukung dan memberi kemudahan melalui perangkat regulasinya sehingga pengguna dan penyedia penyedia listrik surya atap dapat mengupayakan energi bersih ini secara maksimal.”ujar Pamudji.

Dalam regulasi tersebut perlu diatus agar pelanggan PLN diperbolehkan untuk menggunakan listrik surya atap untuk keperluan pribadi (bukan IPP), dimana operasinya bisa dilakukan secara pararel dengan jaringan PLN. Para pelanggan juga diberikan kelonggaran untuk menyewa pembangkit listrik dari provider dengan perizinan sederhana, serta untuk kapasitas yang besar (misalnya diatas 1 MW) bisa diletakan di tempat lain dengan menggunakan sistem power wheeling.

Sistem power wheeling ini, menurut Pamudji menjadi penting, karena di tingkat global saat ini terdapat  gerakan bernama RE100 dimana perusahaan-perusahaan multinasional, termasuk yang memiliki investasi di Indonesia berkomitmen menggunakan listrik dari sumber energi terbarukan.

Melalui sistem power wheeling ini, perusahaan Micosoft kini telah membeli listrik sebesar 60 MW dari Singapura.

Pada September 2017, AESI, PPLSA, IESR, Bersama dengan Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian dan berbagai organisasi lainnya meluncurkan Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap, dengan tujuan mendorong pemanfaatan teknologi surya atap sehingga dapat mencapai kapasitas terpasang satu gigawatt (GW) pada 2020.