Indonesia Clean Energy Forum (ICEF): Mendorong Transformasi Sektor Ketenagalistrikan di Indonesia Menjadi Lebih Bersih dan Berkelanjutan

Institute for Essential Services Reform (IESR), meluncurkan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) yang diharapkan dapat mendorong transformasi sektor energi, khususnya sektor ketenagalistrikan di Indonesia menuju sistem energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.

Pada 2015, Indonesia berkomitmen mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% dari business as usual (BAU) di tahun 2030, dan meratifikasi Paris Agreement pada 2016. Untuk mencapai target ini, salah satu upayanya melalui pemanfaatan energi terbarukan yang lebih besar di sektor kelistrikan, dan mengurangi pembakaran batubara.

Melalui Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemerintah telah menetapkan target untuk meningkatkan bauran energi terbarukan dari 7% saat ini menjadi 23% di tahun 2025 dan 2030, yang setara dengan 45 GW kapasitas pembangkit energi terbarukan. Sejauh ini perkembangan energi terbarukan masih terbilang lambat, dengan kapasitas terpasang saat ini baru sebesar 9 GW atau 14% dari total kapasitas terpasang pembangkit listrik, dan baru 20% dari total kapasitas yang menjadi target RUEN.

Sementara itu, penyediaan tenaga listrik di seluruh dunia sedang mengalami transformasi yang besar, dengan semakin terjangkau dan kompetitifnya harga listrik dari variable renewable energy (VRE) seperti angin dan surya dibandingkan dengan listrik dari pembangkit fosil, semakin berkembangnya teknologi pembangkit terdistribusi, dan transformasi digital di sektor kelistrikan melahirkan trend 4D: dekarbonisasi, desentralisasi dan digitalisasi serta demokratisasi sistem penyediaan listrik. Kecenderungan ini dapat menjadi faktor disruptif bagi sistem kelistrikan saat ini di Indonesia yang masih bersifat monopolistik, tersentralisasi, dan mengandalkan pembangkit berbahan bakar fosil. Potensi disrupsi tersebut dapat menyebabkan terjadinya aset-aset terdampar (stranded assets) dari infrastruktur pembangkit dan transmisi serta distribusi (T&D) yang dibangun saat ini dan di masa depan, yang membawa konsekuensi sosial, ekonomi dan finansial.

Mencermati perkembangan yang terjadi, sejak 2017 lalu, Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama dengan Prof. Kuntoro Mangkusubroto, yang pernah menjabat sebagai menteri di sejumlah kabinet dan menjadi pendiri dan Ketua Dewan Sekolah SBM ITB, menginisiasi terbentuknya Indonesia Clean Energy Forum (ICEF).

ICEF merupakan forum multi-pihak yang beranggotakan sekitar 25 orang yang merupakan eminent person di sektor energi di Indonesia dari latar belakang birokrat, akademisi, pebisnis, pimpinan BUMN energi, dan organisasi non-pemerintah. ICEF diperkenalkan untuk pertama kalinya kepada publik di hari ini. Prof. Kuntoro Mangkusubroto menjadi Ketua Dewan Pengarah (Advisory Council), adapun IESR didapuk menjadi sekretariat ICEF.

ICEF dimaksudkan sebagai wadah untuk berbagi dan tukar menukar gagasan yang objektif dan inovatif tentang transformasi sektor kelistrikan, dan tindakan adaptasi untuk menghadapi potensi disrupsi yang akan terjadi di masa depan. Gagasan dan pendekatan yang dibahas dalam forum ini diharapkan dapat mendukung para pengambil kebijakan dalam menyusun kebijakan dan kerangka regulasi yang memadai, serta menyusun strategi sektor kelistrikan yang berkembang seiring dengan perubahan teknologi yang cepat sehingga dapat mengakselerasi pemanfaatan energi terbarukan dan menghindari risiko stranded asset di masa depan. Isu-isu yang dibahas di ICEF berdasarkan pada hasil penelitian dan analisa data yang kokoh, yang dilakukan oleh IESR, maupun mitra-mitra pengetahuan lainnya.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menjelaskan melalui proses yang terjadi di dalam ICEF, para anggotanya yang memiliki pengaruh dan peran dalam hal perencanaan dan proses penyusunan kebijakan, investasi, dan strategi korporasi diharapkan dapat mengimplementasikan gagasan-gagasan dan rekomendasi yang relevan. Mereka juga diharapkan dapat menjadi katalisator terhadap persemaian gagasan transisi atau transformasi energi di Indonesia.

Peluncuran ICEF direncanakan pada November 2018, dimana pada saat tersebut juga akan dilakukan simposium yang membahas isu-isu mutakhir terkait dengan trend 4D yang terjadi di sektor energi, implikasi terhadap kebijakan, regulasi dan program di tingkat sektoral, dan praktek-praktek terbaik dari sejumlah negara yang relevan dengan situasi Indonesia.

###

Nara hubung

Jannata Giwangkara (Egi)

egi@iesr.or.id

0812 8487 3488

 

Dorong Bauran Energi Terbarukan, IESR Inisiasi Indonesia Clean Energy Forum

Jakarta.Tempo.co – Institute for Essential Services Reform atau IESR menginisiasi agenda Indonesia Clean Energi Forum (ICEF). Ketua Dewan Pengarah ICEF, Kuntoro Mangkusubroto mengatakan agenda ini ditujukan untuk mendorong transformasi di sektor energi, khususnya di sektor ketenagalistrikan menuju energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. 

“Secara sederhana, forum ini diharapkan menjadi wadah untuk bertukar gagasan yang berbasis data dan fakta untuk mendorong transformasi energi ketenagalistrikan,” kata Kuntoro saat memberikan penjelasannya di Double Tree Hotel, Cikini, Jakarta Pusat, Selasa, 31 Juli 2018.

ICEF nantinya bakal menjadi forum multi pihak yang beranggotakan 25 orang berpengaruh di sektor energi dari berbagai latar belakang. Misalnya, birokrat, akademisi, pebisnis, pimpinan BUMN energi dan organisasi non pemerintah. Diharapkan nantinya para anggota bisa berperan dalam perencanaan dan penyusunan kebijakan, investasi, dan strategi korporasi yang sesuai dengan transformasi energi.

Adapun saat ini, perkembangan energi terbarukan masih terbilang lambat. Saat ini kapasitas terpasang baru mencapai 9 giga watt atau GW atau 14 persen dari total kapasitas terpasang atau 20 persen dari total target 45 GW. Target ini masih rendah jika dibandingkan dengan India misalnya yang sudah memiliki target hingga 175 GW dan Cina 680 GW.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menjelaskan saat ini di dunia telah mengalami perubahan signifikan dengan semakin terjangkau dan kompetitifnya harga listrik. Ditambah lagi dengan semakin banyaknya sumber energi terbarukan memunculkan tren baru dalam energi yakni dekarbonisasi, desentralisasi, digitalisasi dan demokratisasi sistem penyediaan listrik.

Kondisi ini, kata Fabby, tentu bisa menyebabkan disrupsi bagi sistem kelistrikan Indonesia yang masih monopolistik, tersentralisasi dan mengandalkan bahan bakar fosil. Potensi ini ke depan bisa memincu terjadinya aset terdampar atau tak terpakai dari infrastruktur pembangkit dan transmisi yang saat ini tengah dibangun.

“Konsekuensinya bakal bisa merugikan baik secara sosial, ekonomi dan juga finansial,” kata Fabby.

Ia khawatir jika tak segera dikejar, banyak perusahaan yang bakal memindahkan investasinya ke negara lain. Terutama perusahaan internasional yang membutuhkan sumber energi terbarukan bagi pabriknya.

Menurut Fabby, salah satu yang belum dimiliki Indonesia adalah kebijakan yang konsisten untuk mendukung terciptanya sistem energi terbarukan. Artinya, dalam kebijakan energi terbarukan memerlukan kebijakan turunan dari berbagai kementerian yang berkaitan.”Indonesia kurang leadership atau konsisten untuk menjaga konsistensi kebijakan yang tidak berubah siapa pun pemimpinnya,” ujar dia.

Sumber Tempo.co