Ini yang dilakukan India untuk membangun Program Nasional Listrik Surya Atap, Indonesia bisa menirunya juga

 

Pada akhir Agustus lalu, tarif listrik surya atap di India membuat rekor baru. Hasil lelang rooftop solar pv yang dilakukan oleh Madhya Pradesh Urja Vikas Nigam Limited (MPUVN), sebuah badan usaha milik pemerintah negara bagian Madhya Pradesh untuk melakukan berbagai program pengembangan dan implementasi energi terbarukan milik pemerintah negara bagian dan federal (nasional), memberikan penawaran terendah sebesar Rs. 1,58/kWh ($0,022/kwh) untuk kapasitas 2,2 MWp. Penawaran terendah ini dibuat oleh perusahaan multinasional, Amp Solar India, yang menjadi salah satu pemenang.

Pelelangan (auction) yang dilakukan oleh MPUVN Ltd ini adalah program negara bagian untuk instalasi rooftop solar PV di gedung-gedung pemerintah dan swasta dengan kapasitas total 35 MWp, diikuti oleh 31 peserta. Perangkat listrik surya atap dipasang di 643 fasilitas pemerintah, polisi, kampus, dan entitas swasta yang ada di negara bagian Madhya Pradesh. Proyek ini menggunakan skema Renewable Energy Service Company (RESCO), dimana perusahaan yang memenangkan tender melakukan perancangan, instalasi, operasi dan perawatan rooftop solar PV, dan konsumen membayar listrik yang diproduksi.

Perusahaan Amp Solar kebagian memasang di 10 lokasi milik Power Grid Corporation, BUMN India di bidang transmisi listrik. Pemenang lainnya adalah Azure Power yang menawar Rs. 2,2/kWh ($0,031/kWh) untuk memasang 5,4 MWp di 291 kampus. Sedangkan yang tertinggi adalah Renew Solar Energy dengan penawaran Rs. 4,12/kWh  ($ 0,058/kWh), dengan kapasitas 500 kWp. Tarif yang ditawarkan tidak statis tetapi ada kenaikan 3% selama masa kontrak 25 tahun.   

Sebelumnya, tarif terendah untuk rooftop solar PV dengan skema RESCO dibuat oleh Mundra Solar sebesar Rs. 2,2/kWh ($0,034/kwh) pada lelang yang dilakukan oleh SECI tahun lalu. India memiliki target ambisius untuk mencapai 100 GW kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), 60 GW dari PLTS yang terpasang di atas tanah (ground mounted) dan 40 GW dari surya atap (rooftop PV).

Sepanjang 2017 lalu, berbagai instansi pemerintah di tingkat nasional (federal) dan negara bagian (state) telah melakukan tender mencapai 10 GW dan lelang hingga 6 GW untuk listrik surya. Sebagian dari itu merupakan program pemerintah India untuk mendorong instalasi perangkat listrik surya, termasuk rooftop solar pv oleh perusahaan milik negara (central public sector undertaking atau CPSU). Target program ini ditingkatkan menjadi 12 GW, yang dibarengi dengan program penguatan industri manufaktur sel dan modul surya domestik yang dimulai awal 2018.

Pemerintah negara bagian juga aktif membuat program listrik surya atap untuk rumah tangga dengan skema RESCO dengan tujuan meningkatkan permintaan sehingga dapat menurunkan biaya modal. Pada 2018, pemerintah Delhi meluncurkan Solar Rooftop Demand Aggregation Program dengan total permintaan mencapai 40 MW. Pemerintah Delhi mentargetkan 1000 MW instalasi pada 2020 dan 2000 MW pada 2025 melalui program ini.

Pada Maret 2017, Kementerian Energi Baru dan Terbarukan India mengeluarkan biaya patokan sistem (benchmark cost) untuk perangkat solar rooftop dan PLTS skala kecil hingga 500 kWp yang tersambung dengan jaringan (grid connected). Patokan biaya sebesar Rs. 70/Wp ($1/Wp) untuk kapasitas dibawah 10 MWp, Rs. 65/Wp ($0,9/Wp) untuk kapasitas 10 – 100 kWp, dan Rs. 60/Wp ($0,85/Wp) untuk kapasitas 100 – 500 kWp. Walaupun patokan biaya ini berlaku sampai dengan 2018, hasil terbaru menunjukkan biaya dari proyek rooftop solar pv sudah lebih rendah dari itu.

Salah satu kunci keberhasilan India dalam mengembangkan energi surya adalah konsistensi kebijakan, regulasi dan program pemerintah sejak 2000-an, terutama setelah tahun 2009 melalui berbagai program nasional dan negara bagian untuk mengembangkan grid connected and off-grid solar. Sebelum 2010, kapasitas terpasang solar di India belum mencapai 10 MW, tapi lewat program Jawaharlal Nehru Solar Mission Program (JNNSM) pada 2012 kapasitas terpasang surya mencapai 1GW.

Konsistensi di sisi kebijakan, regulasi dan program didorong juga oleh penurunan harga modul surya dan komponen balance of system (BOS) secara global dalam 10 tahun terakhir membuat India berhasil membuat harga listrik surya menjadi sangat rendah dan kompetitif terhadap listrik dari PLTU batubara.  Sebagai perbandingan pada 2009, harga listrik surya dipatok Rs. 18,44/kWh (sekitar $ 0,35/kWh dengan nilai tukar waktu itu).

Salah satu regulasi yang berhasil meningkatkan permintaan terhadap teknologi surya adalah Renewable Portfolio Obligation (RPO) yang mengharuskan porsi tertentu dari bauran listrik yang dibangkitkan berasal dari pembangkit energi terbarukan di setiap negara bagian. RPO ini juga secara khusus untuk listrik dari tenaga surya. Dengan adanya kebijakan ini maka perusahaan distribusi tenaga listrik diharuskan oleh regulator kelistrikan di masing-masing negara bagian untuk membeli listrik dari surya (dan pembangkit energi terbarukan lainnya) dan memfasilitasi instalasi listrik surya atap oleh konsumen di wilayah distribusinya, dengan menyediakan sumber daya manusia untuk melakukan kajian, instalasi dan monitoring. Ketentuan RPO juga berlaku untuk konsumen listrik besar.

Kesimpulan dari pengalaman India mengembangkan solar pv adalah kemampuan pemerintah menerjemahkan target dalam berbagai program dan skema solar pv di tingkat negara bagian dan federal (nasional) dan membangun sinergi antar program dan skema tersebut melalui kebijakan, regulasi dan insentif fiskal dan finansial. Pemerintah India menggerakan badan usaha milik negara menjadi pendorong, sekaligus motor untuk mengejar target-target solar pv, dengan berbagai dukungan finansial dan insentif, serta mengembangkan industri domestik dengan menjadikan program-program tersebut sebagai jaminan untuk pasar produk domestik.

Apa pelajaran yang bisa dipetik oleh Indonesia dari pengalaman India tersebut? KEN dan RUEN memiliki target 6,5 GW listrik surya pada 2025, sebagai bagian dari target 23% bauran energi terbarukan. Target ini sepertinya kurang ambisius dan dapat ditingkatkan, dengan pertimbangan bahwa harga teknologi modul surya dan perangkat pendukung yang semakin murah dan kompetitif terhadap pembangkit konvensional, dan perlunya upaya percepatan untuk mengatasi ancaman perubahan iklim sesuai dengan kerangka kesepakatan Paris.

Untuk itu, pemerintah perlu meluncurkan program nasional “Surya Nusantara”, dengan target 10 GW pada 2025 untuk ground mounted dan rooftop solar pv. Target rooftop solar pv 1 GW pada 2020 dapat menjadi antara. Adanya program nasional dapat memberikan sinyal kepada semua pihak bahwa pemerintah serius dan membentuk pasar. Hal ini dapat menarik minat pelaku usaha dan investor.

Program ini terdiri dari beberapa skema, a.l. skema listrik surya atap untuk bangunan dan instalasi pemerintah dan BUMN; skema listrik surya atap pengganti subsidi listrik, skema listrik surya atap untuk pelanggan listrik PLN, yaitu rumah tangga dan bisnis, program industrial rooftop solar pv, dan program listrik surya skala besar (diatas 25 MW) oleh PLN dan IPP. Secara garis besar implementasinya sebagai berikut:

  1. Untuk program listrik surya atap di bangunan dan instalasi milik pemerintah yang mencakup gedung pemerintah pusat dan daerah, gedung BUMN, perguruan tinggi dan sekolah. Buatlah target secara bertahap dan lakukan auction  secara paket yang dilakukan terpusat untuk kementerian dan lembaga di tingkat pusat,  dan di setiap propinsi, misalnya 25-30 MW per paket, untuk menciptakan skala keekonomian. Pelelangan dilakukan secara bertahap sehingga bisa didapatkan harga terbaik. Wajibkan penggunaan modul surya produksi dalam negeri untuk program listrik surya atap  di bangunan dan instalasi milik pemerintah.
  2. Lakukan pemasangan listrik surya atap pada 10% pelanggan PLN yang dikategorikan sebagai rumah tangga tidak mampu sebagai pengganti subsidi listrik. Terdapat 22 juta pelanggan listrik daya 450 VA dan 900 VA yang disubsidi pemerintah. Setiap tahunnya, kelompok pelanggan ini menerima subsidi sebesar Rp. 2-2,2 juta. Dengan mentargetkan 10% maka ada 2,2 juta rumah tangga yang bisa dipasang atapnya dengan perangkat listrik surya. Dengan memasang 1 kWp di setiap rumah maka kebutuhan listrik harian sudah dapat terpenuhi. Total biaya untuk program ini diperkirakan sekitar $2-2,2 milyar, yang dapat dibagi dalam 7 tahun pelaksanaan atau $300 juta per tahun dengan rata-rata instalasi 300 ribu rumah. Penghematan subsidi sebesar $600 milyar per tahun pada tahun pertama, dan menjadi Rp. 4,2 triliun per tahun di tahun ketujuh, dengan total 2,2 GWp kapasitas terpasang surya atap.
  3. Pelanggan listrik PLN golongan rumah tangga dan bisnis atau bangunan komersial serta industri kecil dapat memasang perangkat listrik surya atap untuk pemakaian sendiri maupun menjual kelebihan listriknya ke PLN lewat skema net-metering atau feed in tariff.
  4. Untuk industrial solar rooftop diatas 1 MW dapat menggunakan sendiri listriknya atau menjual kepada PLN melalui skema auction. Untuk penggunaan sendiri, aturan mengenai daya paralel sebagaimana diatur di Permen ESDM No. 1/2017 perlu dihapuskan.
  5. Untuk rumah tangga, berikan insentif pemasang listrik Surya atap a.l.: a) potongan pajak bumi dan bangunan (PBB) selama beberapa tahun, misalnya selama lima tahun, dengan akumulasi nilai potongan mencapai 10-15% dari total biaya investasi listrik surya atap; b) sediakan kredit bunga rendah untuk listrik surya atap (setara suku bunga KUR atau lebih rendah) yang dapat diakses masyarakat secara mudah via Bank yang ditetapkan pemerintah; c) berikan potongan harga (rebate) untuk penggunaan modul surya produksi dalam negeri bekerja sama dengan produsen modul surya; dan insentif lainnya untuk menarik minat rumah tangga, bisnis dan industri. Skema insentif ini dievaluasi hasilnya secara periodik untuk ditinjau efektivitasnya.
  6. PLN diberikan target untuk membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap utility scale (>10 MW) untuk rooftop solar PV atau diatas 25 MW untuk ground mounted solar PV.
  7. Pemerintah mendorong komersialisasi batterai penyimpan (storage) sebagai solusi utk intermitensi listrik dari pembangkit tenaga surya.

 Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR