Siaran Pers: Laporan IPCC #SR15 dan Implikasinya bagi Sektor Energi Indonesia

 

Pada Senin, 8 Oktober 2018, Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) meluncurkan Special Report on Global Warming of 1.5C (Laporan Khusus tentang Pemanasan Global 1,5 Derajat)[1]. Laporan ini memuat berbagai dampak akibat pemanasan global pada kesehatan manusia, ketahanan pangan, ekosistem, dsb  yang dapat dihindari dengan membatasi kenaikan temperatur 1,5 derajat Celcius (C) diatas temperatur rata-rata sebelum masa pra-industri.

Dengan kecepatan pertumbuhan emisi gas rumah kaca (GRK) saat ini, IPCC mengingatkan bahwa kesempatan untuk mencapai target ini hanya tersisa 12 tahun atau 2030. Untuk mencapai target 1,5 derajat maka emisi gas rumah kaca global harus mencapai puncak selambatnya 2030 dan kemudian harus turun drastis hingga mencapai net-zero emission pada 2050. Menurut IPCC, untuk mencapai hasil tersebut maka diperlukan upaya mitigasi yang sangat ekstrem, cepat, menjangkau jauh kedepan yang dilakukan semua pihak di seluruh dunia.

Konsekuensi dari target tersebut adalah:  1) tingkat emisi global pada 2030 harus turun setara dengan 45% tingkat emisi 2010 (20 GtCO2eq); 2) penggunaan batubara harus turun sebanyak 59-78% dari tingkat 2010 dan sama sekali tidak dikonsumsi lagi setelah 2050; 3) konsumsi minyak harus turun 32-87% dari tingkat 2010, dan 5) energi terbarukan menyediakan 85% pasokan listrik di dunia pada 2050; 6) emisi global harus menjadi nol (zero) pada 2050.

Indonesia sebagai salah satu negara ekonomi terbesar di dunia, dan penyumbang 3,5-4% total emisi dunia, seharusnya tidak lepas dari upaya mengatasi pemanasan global dan ancaman perubahan iklim. Pada 2015 Presiden Joko Widodo menyatakan persetujuan pada Paris Agreement pada COP-23, dan pada 2016, pemerintah Indonesia meratifikasi Paris Agreement melalui UU No. 16/2016. Pada 2016, pemerintah Indonesia menyampaikan komitmen penurunan emisi GRK sebesar 29-41% pada 2030 yang dinyatakan dalam Nationally Determined Contribution (NDC)[2].

Menurut proyeksi Climate Action Tracker (CAT, 2018) emisi GRK Indonesia dari sektor energi, transportasi, sampah, dan industri (tidak termasuk LULUCF) diperkirakan mencapai 1573-1751 juta tCO2eq pada 2030[3]. Jumlah ini setara dengan 3,75-4% dari emisi GRK global yang diperkirakan mencapai 40 Giga-ton CO2eq. Dari total emisi GRK Indonesia di 2030, pembangkitan listrik menyumbang 400 juta tonCO2eq.

CAT menilai komitmen penurunan emisi Indonesia dalam NDC tidak selaras (compatible) dengan target temperatur Paris Agreement, baik 1,5°C maupun 2°C. Untuk setara dengan target 2°C, emisi GRK harus menjadi 1075 juta tCO2eq pada 2030, dan untuk mendukung pencapaian 1,5°C emisi GRK harus turun menjadi 523 juta tCO2eq.

Untuk dapat mendorong Indonesia pada jalur 1,5°C maka Indonesia perlu melakukan aksi mitigasi yang drastis pada dua sektor utama yaitu pembangkitan listrik dan transportasi. Untuk pembangkitan listrik, pada 2030 emisi GRK dari sub-sektor ini harus memotong setengah dari emisi pembangkitan listrik atau setara dengan total emisi sektor kelistrikdan di 2019.

Untuk mencapai tingkat emisi tersebut, maka separuh dari pembangkit listrik batubara harus dipensiunkan secara bertahap mulai 2025 – 2030, dan sisanya harus diakhiri secara bertahap hingga 2050. Selain itu, setelah 2025 pembangunan PLTU baru tidak lagi diperbolehkan. Konsekuensinya adalah pembangunan pembangkit energi terbarukan harus dipercepat dan jumlahnya lebih besar daripada target yang ditetapkan di Kebijakan Energi Nasional (KEN).

Direktur IESR Fabby Tumiwa menyatakan, “Untuk mencapai target 1,5 derajat C, diperlukan sebuah transisi energi yang cepat, dari energi fossil menuju energi terbarukan khususnya di pembangkitan listrik dan transportasi darat. Perubahan ini membutuhkan keputusan politik dari Presiden dan dukungan dari para pemangku kebijakan kunci di pemerintahan, PLN, Dewan Energi Nasional, serta penyediaan investasi yang besar-besaran untuk membangun tambahan pembangkit energi terbarukan setara sekitar 65-75GW di atas target skenario RUEN dan battery storage

Upaya transisi ini juga perlu disertai dengan perubahan paradigma dan perilaku semua pihak untuk mulai mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dengan mengendalikan produksi dan konsumsi bahan bakar fosil, termasuk penyediaan subsidi energi dan listrik yang lebih selektif untuk mengurangi beban bagi anggaran negara. Pemerintah bersama para pihak juga perlu melakukan perubahan paradigma dan perilaku untuk mendorong efisiensi dan konservasi energi yang mendukung tujuan pembangunan rendah karbon yang lebih berkelanjutan.

Jakarta, 9 Oktober 2018

###

Tentang IESR

Institute for Essential Services Reform (IESR) adalah sebuah lembaga independen, non-pemerintah yang bergerak di bidang Energi dan Perubahan Iklim. Berdiri resmi di tahun 2007, IESR merupakan lembaga pemikir (think tank) untuk kebijakan publik yang mendorong, dan mendukung perubahan-perubahan menuju keadilan pemanfaatan sumber daya alam untuk mendukung pembangunan dan kesejahteraan manusia Indonesia.

Kontak media:
Yesi Maryam |yesi@iesr.or.id | Mobile: 081212470477

[1] http://www.ipcc.ch/report/sr15/

 

[2]http://www4.unfccc.int/ndcregistry/PublishedDocuments/Indonesia%20First/First%20NDC%20Indonesia_submitted%20to%20UNFCCC%20Set_November%20%202016.pdf

 

[3] https://climateactiontracker.org/countries/indonesia/