Jika Indonesia Gagal, Maka Dunia Juga Akan Gagal

Duta Besar Inggris untuk Indonesia, ASEAN, dan Timor Leste, Moazzam Malik, mengatakan Indonesia berperan penting dalam pengendalian perubahan iklim dalam mempengaruhi Kesepakatan Paris (Paris Agreement). Terutama dalam sektor energi. Hal tersebut diungkapkannya pada High-level Panel Discussion: The Vision and Experiences of Energy Transition Toward Low Carbon Energy, dalam acara Indonesia Energy Transition Dialogue Forum 2018 dan Grand Launching ICEF (Indonesia Clean Energy Forum), Kamis, 15 November, di Jakarta.

Diskusi yang dipandu oleh Bambang Harymurti ini, juga menghadirkan Duta Besar Denmark untuk Indonesia, Rasmus Abildgaard Kristensen, serta dua narasumber lain yaitu Parjiono, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dan dan Rida Mulyana, Direktur Jenderal EBTKE, Kementerian ESDM.

“Jika Indonesia gagal memenuhi target Kesepakatan Paris maka dunia juga akan gagal,” tandas Malik.

Kesepakatan Paris adalah persetujuan dalam kerangka UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) yang mengawal reduksi emisi karbondioksida, efektif berlaku pada tahun 2020-2030. Persetujuan ini dibuat pada Konferensi Perubahan Iklim PBB 2015 di Paris. Serta menyepakati upaya menekan peningkatan suhu bumi tidak lebih dari 2°C dan diusahakan hingga 1.5°C.

Karena itu, menurut dia sangat penting mengetahui upaya-upaya apa saja yang akan dilakukan Indonesia untuk mencapai target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) termasuk dari sektor energi.

Malik menilai pembentukan Indonesia Clean Energy Forum atau ICEF merupakan inisiatif yang baik karena mendorong upaya transisi dari penggunaan energi kotor ke energi bersih yang dipersiapkan melalui proses dialog dengan berbagai pemangku kepentingan hingga akhirnya mampu mencapai perubahan itu sendiri.

Pencapaian target Kesepakatan Paris tentu sangat berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Indonesia diprediksi masuk dalam 10 negara ekonomi terbesar dalam 10 tahun, sehingga ia mengatakan akan menjadi beresiko ketika berhasil masuk 5 besar dan emisinya akan berkembang lebih jauh.

“Ini menjadi tantangan kunci dari diskusi kita hari ini,” ujar Malik.

 

Baik Moazzam Malik dan  Rasmus Abildgaard Kristensen, sepakat, tantangan terbesar dalam melakukan transisi menuju energi bersih adalah masalah kebijakan publik, investor dan biaya tinggi dalam melakukan transisi ke energi bersih seperti yang diungkapkan Menteri Jonan. Inggris dan Denmark juga pernah mengalami hal yang sama pada pada masa awal mereka memulai melakukan transisi energi kotornya ke energi bersih.

Kristensen mengungkapkan pengalaman Denmark yang kini nyaris mendekati 100% dalam mentransisikan energi kotornya ke energi bersih hingga tahun 2030 – membutuhkan waktu 20 tahun dalam melakukan transisi ke energi bersih. Kenapa harus ke energi bersih? Kristensen menjelaskan 4 alasan kuatnya.

Alasan pertama, pada tahun 1970-an Denmark dilanda krisis minyak bumi. Saat itu 90% kebutuhan energi Denmark masih sangat bergantung dengan minyak bumi. Padahal minyak buminya sendiri berasal dari impor. Melambungnya harga minyak bumi karena efek dari situasi politik di Timur Tengah membuat Denmark memutar otak mencari energi pengganti minyak bumi. Saat genting itu diputuskan untuk mengurangi import minyak bumi. Mereka pun berusaha berswasembada energi.

“Jadi kasusnya sama dengan Indonesia, awalnya bukan soal “hijau” saja. Tapi mempertimbangkan bagaimana Anda dapat mengubah ketergantungan tersebut terlebih jika harus menghadapi krisisnya,” jelas Kristensen.

Alasan kedua karena perubahan iklim. Tidak hanya berupaya mengalihkan energi kotornya ke energi terbarukan tetapi juga berupaya menurunkan konsumsi energi. Hal ini kemudian menjadi faktor kunci Denmark bertahun-tahun kemudian sekaligus menjadi pendorong kenapa energi bersih harus diterapkan di Denmark.

Alasan ketiga menumbuhkan iklim investasi. Hal yang sama terjadi juga di Amerika dan Cina yang kini mulai banyak banyak melakukan investasi fasilitas EBT (Energi Baru Terbarukan).

“Kami sepakat dengan Bapak Jonan (Menteri ESDM Indonesia-red), yakni membangun bangunan fasilitas EBT itu mahal. Namun itu di awalnya saja karena sekarang justru energi bersih yang murah, contohnya energi angin,” kata Kristensen. “Investasi energi angin di negeri kami termurah karena kami memiliki ladang angin yang banyak. Jadi walau berat di awal mula pembangunannya, berikutnya justru semakin murah harga dari energi yang dihasilkan. Jadi kenapa kita tidak memulai dari yang jelas di sekitar kita. Di kami, angin,” lanjutnya.

Energi bersih ke depan makin murah dan kompetitif

Kristensen juga membenarkan proyeksi Institute Essential Services Reform mengenai harga EBT yang akan menjadi semakin murah di masa depan.  Adapun alasan terakhir kenapa Denmark merasa perlu melakukan investasi fasilitas EBT adalah untuk memunculkan banyak lapangan kerja. Manfaat sampingannya menumbuhkan perekonomian yang signifikan. Isu teknologi dan dimensi lainnya memang juga menjadi pembahasan di Denmark.

Dalam sambutan awal launching ICEF, Fabby Tumiwa, Direktur Esekutif IESR yang juga selaku tuan rumah kegiatan sempat menyebutkan, EBT memang sudah menjadi mainstream di banyak negara. Penyebabnya tidak lain adalah harga teknologi energi terbarukan yang semakin murah dan kompetitif terhadap teknologi pembangkit fosil. Peralatan listrik pun lebih hemat penggunaan energinya. Serta upaya global untuk mencapai target Kesepakatan Paris yaitu membatasi kenaikan temperatur global dibawah 2 derajat celcius.

Menurut Faby, daya disrupsi dari teknologi energi terbarukan seperti solar PV (photovoltaic) dan turbin angin bahkan akan sulit dibendung di masa depan karena harga teknologi yang turun dengan drastis dan efisiensi yang meningkat.

Pada periode 2009-2015 harga solar PV telah mengalami penurunan 80%, dan International Renewable Energy Agency (IRENA) memperkirakan harga solar PV akan turun lebih jauh 60% hingga tahun 2025 mendatang. Sedangkan harga turbin angin telah turun rata-rata 38% sejak tahun 2009. Di sejumlah negara hal ini membuat harga listrik dari EBT lebih murah ketimbang harga listrik  dari pembangkit thermal.

Sebagai gambaran Fabby mengatakan dari hasil study pasar listrik surya atap yang dilakukan GIZ –INFIS dan IESR belum lama ini mengindikasikan bahwa penurunan harga sistem PV hingga 30%-40% atau dengan adanya manfaat finansial yang sama dapat memicu sedikitnya 4 juta rumah tangga di Pulau Jawa yang dikategorikan sebagai pengguna awal untuk memasang listrik surya atap yang kapasitasnya setara dengan 12-16 GWp. IRENA memperkirakan potensi surya atap Indonesia mencapai 15 GWp hingga tahun 2030.

Baru-baru ini Carbon Tracker juga merilis laporan yang menyatakan bahwa pada tahun 2021 akan lebih murah membangun pembangkit listrik tenaga surya ketimbang pembangkit listrik tenaga uap di Indonesia. Dan pada tahun 2027-2028 akan lebih murah membangun PLTS  baru ketimbang mengoperasikan PLTU batubara.

Tahun 2016, Denmark melakukan power mix electricity dengan menggunakan berbagai jenisnya, energi fosil mereka gunakan hanya 46%, sementara 54% menggunakan biomassa, dan 13% menggunakan energi angin. Mereka menargetkan 2020, penggunakan energi fosil menjadi 21%, dan meningkatkan penggunaan energi angina hingga 54% dan biomassa 18%. 2030 Denmark merasa yakin bisa 100% sudah mengalihkan pengelolaan kelistrikannya dengan menggunakan energi bersih di tahun 2030.

Coal or fosil phase out sudah jelas dilakukan. Itu cara kebijakan yang kami ambil sesuai dengan kesepakatan energi. Insentif di awal transisi diberikan dan sekarang pasarnya sudah mature, sehingga industri sudah bergerak dengan sendirinya, “ paparnya Kristensen.

Kristensen bahkan menyebut harga lelang untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga bayu  lepas pantai di negaranya semakin hari semakin turun dalam 4-5 tahun terakhir. Semakin banyak investor yang mengikuti lelang.  Mengutip Kantor Berita Antara, alhasil saat hendak mendarat di bandar udara Kopenhaagen pada musim dingin berkabut akan tampak kincir-kincir angin raksasa berjajar di tengah laut. Bayangannya terlihat bak jaeger robot humanoid raksasa dalam film Pacific Rim.

Kesimpulan dari keberhasilan transisi energi hijau Denmark, menurut Kristensen ada dua hal yaitu pertama, adanya kepastian politik dan regulasi serta stabilitas yang pada akhirnya memungkinkan Denmark bisa menarik lebih banyak investasi. Hal kedua, kesediaan untuk berinvestasi dalam proyek skala besar  memungkinkan “banyak pemain”  lainnya datang dan berinvestasi dan menjadikan harganya kompetitif dan tidak monopolis.

“Tetapi secara politik, 20 tahun terakhir komitmen tetap sama yakni menggunakan energi bersih. Perubahan iklim memang penting tapi lebih dari itu secara ekonomi bagus untuk kami, ” kata Kristensen lagi.

Pengalaman di Inggris pun sangat mirip dengan Denmark. Tantangan terbesar mereka adalah masalah kebijakan, investor, dan bertransisi juga harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Malik menceritakan, 6 tahun lalu, 40% energi Inggris menggunakan batu bara. Namun kini hanya 2 % saja, sementara 98%nya Inggris sudah menggunakan energi terbarukan. Hal ini menumbuhkan pasar yang kompetitif, sehingga harga paket baterai energi pun turun hingga 70%.

“Dalam hal menciptakan pekerjaan di Inggris, kami memiliki 400 ribu pekerjaan di lokal dan bisnis dalam rantai pasokan. Dan ekonomi karbon rendah di Inggris tumbuh jauh lebih cepat. Kini sekitar 40% kapasitas dunia dan angin lepas pantai ada di Inggris, dan kita sedang menuju vegeecle elektrik dan beberapa area pendukung yang Anda butuhkan, misalnya obligasi hijau, pembiayaan hijau lebih dari 20 miliar dolar. Jadi sekali lagi ini bukan hanya tentang teknologi, dan kebijakan, tetapi menemukan keuangan inovatif,” jelasnya.

Berharap Investor Eropa

Menanggapi Denmark dan Inggris, Direktorat Jendral Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) berharap, para investor dari negara-negara Uni Eropa dapat menjadi partner dalam mengembangkan sektor EBTKE yang saat ini masih terus digencarkan di Indonesia dalam rangka memenuhi target yang ada dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

Dirjen Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Rida Mulyana  yang mewakili Dirjen EBTKE dalam kegiatan tahunan Green Energy Technology (GET) oleh European Union Business Avenue (EUBA) in South East Asia mengatakan bahwa kini penggunaan teknologi bersih sudah menjadi kebutuhan masyarakat Indonesia. Indonesia berkomitmen mengurangi gas rumah kaca (GRK) 29% pada 2030. Dengan bantuan investasi luar negeri Pemerintah optimis dapat mengurangi emisi hingga 30%.

Oleh karena itu pemerintah katanya sangat mengharapkan investasi untuk pengembangan sektor EBT di Indonesia yang menitik beratkan pada aspek kesejahteraan sosial, penciptaan iklim bisnis kondusif serta faktor-faktor pertumbuhan ekonomi.

“Pengembangan EBT difokuskan pada ketahanan energi, peningkatan rasio elektrifikasi penyebaran merata, dan harus dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat,” ujarnya

Lebih kanjut dia mengatakan untuk mempermudah pengembangan EBT Indonesia, Pemerintah telah melaksanakan reformasi birokrasi terutama dalam proses pelayanan dan proses investasi seperti simplifikasi perizinan. Menyusun pengaturan perizinan secara daring serta pelaksanaan good governance.

Ada sebagian masyarakat yang mempertanyakan juga, mengapa Pemerintah seolah-olah lebih mensubsidi pada energi konvensional dari pada energi terbarukan. Sebenarnya bukan subsidi yang diberikan pemerintah kepada pelaku usah energi konvensional tetapi subsdi tersebut  untuk penggunanya, contohnya listrik dan BBM. Pemerintah mensubsidi masyarakat yang berlangganan listrik dari 450-900 watt. Di atas itu tidak ada subsidi.

“Selama ini pengguna listrik disubsidi semua. Hingga orang yang mampu pun disubsidi. 3 tahun lalu subsidi listrik dihilangkan bagi pelanggan di atas 900 watt. Begitu juga dengan BBM. Subsidi BBM dicabut. Dana subsdi dialihkan untuk infrastruksur. Manfaat infrastruktur ini untuk edukasi dan peningkatan kesehatan,” jelas Mulyana

Namun yang jelas, Pemerintah Indonesia sudah mempunyai kebijakan energi yang memperhatikan empat aspek yaitu: Kecukupan energi;  Pemerataan: energi yang berkeadilan; Keterjangkauan: terutama untuk Indonesia Timur, khususnya Papua; Komit dengan energi yang ramah lingkungan.

“Inti dari semua itu adalah keadilan.  Transisi besar-besaran bisa saja terjadi jika azas keadilan ini sudah terpenuhi. Jadi meskipun tujuan kita sama, cara yang kita lakukan berbeda. Masalah di Indonesia itu kompleks seperti masalah sosial, geografi, pertumbuhan ekonomi, dan lain-lain,”imbuhnya.

Masih dalam panel diskusi yang sama, wakil dari Kementrian Keuangan menyoroti kebijakan fiskal. Insentif fiskal utama untuk energi terbaru: kekan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.21/PMK.011/2010. Peraturan tersebut memberikan insentif pajak untuk semua produksi energi terbarukan serta pembuatan dan impor mesin yang diperlukan untuk produksi. Insentif diberikan atas dasar kasus-per-kasus dan termasuk ketentuan yang berhubungan dengan pajak penghasilan, PPN, bea masuk, dan pajak yang ditanggung Pemerintah.

“Selama ini mindset kita adalah batubara yang salah. Sedangkan kita punya batubara banyak. Disinilah peran teknologi. Teknologinya yang harus mampu memproduksi batubara yang ramah lingkungan rendah emisi. Kepedulian Pemerintah juga tertuang dalam APBN dimana untuk climate change terjadi peningkatan. Tahun 2017 anggaran 81 trilyun rupiah. Di tahun 2018 meningkat menjadi 120 trilyun rupiah,” jelas Parjiono, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim.

Di akhir diskusi baik Denmark dan Inggris sepakat bahwa investor asing di Indonesia sangat memerlukan kepastian hukum yang jelas. Kepastian perundang-undangan. Dan ini yang ditunggu para investor, berinvestasi dengan jaminan hukum perundangan yang jelas. (*)

Menuju Gelombang Transformasi Energi

Reformasi kebijakan di sektor ketenagalistrikan menjadi kunci dalam proses tranformasi energi

Gelombang tranformasi energi tengah melanda dunia. Sistem ketenagalistrikan kini bergerak menuju sistem yang lebih bersih, terdesentralisasi, digital dan memberikan kesempatan pada banyak pihak untuk menjadi produsen energi, atau dikenal dengan istilah 4D: Dekarbonisasi, Desentralisasi, Digitalisasi dan Demokratisasi.

“Indonesia juga mempunyai kesempatan untuk bergabung dalam gelombang transformasi ini. Namun diperlukan upaya yang serius untuk menyiapkan proses tranformasi tersebut. Reformasi kebijakan dan perbaikan sistem ketenagalistrikan menjadi kunci.Termasuk reformasi dalam pengembangan model bisnis pembangkit dan investasi sektor ketenagalistrikan, yang tidak hanya melibatkan pemerintah, namun juga pihak swasta,” ujar Prof. Kuntoro Mangkusubroto dalam sambutannya pada acara peluncuran Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan pembukaan Indonesia Energy Transition Dialogue Forum (IETDF) yang berlangsung di Jakarta, 15 November 2018.

Indonesia harus mempersiapkan diri dari sekarang, tambahnya lagi, jika tidak, maka dampaknya akan sangat luas, terutama pada infrastruktur ketenagalistrikan yang selama ini bersifat sentralistis dan monopolistik.

Dengan latar belakang tersebut, kemudian lahir inisiatif Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) sebagai sebuah wadah yang dikembangkan untuk berbagi dan bertukar gagasan yang obyektif dan inovatif untuk mendorong transformasi di sektor ketenagalistrikan.

“Diskusi dan analisa yang dikembangkan dalam ICEF berdasarkan fakta dan kajian yang ilmiah sehingga dapat memberi masukan atau rekomendasi yang tajam bagi pemerintah dalam menyiapkan kebijakan yang mendorong pengembangan energi terbarukan. Dengan demikian target Kebijakan Energi Nasional (KEN) serta Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dapat tercapai,” jelas Kuntoro yang didapuk sebagai dewan penasehat ICEF.

Fabby Tumiwa Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menambahkan, saat ini sistem energi terbarukan telah menjadi pilihan utama bagi penyediaan tenaga listrik di banyak negara. Dalam lima tahun terakhir investasi pembangkit energi terbarukan semakin kompetitif dan bersaing dengan harga pembangkit listrik dari energi fosil.

“Daya disrupsi dari teknologi energi terbarukan, seperti solar PV dan turbin angin akan semakin sulit dibendung. Harga teknologi energi terbarukan terus menurun dengan tingkat efisiensi yang semakin meningkat. Sepanjang periode 2009-2015 saja harga solar PV telah mengalami penurunan hingga 80%,” ujar Fabby.

Badan energi terbarukan internasional atau IRENA (International Renewable Energy Agency bahkan memperkirakan harga solar PV akan mengalami penurunan sebesar 60% hingga tahun 2025 mendatang. Sedangkan harga turbin angin rata-rata turun sebesar 38% sejak 2009.

Hal yang sama juga dikuatkan oleh Carbon Tracker yang baru saja mengeluarkan laporan, di mana pada 2021 harga pembangunan PLTS di Indonesia akan jauh lebih murah dibandingkan PLTU, dan pada 2027/2028 pembangunan PLTS baru akan lebih murah daripada mengoperasikan PLTU Batubara.

“Semakin terjangkaunya harga teknologi energi terbarukan akan membuat masyarakat beralih untuk memilih dan memproduksi sendiri listriknya, ketimbang membeli dari perusahaan penyedia listrik,” tandas Fabby.

Berdasarkan studi pasar listrik surya atap yang dilakukan GIZ- INFIS dan IESR dia menjelaskan tentang potensi listrik surya di Indonesia. Studi ini mengindikasikan adanya penurunan harga sistem solar PV hingga 30-40% dan memberikan manfaat secara finansial sehingga dapat memicu sedikitnya 4 juta rumah tangga di Pulau Jawa yang dikategorikan sebagai early follower – untuk memasang listrik surya atap (Solar PV), yang setara dengan kapasitas 12-16 GWp. Diperkiraan potensi surya atap di Indonesia mencapai 15 GWp hingga 2030.

“Dari sinilah dimulai fenomena “death spiral of utility” yang sudah kita lihat awal gejalanya di Australia dan AS. Selain itu ancaman terjadinya “stranded asset” bagi pembangkit thermal akibat tidak beroperasinya secara optimal padahal masih berada pada usia produktif. Walaupun sejauh ini tren tersebut masih terjadi di luar Indonesia, tapi negara tidaklah berarti tren tersebut tidak datang ke Indonesia dalam waktu dekat,” tandasnya.

Energi Berkeadilan

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan yang berkesempatan hadir dalam acara peluncuran ini menyatakan, pemerintah sangat mendukung untuk pengembangan energi terbarukan yang lebih bersih, terutama untuk menjangkau penduduk yang berada di bagian terdepan, terluar, terujung Indonesia.

“Yang terpenting pengembangan energi ini sesuai azas berkeadilan untuk semua. Jadi tidak hanya biaya saja yang dipikirkan tetapi juga pertimbangan aspek sosial juga diperhatikan,” kata Jonan.

Menurut data Kementerian ESDM, hingga saat ini ada sekiitar 2% dari penduduk Indonesia atau sekitar 5 juta penduduk yang belum belum mendapatkan listrik.

Jonan juga menambahka untuk mendorong pengembangan energi terbarukan, pemerintah kini telah menyiapkan sejumlah kebijakan dan menerbitkan beberapa aturan terkait dengan

Listrik Surya Atap, pengembangan pembangkit listrik energi panas bumi (geothermal) tenaga bayu (tenaga angin), dan biomassa. Pemerintah juga sudah meminta PLN mengkonversi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) 1800MW menggunakan bahan bakar minyak sawit mentah.

Indonesia Energy Transition Dialogue Forum (IETDF) 2018 yang mengusung tema “Pengalaman Terbaik dalam Melakukan Transisi Energi” juga menghadirkan sejumlah pembicara utama seperti Moazzam Malik, Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Rasmus A.Kristensen, Duta Besar Denmark untuk Indonesia, Timor Leste dan Papua Nugini. Acara ini juga menghadirkan sejumlah pakar energi dari China, Jerman dan Australia. Direncanakan IETDF akan menjadi agenda tahunan yang diselenggarakan oleh IESR dan ICEF untuk berbagi pengetahuan, pengalaman dan kajian terkait denga kebijakan, teknologi, dan pengembangan sistem transformasi energi.

Bahan presentasi IETDF 2018 dapat diunduh di: http://bit.ly/IETDF18Materi

Inkonsistensi kebijakan Energi dan Situasi Politik Penyebab Lambatnya Transisi Energi Bersih di Indonesia

Inkonsistensi kebijakan energi dan situasi politik di Indonesia menjadi penyebab lambatnya proses transisi energi bersih di Indonesia. Hal ini terungkap dalam acara diskusi panel “What issues and approaches that are relevant? Key barriers and how to move forward, dalam acara Indonesia Energy Transition Dialogue Forum 2018 dan Grand Launching Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Kamis, 15 November 2018 di Jakarta.

Diskusi ini dipandu oleh Fabby Tumiwa dengan menghadirkan tujuh panelist yang mewakili para pemangku kepentingan di sektor energi di Indonesia. Mereka adalah Dr. Surya Darma dari Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Dr. Heru Dewanto dari Masyarakat Kelistrikan Indonesia (MKI), Dr. Nirarta Samadhi dari World Resource Institute Indonesia (WRI Indonesia), Ryan Putera Pratama Manafe dari PT. Surya Utama Nuansa, Dr. Hardiv Situmeang dari Komite Nasional Indonesia World Energy Council (KNI-WEC), Afrizal dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) dan Aidy Halimanjaya Ph.D dari Dala Institute.

Sebagai pembuka diskusi, Dr. Surya Darma menjelaskan Indonesia sebetulnya telah memiliki Undang-undang energi yang memadai untuk mendorong terjadinya proses transisi energi. Namun yang menjadi tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana UU tersebut dalam dilaksanakan secara konsisten.

Ketika UU Energi pertama kali diluncurkan, ujar Surya, banyak pihak yang mendukungnya, namun setelah dua tahun berjalan muncul berbagai perdebatan karena adanya pandangan dan penafsiran mengenai UU tersebut. Pemerintah kemudian menerbitkan peraturan baru yaitu Peraturan Menteri ESDM (Permen ESDM) No. 50 tahun 2017 yang melengkapi aturan sebelumnya yaitu Permen ESDM No. 12 Tahun 2017.

“Jika aturan regulasi, UU seharusnya menempati posisi yang tertinggi dan menjadi rujukan bagi aturan yang lain seperti Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (Permen). Namun dalam kenyataannya tidak, di Indonesia justru sebaliknya, Permen bisa saja mempunyai posisi yang lebih kuar dibandingkan dengan UU. Padahal PP telah dikeluarkan dan menyebutkan target yang sangat jelas, namun Permen yang dikeluarkan malah tidak sejalan. Termasuk juga RUPTL (Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik) yang ditandatangani oleh menteri, sama sekali tidak mencerminkan dan sejalan dengan PP yang ditandatangani oleh presiden,” jelasnya.

Sementar Aidy Halimanjaya melihat kentalnya aspek politik yang sering kali menjadi mempengaruhi pelaksanan sebuah kebijakan. Misalnya dalam menerapkan subsidi energi, pemerintah terlihat sangat berhati-hati, dan pada akhirnya menjadi sebuah kebijakan yang rumit dan pelik untuk diterapkan.

“Saat mengumumkan kenaikan harga BBM, presiden akan berdiri di depan para pejabat tinggi dari dari seluruh angkatan bersenjata dan Polri. Seakan menunjukan adanya ketakutan bahwa kenaikan harga BBM bukan hanya masalah ekonomi tapi juga terkait dengan stabilitas keamanan nasional. Ini sebuah fakta yang harus diterima, dan akan semakin besar dampaknya jika diterapkan dalam tahun politik seperti sekarang ini, karena pihak opsisi bisa jadi mempolitisasi isu kenaikan harga BBM,” jelas Aidy.

Dia juga menambahkan di tahun 2019 nanti akan semakin sulit untuk menjaga stabilitas harga energi karena sudah memasuki tahun politik. Misalnya saja jika harga minyak mentah mencapai USD 100 per barel apa yang akan dilakukan? Pemerintah kemungkinan akan menahan harga BBM dan menalanginya melalui anggaran negara (subsidi) yang akan dibayarkan.

“Pertimbangan-pertimbangan politik ini yang kadang tidak bisa disepelekan dalam perhitungan harga energi, dan harga kestabilan politik biasanya lebih besar dari aspek-aspek lain dalam membuat pemodelan atau perhitungan biaya energi,” ujarnya.

Masalah inkonsistensi dan ketidakjelasan aturan juga dirasakan pelaku usaha energi terbarukan. Seperti diungkapkan oleh Ryan Putera Pratama Manafe yang saat ini tengah cemas menanti keluarnya peraturan menteri ESDM mengenai penggunaan lisrtrik surya atap.

“Bisnis kami adalah menyediakan jasa penyediaan listrik surya atap bagi kalangan industri. Jika benar Permen ESDM yang akan dikeluarkan ini akan melarang penggunaan listrik surya atap bagi kalangan industri, maka habis sudah bisnis kami. Saya juga sudah mencoba membicarakan hal ini dengan Ditjen EBTKE, namun masih belum fix katanya dan masih dibicarakan,” jelas Ryan.

Sementara menurut Hardiv Situmeang, kendala transisi energi di Indonesia tak hanya pada kerangka regulasi saja, karena sebenarnya sudah siap. Persoalannya justru bagaimana menyiapkan sistem dan membangun infrastruktur sehingga penetrasi energi terbarukan dalam pembangkit listrik dapat dilakukan.

Hardiv mencontohkan dalam struktur microgid dibutuhkan sistem penjadwalan secara maksimal sehingga bisa terkendalikan antara sumber pembangkit dari energi terbarukan dan dari energi lainnya. Di Bali misalnya, sudah mulai diterapkan microgrid controller, sehingga ketika terjadi ganguan pada PLN bisa langsung diatasi persoalannya, ada skema yang optimal antara penggunaan sumber energi terbarukan, baterai dan sistem lainnya.

Jangan Ributkan Proses, Tapi Lihat Capaian dan Kesiapan Indonesia Menuju Transisi Energi

Menanggapi mengenai ketidakkonsistenan kebijakan, Afrizal dari Ditjen Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM menjelaskan Indonesia tengah melalukan proses untuk melakukan transisi ke energi bersih. Berbagai persoalan  dan tantangan yang kini tengah mereka alami merupakan proses untuk ke tahapan lanjutan yang lebih baik. Karena begitu banyak pembelajaran yang bisa memperbaiki proses berikutnya.

“Ketimbang berdebat mengenai keberatan dengan Permen ESDM No. 12 atau Permen 50 mengapa kita tidak mencoba untuk melihat pencapaian yang sudah berhasil diraih selama ini. Itu lebih efiesien dan produkstif,” ujar Afrizal.

Dia juga menegaskan bahwa bahwa Indonesia sangat serius melakukan transisi kendati menjalaninya sejauh ini dihadapkan banyak kendala dan tantangan. Tapi sudah melakukan berbagai upaya untuk menerapkannya di beberapa wilayah. Meski pada upaya permulaan tidak langsung mengalami keberhasilan.

“Kami pernah memasang instalasi panel surya dengan kapasitas 5 MW di NTT, namun ternyata sistemnya tidak siap dan sempat kolaps, namun kami terus memperbaiki untuk melakukan upaya transisi energi ini, meski harganya juga tidak murah. Pemerintah juga mendapat sejumlah dukungan teknis dari beberapa negara seperti Denmark dan Amerika Serikat. Jika masih ada yang mempertanyakan bahwa kerangka regulasi yang kurang mendukung buktinya PLTP Sidrap dengan kapasitas 50 MW bisa berjalan dengan adanya Permen No. 50/2017. Intinya kita akan selalu mengejar tiga aspek yang utama yaitu terjangkau, aman dan menjangkau luar. Harus efisien dan harga listriknya tidak boleh naik dalam waktu dua tahun ke depan, itu yang harus dikejar,” tandasnya.

Afrizal juga menambahkan Indonesia juga banyak belajar dari pengalaman Denmark terutama dalam mengadopsi grid code dengan teknologi intermittent, sayangnya pemerintah hingga saat belum mengeluarkan kebijakan terkait hal tersebut.

Celah dan Menjawab Tantangan Kunci

Lain halnya dengan Heru Dewanto, yang menilai pembahasan “transisi” harusnya diubah menjadi co-existence antara energi fosil dan energi terbarukan, yang menurutnya, kondisi masih sangat dibutuhkan untuk kondisi di Indonesia.

Menurutnya, jika menggunakan kata transisi artinya ada satu yang dihidupkan dan yang lain dimatikan. Dalam konteks energi belum tentu jika satu dimatikan maka yang lain sudah siap untuk dihidupkan.

“Namun dengan adanya co-existence technology maka akan mendorong pemanfaatan sumber energi, baik yang berbahan bakar fosil maupun yang terbarukan,” ujar Heru.

Heru mencontohkan pengalaman pemerintah Singapura yang banyak merangkul berbagai perusahaan start up energi dan memanfaatkan teknologi digitalisasi untuk menciptakan peluang yang lebih besar ke depannya.

Diskusi ini menyimpulkan sebuah benang merah bahwa masih banyaknya celah kesenjangan serta sandungan yang menjadi penghalang untuk mendorong upaya transisi energi di Indonesia. Belajar dari pengalaman sendiri serta pengalaman dari sejumlah negara, transisi energi memang membutuhkan sebuah kerangka kebijakan yang secara konsisten diterapkan serta adanya kepimpinan yang kuat untuk membawa proses transisi ini untuk mencapai tujuan utama yang diidamakan (*)