Presiden Diminta untuk Memimpin Pengembangan Energi Terbarukan

Indonesia telah bertekad untuk menjadi salah satu negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia dan bersiap untuk menyonsong era revolusi industri 4.0 yang mengandalkan kekuatan kecerdasan artifisial dan teknologi. Tekad ini akan terlaksana jika presiden mau mengambil  peran politik dan memimpin proses transisi energi menuju sistem energi yang bersih dan berkelanjutan

Prof. Dr. Subroto, Menteri Energi dan Pertambangan RI di era tahun 1980an menyampaikan pesan ini saat membuka acara  Indonesia Clean Energy Dialogue yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama Bimasena, Mines and Energy Society, yang berlangsung di Jakarta, Rabu  (19/12/2018)

Pengembangan energi terbarukan, ujar Subroto, telah menjadi pilihan yang tidak bisa dihindarkan karena kebutuhan akan energi terus meningkat untuk menunjang roda pembangunan dan kualitas hidup manusia. Di sisi yang lain, penggunaan energi fosil kini semakin ditinggalkan karena besarnya dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan dan kehidupan sosial baik yang terjadi pada saat ini maupun yang akan datang.

Selain Subroto, Indonesia Clean Energy Dialogue juga menghadirkan sejumlah narasumber lain yaitu dua mantan menteri energi, Prof. Dr Purnomo Yurgiantoro dan Sudirman Said, Tim riset IESR, Surya Darma (Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia) Emma Sri Martini (PT Sarana Multi Infrastruktur), Zulfikar Manggau (PT PLN) serta Kirana D. Sastrawijaya (UMBRA).

Kebijakan mengenai transisi energi sendiri, ujar Subroto bukanlah sebuah hal yang baru. Karena sejak tahun 1981 pemerintah telah mengeluarkan Kebijakan Umum Bidang Energi yang kemudian dikembangkan menjadi Kebijakan Energi dan Nasioanal dan sekarang dikenal dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN)

Namun selama tiga puluh tahun lebih kebijakan ini dibuat, Subroto menilai, pengembangan energi terbarukan belum menunjukan perkembangan yang penting. Hingga saat ini Indonesia masih terus bergantung pada sumber energi fosil yang kotor. Sementara sumber energi terbarukan yang tersedia berlimpah tidak dikembangkan secara optimal.

“Kita telah mempunyai potensi  dan kemampuan. Yang kita butuhkan sekarang adalah kemampuan politik untuk membangun energi terbarukan. Dan presiden harus mengambil kepemimpinan tersebut,” tegas Subroto.

Dalam laporan Indonesia Clean Energy Outlook: Reviewing 2018, Outlooking 2019 yang dikeluarkan IESR menunjukkan tidak ada kemajuan yang berarti untuk pengembangan energi terbarukan selama tahun 2018.  Kualitas kebijakan dan kerangka peraturan di sektor energi, konsistensi dalam implementasi kebijakan, proses procurement internal PLN, akses pembiayaan bunga rendah, kapasitas jaringan, dan terbatasnya proyek energi terbarukan yang bankable adalah beberapa faktor yang menghambat percepatan pengembangan energi di Indonesia.

Laporan ini menyoroti mandeknya kapasitas terpasang baru dari pembangkit listrik energi terbarukan dalam tiga tahun terakhir. Sebanyak 70 PPA ditandatangani pada tahun 2017, tetapi setelah satu tahun, sebanyak 32 PPA masih berjuang untuk mencapai financial close dan menghadapi risiko penghentian oleh PLN pada akhir tahun ini.

Laporan ini juga menyoroti tentang ketersediaan pembiayaan energi terbarukan di Indonesia. Dimana banyak pengembang proyek yang terbarukan mengeluhkan tentang kesulitan untuk mengakses pembiayaan dari lembaga keuangan, sementara lembaga keuangan berjuang untuk mendapatkan proyek yang layak untuk dibiayai. Bankabilitas proyek-proyek energi terbarukan di Indonesia terutama terhambat oleh tarif yang tidak menarik, skema Build-Own-Operate-Transfer (BOOT), dan alokasi risiko PLN dan pengembang proyek.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menyatakan, “Laporan ini memberikan peringatan keras bahwa pemerintah tidak berada di jalur untuk mencapai 23% target energi terbarukan sebagaimana ditetapkan dalam Kebijakan Energi Nasional 2014 dan Rencana Energi Nasional 2017. Situasi telah memburuk dalam dua tahun terakhir karena kebijakan dan regulasi yang menguntungkan kepentingan PLN tetapi gagal menciptakan kondisi yang memungkinkan untuk memobilisasi investasi sektor swasta. Akibatnya, investasi terbarukan terus menurun sejak 2015.”

Situasi ini juga diperkirakan akan semakin memburuk karena karena 2019 merupakan tahun politik dan masa pemilu telah tiba. Harga eergi menjadi salah satu isu sentral dalam kampanye, akan sangat mungkin pemerintah akan berusaha untuk menjaga harga listrik dan BBM tetap rendah (*)