Redupnya Proyek 35.000 MW Jokowi di Tengah Terseok-seoknya Industri

Oleh: Vincent Fabian Thomas – 15 Oktober 2019 | Tirto.id

Proyek 35 ribu megawatt jauh dari ekspektasi pemerintah. Asumsi pertumbuhan ekonomi dan investasi yang meleset membuat megaproyek makin tak pasti. tirto.id – Periode pertama Presiden Joko Widodo akan berakhir dalam waktu kurang dari sepekan. Per tanggal 20 Oktober 2019, ia akan memulai periode keduanya dengan limpahan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Salah satunya, pembangunan pembangkit 35 ribu megawatt (MW) yang masih jauh dari target. Diluncurkan pada Mei 2015, di Gadingsari, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, megaproyek yang semula diharapkan rampung dalam lima tahun itu molor dan mengalami penjadwalan ulang menjadi 2023-2024. Banyak problem yang membuatnya tak sesuai rencana. Salah satunya, menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services and Reform (IESR) Fabby Tumiwa, lantaran kesalahan dalam proses perencanaan. Saat diluncurkan, proyek tak bisa langsung dimulai lantaran pemerintah masih perlu mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) sebagai peta jalan atau master plan pelaksanaannya. Alhasil lelang dan pengadaan baru dilaksanakan 2016-2017 dan konstruksi di akhir 2017. Di samping itu, pasokan listrik 35 ribu MW ditetapkan dengan dengan memperhitungkan pertumbuhan rata-rata ekonomi Indonesia sebesar enam persen tiap tahun ditambah pertumbuhan konsumsi listrik 7.000 MW per tahun. Tingginya asumsi itu sejalan dengan ekpsektasi pemerintah bahwa akan banyak industri bermunculan dan permintaan listrik makin besar. Namun, hampir genap 5 tahun, tak satu pun asumsi itu terpenuhi. “Jadi perencanaannya 2 kali lebih tinggi dari kondisi riil. Pertumbuhan ekonomi sekarang di kisaran 5 persen dan permintaan listrik di bawah 5 persen,” ucap Fabby saat dihubungi reporter Tirto, Senin (14/10/2019).

Jika dilihat dengan capaian pemerintah saat ini, asumsi yang ditetapkan untuk proyek tersebut memang terlalu ambisius. Dari lima puluh target kawasan ekonomi khusus (KEK)–dalam kurun lima tahun–misalnya, pemerintah cuma sanggup memenuhi 13 KEK. Tak hanya itu, pertumbuhan industri manufaktur Indonesia juga mengalami kontraksi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), per Agustus 2019, pertumbuhan industri terus turun dari 4,85 persen di 2017 ke 3,98 persen di 2019. Tak ayal pada Juli 2019, pemerintah mulai mengeluarkan pernyataan pesimistis. Proyek pembangkit 35 ribu MW, kata Menteri ESDM Ignasius Jonan, tetap berjalan tetapi “menyesuaikan” dengan kebutuhan masyarakat dunia usaha. Per Agustus 2019 lalu, berdasarkan catatan IESR, pembangkit yang sudah beroperasi komersial (commercial operation date/COD) baru menyentuh 3.600 MW. Sekitar 22 ribu MW masih dalam tahap konstruksi dan baru COD secara bertahap mulai 2021, sementara sekitar 9.600 MW masih dalam tahap perencanaan maupun pelelangan. Konsumsi Listrik Stagnan Lalu bagaimana dengan konsumsi masyarakat? Jika pun proyek pembangkit tersebut terealisasi, Fabby menilai rumah tangga tak akan bisa mengisi gap 35 ribu MW yang disisakan oleh industri. Pasalnya, prioritas pemerintah dalam target elektrifikasi 98 persen per 2019 umumnya ditujukan untuk masyarakat berpendapatan rendah dengan kapasitas daya terpasang 450 VA dan 900 VA. Dari total 98 persen itu, ada 1,5-2 juta rumah tangga di antaranya hanya membutuhkan listrik untuk penerangan. Dan itu pun bisa tercukupi lewat penggunaan Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE). Belum lagi, selama ini konsumsi listrik dalam produk yang efisien dan hemat energi juga tidak bisa dipungkiri terus berkembang. IESR dan Universitas Monash University Australia pada Maret 2019 pun sempat membuat kajian soal akibat perbedaan asumsi kebutuhan listrik ini. Hasilnya menunjukkan adanya surplus kapasitas listrik sebesar 13 GW.

Lantaran itu pula, IESR pernah mengusulkan agar pemerintah meninjau ulang target 35 ribu MW. Sebab jika tidak, PLN akan kelimpungan untuk menjual listrik yang dibeli mahal dari swasta. “Jadi bagus itu dimundurkan. Kalau tidak PLN akan kesulitan membeli listriknya. Dia enggak akan bisa jual,” ucap Fabby. Peneliti Ekonomi-Energi Universitas Gajah Mada (UGM), Fahmy Radhi, mengatakan, megaproyek 35 ribu MW bisa saja dilanjutkan pemerintah. Asalkan, kata dia, realisasinya harus diundur atau paling tidak harus berbarengan dengan pesatnya pertumbuhan foreign direct investment atau penanaman modal asing. Sebab, industri juga butuh kepastian ketersediaan energi agar ongkos bahan bakar yang mereka gunakan tidak terlampau mahal. “Kalau asumsinya enggak tercapai, cukup undur waktunya aja. Kalau listrik enggak tumbuh saat industri bertambah bisa ada keterlambatan,” ucap Fahmy saat dihubungi reporter Tirto Senin (14/10/2019). Terlepas ada kekeliruan membuat prediksi di awal, Fahmy berpandangan lembaga terkait seperti Kemenperin, Kemendag, dan BKPM perlu ikut bertanggung jawab. Menurutnya jika pertumbuhan industri Indonesia terjaga dan pesat maka proyek ini seharusnya tidak mengalami masalah realisasi. “Periode kedua Jokowi harus bisa benahi kerja kementerian terkait untuk mendorong investasi di industri. Jadi ada permintaan listrik,” ucap Fahmy. “Soal ini memang bukan urusan PLN tapi kementerian terkait yang harus bisa genjot investasi dan industri,” pungkasnya.

Artikel asli: https://tirto.id/ejJH

Aksi Mitigasi Perubahan Iklim yang lebih Ambisius

IESR Terus Mendorong Pemerintah Indonesia untuk Melakukan Kegiatan Mitigasi Perubahan Iklim yang Lebih Ambisius dalam Mencapai Persetujuan Paris 

Jakarta, Ashley Hotel, 16 September 2019. Rekor temperatur terpanas dalam dua dekade terakhir sudah tercatat sebanyak 15 kali, yang berarti 15 tahun dalam dua dekade terakhir telah mencetak rekor temperatur terpanas secara global. Sejak akhir abad ke 19, temperatur global sudah naik sebanyak 1°C dan masih akan bergerak naik lagi jika negara-negara tidak melakukan kegiatan mitigasi yang cukup ambisius. Salah satu hal yang disetujui dalam Persetujuan Paris adalah kenaikan temperatur global tidak boleh lebih dari 2°C. Sementara itu, Laporan Khusus yang dikeluarkan oleh IPCC pada 2017 menyatakan adanya perbedaan konsekuensi dampak yang berbeda dari kenaikan temperatur 1,5°C dan 2°C. Hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan temperatur seharusnya berada di bawah 1,5°C.

Diharapkan negara-negara anggota G20, yang pada saat ini bertanggung jawab terhadap 80% dari total emisi global, dapat menunjukkan sikap yang lebih ambisius dalam menurunkan jumlah emisi gas rumah kaca serta mengatasi dampak perubahan iklim. Sebagai anggota dari Climate Transparency – suatu kemitraan internasional yang berupaya meningkatkan ambisi perubahan iklim dari negara-negara anggota G20 – Institute for Essential Services Reform (IESR) melakukan Focus Group Discussion (FGD) untuk merumuskan rekomendasi kegiatan mitigasi perubahan iklim yang ambisius di Indonesia bersama-sama dengan pemangku kepentingan terkait dari kementerian, organisasi masyarakat sipil, akademisi, serta jurnalis. 

Membuka acara FGD ini, Fabby Tumiwa (Direktur Eksekutif IESR) menyampaikan hasil laporan yang baru saja dikeluarkan Climate Analytics mengenai apa saja dampak dari kenaikan temperatur global sebesar 2°C yang akan mengancam Indonesia: peningkatan resiko banjir besar dan badai tropis. Fabby mencontohkan badai tropis Lingling pada Agustus kemarin yang memicu tinggi gelombang hingga 6 meter dan sudah membuat para nelayan di Sulawesi dan Maluku mengalami kesulitan berlayar; yang tentunya akan berdampak pada hasil pendapatan mereka. Dengan demikian, kita harus memberikan perhatian besar dalam upaya penurunan emisi di saat perekonomian kita sedang tumbuh. Di samping itu, keterlambatan mengatasi perubahan iklim akan memberikan beban ekonomi yang lebih besar. 

Ada dua sektor yang harus dibahas di dalam diskusi mengenai aksi mitigasi perubahan iklim yang ambisius, yaitu sektor energi dan sektor berbasis lahan, karena kedua sektor tersebut merupakan kontributor emisi terbesar di Indonesia. Di dalam sektor energi sendiri, ada isu ketenagalistrikan dan isu transportasi; di dalam sektor berbasis lahan, ada isu kehutanan dan gambut; dimana setiap isu masih terbagi lagi menjadi berbagai isu. Meskipun begitu, diskusi mengenai sektor energi bermuara pada dua hal yaitu pengembangan energi terbarukan dalam sektor ketenagalistrikan dan pelaksanaan efisiensi energi yang masif dalam berbagai sektor. Sementara itu, diskusi mengenai sektor berbasis lahan bermuara pada moratorium hutan alam, hutan sekunder dan gambut, restorasi gambut serta mempercepat realisasi perhutanan sosial. 

Secara umum, diskusi menyoroti bahwa komitmen dan kepemimpinan politik Presiden dalam mengatasi perubahan iklim adalah syarat mutlak dalam menunjukkan langkah mitigasi yang ambisius.

Hal ini dapat ditunjukkan oleh adanya sinkronisasi dan harmonisasi kegiatan antar kementerian/lembaga; pun sinkronisasi perencanaan pembangunan dengan penganggarannya. Sebagai contoh, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dapat duduk bersama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk menentukan apa saja kegiatan mitigasi yang dapat dilakukan secara teknis dan nyata sehingga Kementerian Keuangan dan Bappenas dapat memasukkan kegiatan-kegiatan tersebut dalam perencanaan pembangunan serta memastikan adanya anggaran negara yang disiapkan untuk berbagai kegiatan tersebut. Instrumen ekonomi seperti implementasi polluter pays principle dalam bentuk pengenaan pajak karbon diindikasi sebagai suatu instrumen ekonomi yang dapat diterapkan untuk mendukung kegiatan aksi mitigasi yang ambisius. Transparansi data dan akses informasi pun merupakan prasyarat mutlak dalam melakukan kegiatan mitigasi yang ambisius.

Di samping itu, diharapkan pembahasan pemerintah mengenai kegiatan mitigasi yang ada di dalam sektor energi dan ataupun sektor berbasis lahan dapat dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi antara satu sub-sektor dengan sub-sektor lainnya. Pengembangan energi terbarukan dan pelaksanaan efisiensi energi harus direncanakan lintas sub-sektor ketenagalistrikan dan transportasi untuk dapat mencapai target penurunan emisi dari sektor energi. Di sisi lain, perencanaan terkait moratorium pembukaan lahan dan restorasi sebaiknya melingkupi tutupan hutan alam, hutan sekunder, lahan gambut, serta konsep perhutanan sosial dalam mencapai target penurunan emisi dari sektor berbasis lahan.

Secara spesifik, ada beberapa rekomendasi yang keluar dalam diskusi ini terkait strategi dalam melakukan kegiatan aksi mitigasi perubahan iklim yang ambisius yaitu: (i) pembentukan independen regulator yang mengawasi kinerja PLN dalam melistriki dan mengembangkan energi terbarukan; (ii) perumusan skema monitoring dan verifikasi dalam pelaksanaan efisiensi energi; (iii) pendampingan dalam pelaksanaan perhutanan sosial untuk memastikan masyarakat menjaga tutupan hutan dan meningkatkan nilai ekonomi dari kehidupan yang ada di bawah tutupan hutan tersebut. 

Menutup diskusi ini, para narasumber menyatakan bahwa pihak swasta merupakan salah satu aktor yang dapat membantu pemerintah dalam upaya penurunan emisi, jadi pemerintah pun sebaiknya turut memperhitungkan para pengusaha dalam perencanaan kegiatan mitigasi. Yang dibutuhkan para investor untuk menempatkan dananya dalam investasi yang dapat menurunkan jumlah emisi adalah kepastian perizinan dan kemudahan pelaksanaan investasi, bukan subsidi.

Materi paparan kegiatan:

Direktur Eksekutif IESR

OpeningRemarks_ClimateAmbition

 

Kantor Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim

UN-CAS dan COP25 final mhs

 

Rencana Aksi Mitigasi – IESR

FGD Rencana Aksi Mitigasi Ambisius

 

Energy and Climate Mitigation – MASKEEI

Energy and Climate Mitigation ( IESR)

 

Yayasan Madani

Madani Peningkatan Ambisi Iklim Indonesia di Sektor Lahan dan Hutan

Baca juga:

https://iesr.or.id/galeri/the-ambition-call-rekomendasi-aksi-mitigasi-perubahan-iklim-yang-ambisius-di-indonesia/