Transformasi Perekonomian Indonesia menuju Net-zero Emission Economy

Brown to Green Report 2019: 

Strategi Transformasi Perekonomian Indonesia menuju Net-zero Emission Economy dalam Menangani Perubahan Iklim sebagai Upaya Pencapaian Paris Agreement

Jakarta, 19 November 2019 — IESR. Emisi karbon dari negara-negara G20 terus meningkat sebagai akibat dari tingginya penggunaan bahan bakar fosil dalam penyediaan energi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Bahkan, tidak satupun dari mereka memiliki rencana penurunan emisi karbon yang selaras dengan pembatasan kenaikan suhu bumi sebesar 1.5°C. Meskipun mereka memiliki kemampuan teknis dalam meningkatkan upaya pencegahan perubahan iklim dalam mencapai target Paris Agreement, rencana aksi mitigasi yang ada di dalam dokumen NDC negara-negara G20 tidak ada yang menempatkan mereka berada di jalur 1.5°C.

Apabila negara-negara G20 tidak melakukan peningkatan ambisi iklimnya dan melakukan transformasi perekonomian, dan dengan dokumen NDC yang ada saat ini, suhu bumi akan meningkat lebih dari 3°C. Pembatasan kenaikan suhu bumi sebesar 1,5°C diindikasi akan mengurangi dampak negatif di berbagai sektor di negara G20 lebih dari 70%. Kerugian yang saat ini dilanda oleh negara G20 akibat perubahan cuaca yang ekstrim yakni kematian sebanyak 16.000 jiwa dan kerugian ekonomi sebesar US$ 142 triliun setiap tahunnya. 

Semua negara anggota G20, termasuk Indonesia, dapat meningkatkan ambisi iklimnya dalam upaya penurunan emisi karbon dan mencapai net-zero emission economy untuk mencapai Paris Agreement, dengan langkah yang taktis dan komitmen serta kemauan politik yang kuat. Hal ini merupakan salah satu pesan kunci dari Brown to Green Report 2019: The G20 Transition Towards a Net-Zero Emissions Economy yang diluncurkan oleh Institute for Essential Services Reform di Jakarta pada 19 November 2019. Peluncuran laporan yang diikuti dengan diskusi panel ini dihadiri sedikitnya 140 peserta yang berasal dari kementerian dan lembaga pemerintah, organisasi non-pemerintah, pelaku bisnis, asosiasi, akademisi, dan masyarakat umum, serta rekan-rekan jurnalis.

Laporan Brown to Green 2019 merupakan sebuah laporan tahunan yang disusun oleh Climate Transparency dengan didukung oleh Federal Ministry of Environment Nature Conservation and Nuclear Safety. Dengan menggunakan 80 indikator penilaian terkait adaptasi, mitigasi dan pembiayaan perubahan iklim untuk dapat mencapai target 1,5°C, laporan ini mengukur aksi iklim dari negara-negara G20 dan bagaimana proses transisi mereka menuju net-zero emissions economy. Sebagai anggota dari kemitraan Climate Transparency, IESR mengukur kinerja Indonesia dalam upaya mengatasi perubahan iklim serta bagaimana Indonesia dapat melakukan transisi perekonomiannya, dibandingkan dengan negara anggota G20 lain.

Membuka acara ini, Fabby Tumiwa (Direktur Eksekutif IESR) menyampaikan bahwa laporan ini memperlihatkan Indonesia masih cukup tertinggal dalam upaya mencapai Paris Agreement. Oleh karena itu dibutuhkan strategi pembangunan dan investasi untuk mendorong perekonomian Indonesia menjadi lebih hijau, khususnya investasi di pembangkit listrik, transportasi, dan industri manufaktur. Di samping itu, Indonesia membutuhkan strategi untuk membuat ekonomi Indonesia lebih resilient terhadap dampak perubahan iklim yang saat ini sudah dirasakan. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR

Ditegaskan dalam pidato pembukaan, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia, Jend. TNI. (Purn.) Luhut Binsar Panjaitan, bahwa Indonesia berkomitmen dalam penurunan emisi gas rumah kaca pada 2030 dan juga peningkatan kontribusi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi di 2025. “Indonesia berkomitmen untuk menempatkan energi baru dan terbarukan dalam kebijakan negara. Penentu kebijakan harus membuat kebijakan yang tidak mencederai anak cucu” pernyataan Luhut dalam pidatonya.

Ia pun menjelaskan beberapa strategi investasi dan bisnis yang akan diterapkan Indonesia dalam mendorong perekonomian hijau, yakni teknologi yang masuk ke Indonesia harus yang berkualitas tinggi dan ramah lingkungan; harus ada transfer teknologi yang dapat meningkatkan nilai tambah produk mentah yang menjadi komoditas ekspor Indonesia; serta investor harus mengembangkan pelatihan bagi tenaga kerja lokal. Secara khusus, ada beberapa program yang disiapkan pemerintah untuk mendorong perekonomian hijau yaitu biodiesel dan green fuel untuk non listrik, kendaraan listrik, pembangkit listrik energi terbarukan, mendekatkan industri dengan sumber energi, dan pelibatan pihak swasta dalam proyek carbon credit.

Prof. Emil Salim, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang juga turut hadir dalam peluncuran ini, memberikan Keynote Speech kedua setelah Menteri Kemenko Maritim dan Investasi. Prof Emil turut menekankan bahwa Laporan Brown to Green ini mencerminkan kenyataan yang ada mengingat kebijakan energi Indonesia sudah dicanangkan hingga ke 2050 tapi tidak ada yang menunjukkan bagaimana dampak dari emisi karbon dapat diatasi. 

Prof. Emil Salim, Guru Besar FE UI

“Persoalan climate change adalah persoalan nasional yang sedang sama-sama kita hadapi. Namun, sayangnya faktor lingkungan tidak menjadi pertimbangan penting dalam Rencana Umum Energi Nasional, tapi justru menumpukan pembangunan pada energi konvensional. Jadi pola struktur energi kita didominasi minyak bumi, batu bara dan energi terbarukan hanya kurang dari separuh. Padahal potensinya tinggi. Jika kita merasa Rencana Umum Energi Nasional tersebut tidak tepat maka keinginan saya adalah, bagaimana komposisi energi terbarukan bisa dapat tingkatkan.” ujar Prof. Emil Salim.

Senior ekonom Indonesia ini pun menyoroti peran PLN sebagai BUMN yang menilai bahwa pihak swasta tidak dapat mengembangkan sumber energinya dengan alasan perizinan yang hanya dimiliki oleh PLN, sehingga teknologi pembangkit listrik surya atap masih terhambat hingga saat ini.Beliau menekankan bahwa laporan IESR ini harus dijadikan sebagai lampu kuning bagi seluruh pemangku kebijakan tak sekedar dokumen untuk dibaca. Indonesia tertinggal dalam urusan yang terkait dengan climate change, kebijakan energi sebagai alternatif harus segera dibuat, imbuhnya. 

Erina Mursanti, Program Manager IESR – Green Economy

Beberapa poin penting dalam paparan kedua keynote speech tersebut, selaras dengan isi dari laporan Brown to Green yang dipaparkan langsung oleh Manajer Program, Green Economy, IESR, Erina Mursanti. Laporan ini memperlihatkan posisi Indonesia untuk menuju 1,5°C berdasarkan compatible fair share emission ranges yang merupakan analisa adaptasi dari metodologi Climate Action Tracker yang juga merupakan mitra internasional dari Climate Transparency. Metodologi ini tidak memasukkan LULUCF emission karena tidak semua negara G20 memiliki emisi dari LULUCF (Land Use, Land-Use Change and Forestry) atau penggunaan lahan dan hutan. 

“Sekalipun semua kegiatan mitigasi yang ada di dalam dokumen NDC Indonesia dilaksanakan, negara ini tetap berada pada jalur suhu bumi 3°C atau bahkan 4°C, jadi bisa disimpulkan kita masih berada jauh dari jalur 1,5°C.” terang Erina, memaparkan salah satu hasil laporan ini. Laporan ini menunjukkan, selama tahun 2019, ada dua kemajuan Indonesia dalam melakukan transformasi perekonomian yakni adanya peraturan presiden mengenai kendaraan listrik serta pembentukan badan pengelola dana lingkungan hidup terkait upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Meskipun demikian, sayangnya Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PLN 2019-2028 menunjukkan bahwa kontribusi dari batubara dalam pembangkit listrik naik sebesar 0,2% dibandingkan dengan rencana tahun lalu. 

Terkait rencana pembangunan jangka panjang, laporan ini menemukan bahwa Indonesia belum memiliki rencana pembangunan jangka panjang yang terintegrasi dengan rencana penurunan jumlah emisi gas rumah kaca. Indonesia telah mengeluarkan studi low carbon development initiative namun studi ini belum didokumentasikan secara resmi sebagai dokumen pembangunan pemerintah Indonesia. 

Dilaporkan bahwa Indonesia sudah memiliki target kontribusi energi terbarukan dalam sektor ketenagalistrikan, namun implementasi upaya pencapaian target tidak koheren dengan beberapa kebijakan yang sudah ada. Namun Indonesia belum memiliki target atau kebijakan terkait penghapusan batubara secara bertahap, padahal indikator ini merupakan faktor penting demi menanggulangi perubahan iklim. 

Dalam sektor transportasi, hanya satu hal yang cukup bagus dimiliki oleh Indonesia yaitu adanya beberapa instrumen yang mendukung pengalihan pengguna kendaraan pribadi ke kendaraan umum. 

Indonesia belum mempunyai instrumen pembiayaan perubahan iklim yang cukup memuaskan. Catatan penting dari temuan ini adalah Indonesia masih memberikan subsidi kepada bahan bakar fosil yang sangat besar. Demi tercapainya suhu bumi pada 1,5°C Indonesia harus mulai menghapus subsidi tersebut dan memperkenalkan skema pajak karbon. Dana APBN juga semestinya sudah tidak digunakan lagi untuk membiayai proyek – proyek berbahan bakar fosil. Strategi pembangunan jangka panjang Indonesia harus diperjelas agar dapat mengakomodasi pembiayaan jangka panjang untuk perubahan iklim. 

Sebelum menutup paparannya, Erina Mursanti mengingatkan bahwa demi meningkatkan Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia dan untuk berada di jalur 1,5°C, ada tiga hal yang dapat dilakukan negara yaitu: (a) Mengurangi jumlah Pembangkit Tenaga Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan menaikkan kontribusi energi terbarukan tiga kali lipat pada sektor ketenagalistrikan pada tahun 2030. Hal ini sangat penting menurut Erina, karena: merupakan solusi yang layak (mungkin dilakukan) secara teknis tanpa mengurangi keandalan jaringan transmisi (jika daya energi terbarukan sangat besar). Komitmen dan kemauan politik (political will) dalam hal ini sangat dibutuhkan. (b) Meningkatkan tingkat efisiensi dari peralatan rumah tangga & industri termasuk penerangan karena hal ini berkontribusi sekitar 25 GW pada tahun 2030. (c) Indonesia harus melakukan moratorium pembebasan lahan hutan secara permanen termasuk untuk hutan primer, sekunder dan restorasi hutan gambut. 

 

(dari Kiri ke Kanan) Dr. Yose Rizal Damuri, Kepala Departemen Ekonomi, CSIS, Erina Mursanti, Program Manager Green Economy, IESR, Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Kemenko Marves, Dr. Saleh Abdurrahman, Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Lingkungan Hidup dan Tata Ruang, KESDM, Kuki H. Soejachmoen.

Galeri acara Peluncuran Brown to Green 2019:

Diskusi Panel: Strategi Indonesia menuju Perekonomian Nir Emisi pada 2050

Menindaklanjuti hasil laporan ini, diskusi panel pun dilakukan dengan mengusung topik Strategi Indonesia Menuju Perekonomian Nir Emisi pada 2050 dan menghadirkan para panelis yang terdiri dari: Kepala Departemen Ekonomi, Center for Strategic and International Studies (CSIS) – Yose Rizal Damuri; Direktur Mitigasi Perubahan Iklim, Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan – Emma Rachmawati; Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Lingkungan Hidup dan Tata Ruang – Saleh Abdurrahman; dan Direktur Eksekutif, IESR – Fabby Tumiwa.

Yose Rizal Damuri, dalam hal ini mengaitkan political will dengan dinamika sosial politik Indonesia yang tidak banyak terafiliasi dengan isu lingkungan. Survei CSIS yang dilakukan di awal tahun mengenai persepsi sosial dan politik terhadap isu emisi menemukan bahwa hanya 1,68% dari 2.000 responden Indonesia yang menjawab bahwa isu lingkungan merupakan salah satu prioritas pembangunan. Yose melanjutkan, di ranah politik, sayang sekali hanya satu partai yang memasukkan kata lingkungan dari visi misi mereka namun sayangnya partai ini tidak masuk ke dalam DPR. Sangat disayangkan politisi – politisi belum banyak berperan di seputar isu lingkungan, padahal mereka punya peran penting dalam memberikan legalitas demi dukungan pendanaan.

Mengamini pernyataan Prof. Emil Salim di keynote speechnya, Yose juga menilai bahwa PLN masih menjadi salah satu penghalang utama untuk pengembangan teknologi energi terbarukan yang berhubungan dengan kelistrikan, karena semestinya menurut Yose, PLN seharusnya bertindak sebagai penyedia jasa bukan sebagai regulator. Political will pun sangat dibutuhkan dalam memecahkan kendala regulasi yang menghambat pengembangan energi terbarukan seperti solar rooftop atau kendaraan listrik.

Menurut pandangan KLHK yang disampaikan oleh Direktur Mitigasi Perubahan Iklim, Emma Rachmawati, kemampuan ekonomi yang dimiliki negara-negara G20 berbeda dari satu dengan yang lainnya. “Kenapa negara berkembang seperti Indonesia kemudian dituntut untuk increase ambition? Indonesia juga mempertanyakan, negara maju penuhi dulu kewajiban nya, jangan lalu dibagi rata menjadi beban negara berkembang.”

“KLK saat ini sedang dalam proses penyusunan roadmap implementasi NDC, dimana NDC dirinci dalam kegiatan di sub-sektor untuk masing-masing sektor. Kita sudah pilah mana yang kemudian bisa dikontribusikan oleh Provinsi dan Kabupaten/ Kota, kemudian oleh swasta, sudah ada dalam road map tersebut. Kemudian juga kemarin kita sudah diskusi mengenai carbon pricing dan bagaimana peran swasta untuk pasar karbon.” imbuh Emma Rachmawati.

Di kesempatan yang sama, Saleh Abdurrahman, Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Lingkungan Hidup dan Tata Ruang, merespon wajar jika Indonesia belum mencapai target NDC karena, menurutnya, pertumbuhan GDP Indonesia masih rendah; sehingga kesejahteraan masyarakat Indonesia harus didahulukan dengan terus menumbuhkan sektor manufaktur. Untuk mencapai kesejahteraan Indonesia itu harus bisa menjamin kesejahteraan sosial, maka sektor manufaktur harus terus tumbuh. Sektor manufaktur mendapatkan nilai tambah yang tinggi dan bisa menjangkau pekerja baru sampai 200-300 ribu orang. 

Saleh pun menyatakan bahwa pemerintah tidak dapat melihat kebijakan dalam kurun waktu tahunan (yearly basis), karena kebijakan energi pada khususnya menyangkut sektor riil, dan harus mempertimbangkan faktor ekonomi. Strategi sektor energi dalam menuju nir emisi dapat dilakukan dengan: (i) mencari sumber energi yang memiliki big impact seperti biofuel, (ii) mengoptimalkan energy efficiency, (iii) memaksimalkan PLTS, PLTP, PLTA karena bisa mendorong ekonomi lokal.

Fabby Tumiwa, dalam sesi diskusi panel menyatakan Indonesia sebagai anggota negara G20 tentunya memiliki kondisi ekonomi yang berbeda dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat, trajectory yang ada dalam NDC menunjukkan jika kita belum di jalur 1,5°, namun ada di jalur 3° – 4°C dikarenakan Indonesia meningkatkan pembangkit dari minyak bumi cukup masif, dimana sebagian besar dari pembangkit ini baru mulai beroperasi setelah 2023 – 2030 dengan berkekuatan 35.000 MW, meski Indonesia sudah memiliki aset pembangkit energi terbarukan namun tidak on-track sesuai target. Long-term decarbonisation menjadi catatan penting untuk pemerintah Indonesia khususnya BAPPENAS, KLHK dan sektor lain untuk membahas bagaimana target 2050

“Tidak hanya target-target mau turun berapa, tetapi kapan emisi akan peak dan kapan kita bisa mencapai net-zero emission. Ini penting karena bisa melihat apakah kita compatible dengan Paris Agreement.” imbuh Fabby. 


Brown to Green Report 2019 diluncurkan di Jakarta, Hotel Pullman Thamrin 19 Desember 2019.

Materi paparan dari kegiatan ini dapat di unduh di laman agenda 

Anda juga dapat mengunduh: 

Laporan Lengkap Brown to Green 2019 (Bahasa Inggris)

Ringkasan Eksekutif dan Profil Indonesia (Bahasa Inggris)

Laporan Brown to Green 2019 Profil Indonesia (Bahasa Indonesia)

Indonesia ‘must stop building new coal plants by 2020’ to meet climate goals

2 December 2019

JAKARTA — Indonesia must stop building new coal-fired power plants by 2020 if it wants to do its part to cap global warming under the targets of the Paris climate agreement, new analysis shows.

The country is one of the few still actively planning and constructing new plants, putting it on a trajectory to miss its climate commitments, aimed at limiting global warming to 1.5 degrees Celsius (2.7 degrees Fahrenheit) above pre-industrial levels and achieving net-zero greenhouse gas emissions by 2050.

In an analysis of four scenarios, carried out by the Institute for Essential Services Reform (IESR), a Jakarta-based think tank, only one would see Indonesia contribute to those goals — and it starts with scrapping the dozens of coal-fired power plants being built or planned.

Achieving that goal, the IESR says, “would require that there are fewer coal plants installed capacity in Indonesia,” including “no more coal plants … built after 2020.”

“The 1.5 [degree] scenario would even need 2 gigawatts less of coal plant installed capacity from current existing capacity by 2020, meaning coal plant phase-out should happen this year,” it adds.

That scenario sees burning of coal phased out altogether by 2048 and the country’s total emissions peak by 2028 at 274 million tons of carbon dioxide equivalent (CO2e) before declining to zero by 2048.

A second, less stringent, scenario projects capping global warming at 2 degrees Celsius (3.6 degrees Fahrenheit) above pre-industrial levels. It too would require stopping building new coal-fired power plants by 2020.

The other scenarios are less ambitious in scope, such as retiring coal plants older than 30 years, and improving the efficiency of existing plants. But these scenarios would mean Indonesia falling short of its climate commitments and contributing to a global temperature rise of 2 to 3 degrees Celsius (3.6 to 5.4 degrees Fahrenheit).

And even then, said IESR executive director Fabby Tumiwa, “we still won’t reach net-zero emissions” by 2050.

The Cilacap coal power plant is located near a port for local fishermen. Image by Tommy Apriando/Mongabay-Indonesia.

Coal building spree

A landmark report by the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) last year warned that the world had until 2030 to cap global warming at 1.5 degrees Celsius to avoid catastrophic climate change impacts. In practice, this means global greenhouse gas emissions will have to drop by half over the next 10 years and reach net-zero around mid-century.

Much of Indonesia’s emissions to date have come from deforestation and land use change, particularly the burning of carbon-rich peatlands to make way for plantations of oil palm, pulpwood, and rubber. But under the current administration’s ambitious energy push, emissions from electricity generation are poised to dominate.

The country’s energy consumption growth is among the fastest in the world, and the government is relying mostly on coal-fired plants to feed that demand. In 2018, coal accounted for 60 percent of Indonesia’s energy mix.

Under the government’s latest electricity procurement plan, the installed capacity of coal plants in the country is expected to nearly double over the next decade from the current 28 gigawatts. Thirty-nine coal-fired power plants are currently under construction, and 68 have been announced, which will maintain coal’s dominance of the energy mix at nearly 55 percent by 2025.

Of six new power plants expected to go online this year, three are fired by coal. (The other three are small-capacity facilities powered by natural gas, hydro and solar, respectively.)

This trajectory risks trapping Indonesia in a high-carbon economy, says the IESR’s Fabby, because once a coal plant is built, it can remain in operation for up to 50 years.

“If we build fossil fuel infrastructure today, the emissions for the next half a century will be locked,” he said. “It’s estimated that our emissions from power plants will be at 700 to 800 million tons of CO2 in 2030.”

Coal spill from July 2018 along a beach in Indonesia’s Aceh province in Sumatra. Image by Junaidi Hanafiah/Mongabay-Indonesia.

Regional outlier

Indonesia’s coal plant building spree makes the country an outlier in Southeast Asia, where governments are increasingly taking a stand against the fossil fuel. Recent analysis by the Global Energy Monitor (GEM) identifies Indonesia as the only country in the region to build new coal energy infrastructure in the first half of 2019.

Thailand in January removed two major coal plants, the 800-megawatt Krabi and 2,200 MW Thepa facilities, from its energy development plan. It also shelved the 3,200 MW Thap Sakae project due to community resistance. The country’s plan also reduces the share of coal in the energy mix from 25 percent envisaged in the previous plan to just 12 percent.

Instead, Thailand is making a major pivot toward clean energy, announcing an ambitious plan to build the world’s largest floating solar farms to power Southeast Asia’s second-largest economy.

In the Philippines, which faces a similar challenge to Indonesia of meeting fast-growing demand for cheap electricity, President Rodrigo Duterte recently called on his department of energy to fast-track the development of renewable energy and reduce dependence on coal. In practice, however, the government still hasn’t issued an executive mandate that would compel the energy department to change its coal-dependent roadmap. And in October, Duterte inaugurated the country’s 21st coal-fired power plant.

And while the region as a whole is home to three of the world’s top 10 biggest networks of planned coal power plants, construction of new plants in Southeast Asia has actually fallen dramatically since peaking at 12,920 MW new installed capacity in 2016, according to the GEM. In 2018, only 2,744 MW of new coal-fired capacity entered into construction.

Christine Shearer, the director of the GEM’s coal program, said coal had become increasingly less attractive for investors in Southeast Asia.

“Coal power is facing something of a perfect storm,” she said. “Communities are rejecting it due to the high levels of pollution, renewable energy technology is undercutting it in terms of quality and cost, and financial institutions are backing away fast, making funding an increasing challenge for coal proponents.”

A worker walking by rows of solar panels at the Kayubihi Power Plant in Bangli, Bali. The Kayubihi Power Plant is the only solar-powered plant operating in Bali out of a total of three plants. Image by Anton Muhajir/Mongabay Indonesia.

Lack of renewable-friendly policies

While the IESR analysis makes clear that Indonesia must begin phasing out coal power as soon as possible if it wants to contribute to the global climate effort, Fabby said doing so will be challenging without a clear exit strategy. He noted that coal mining is an industry that generates significant revenue and jobs for several provinces.

“Of course coal power plants can’t just be closed down, because there’s going to be economic and financial consequences,” Fabby said. “We need energy transition. We also need to anticipate the economic consequences that might happen.”

While the government plans to increase the share of renewables in the energy mix from 7 percent at present to 23 percent by 2025, progress has been sluggish. There are currently no carbon disincentives to encourage investment in renewable energy, while coal-fired power plants continue to receive hefty subsidies.

The government has hitched its renewable wagon to biofuel made with palm oil — a controversial decision, given the deforestation attendant in the production of much of the country’s palm oil.

Fabby pointed to a key omission in the renewable transition for Indonesia, the only country in Asia that lies on the equator: solar power, which remains largely unexploited.

“What we need is the political will,” he said. “For example, Vietnam, in a matter of 12 months they built 4.5 GW of solar. Countries like Vietnam can do it. The key is for the government [in Indonesia] to have the political will, feed-in tariffs and [attractive] prices so that investors can enter.”

Vietnam has turned into a solar power champion in the region, hitting its solar target six years early thanks to the government’s feed-in tariff that ensures a price of 9.35 U.S. cents per kilowatt-hour — thereby giving producers a financial incentive to invest in the sector.

As a result, Vietnam is experiencing a solar boom, with energy consultant Wood Mackenzie predicting the country’s installed solar capacity will reach 5.5 GW by the end of 2019, representing 44 percent of the total for Southeast Asia.

Last year, Vietnam’s installed solar capacity was just 0.134 GW.

Indonesia can also look to India’s transition as an example, said Lauri Myllyvirta, the lead analyst at the Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA). Both countries share similar demographics and a reliance on coal in their energy mix. India, however, has had greater success developing its renewables and easing away from coal, thanks to competitive auctions, according to Myllyvirta.

“So you make renewable energy providers compete for the lowest price and scale up the industry to bring down cost,” he said.

But with no policies in place in Indonesia to bring down the cost of renewables, development of clean energy alternatives will remain expensive, he said.

“If I drink a cup of coffee or eat rice in Australia, the cost is 10 times more expensive [than in Indonesia],” Myllyvirta said. “But if I want to build a solar PV, it’s more expensive in Indonesia. So we can see that the condition [for renewables] in Indonesia isn’t optimal yet. And this isn’t caused by geographical condition, because Indonesia has a lot of sun.”

Kuntoro Mangkusubroto, a former energy adviser to the Indonesian government and now head of the IESR-affiliated Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), agreed that Indonesia risked being left behind in the global transition from coal to renewables without a drastic change in its policies.

“There needs to be a regulation that’s revolutionary,” he said as quoted by local media. “In a short time, coal will become the enemy of the world. Yet Indonesia still depends on coal for its power plants. This has to change immediately.”

Note: This article is adapted from an article published on Nov. 10, 2019, at our Indonesian website: https://www.mongabay.co.id/2019/11/10/bangun-pltu-dan-lepas-hutan-bakal-gagalkan-komitmen-iklim-indonesia-bagaimana-cara-capai-target/

 

Artikel Asli