Cerahkan rumahmu demi masa depan bumi yang lebih cerah

Cerahkan Rumahmu demi Masa Depan Bumi yang lebih Cerah

Ditulis oleh Malmal ‘Amalia Juara 2 dalam lomba menulis blog The Ambition Call, yang di laksanakan oleh IESR dan Climate Transparency.

Pengeluaran rumah tangga kian hari kian meningkat. Semua harga kebutuhan yang bertambah membuat setiap orang harus berpikir keras mengolah keuangannya. Sedikit cerita dari kisah keluarga kami mengakali pengeluaran untuk kebutuhan. Desain rumah diperbaiki untuk memanfaatkan energi alam. Penggunaan atap transparan pun menjadi terobosan baru dalam rangka menurunkan penggunaan lampu.

Pemanfaatan sinar matahari langsung masuk ke dalam rumah dapat menjadi sumber utama penerangan saat siang hari. Jumlah sinar matahari yang didapatkan pun ditingkatkan dengan memaksimalkan penggunaan jendela berukuran besar. Penerangan menggunakan listrik menjadi tidak diperlukan lagi di siang hari.  sudah lebih dari 15 tahun kami memanfaatkan sumber cahaya ini. Dengan semakin meningkatnya tarif listrik dan semakin banyaknya kebutuhan rumah tangga, alih-alih hanya memadamkan lampu, keluarga pun memutuskan untuk tidak menggunakan listrik selama 1 hingga 2 jam pada rentang pukul 9 pagi hingga 12 siang. Selama 1 hingga 2 jam tersebut, rumah kami menjadi bangunan dengan zero energy.  Semacam earth hour yang dilakukan setiap hari.

Apakah tidak merasa gerah?

Pertanyaan yang paling sederhana ini pun mencuat. Jawabannya tentu tidak karena ada air conditioner alami. Jendela rumah yang besar disertai ventilasi udara yang mumpuni membuat aliran udara selalu masuk ke dalam rumah. Rumah kami juga dikelilingi pagar hijau yaitu pagar dari tanaman sehingga lebih teduh, salah satu bentuk nyata brown to green.

Tidak kami sangka ternyata langkah ini merupakan salah satu penerapan pemanfaatan sumber energi terbarukan, dalam hal ini sinar matahari. Awalnya hanya ide untuk menekan pengeluaran justru berujung baik untuk lingkungan. Yuk, kita kenalan dengan energi terbarukan!

Apa itu sumber energi terbarukan?

Sumber energi terbarukan berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 53 Tahun 2018 adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber energi berkelanjutan jika dikelola dengan baik antara lain panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut.

Lantas, apa bedanya dengan sumber energi yang selama ini kita gunakan?

Begini. Begini. Semua kegiatan sehari-hari kita yang menggunakan energi seperti alat-alat elektronik, penggunaan gas elpiji, bahan bakar kendaraan, semuanya bersumber pada energi fosil yaitu minyak bumi, batu bara, dan gas alam. Poin pentingnya adalah sumber energi ini jumlahnya terbatas dan berdampak buruk terhdap lingkungan. Pembakaran energi fosil menghasilkan emisi gas rumah kaca seperti karbondioksida yang bersifat merusak lingkungan dan atmosfer. Suhu global pun turut meningkat drastis karena ini sehingga menyebabkan terjadinya pemanasan global. Nah, terkuak sudah tabir pengetahuan penyebab suhu bumi kian hari kian meningkat.

Cerminan Energi Terbarukan di Indonesia

Indonesia sebagai negara tropis yang dilewati garis khatulistiwa, diberkahi dengan waktu penyinaran matahari yang cukup lama per harinya. Data dari global solar atlas menunjukkan bahwa energi surya yang didapatkan di seluruh wilayah Indonesia berkisar antara 3,6-6 kWh per meter kuadrat dengan rata-rata keseluruhan 4,8 kWh per meter kuadrat. Wilayah Indonesia tengah seperti Kepulauan Nusa Tenggara dan Sulawesi serta sebagian Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi daerah dengan energi surya terbanyak. Sayang sekali jika anugerah ini tidak dimanfaatkan, bukan?

Pada kenyataannya, anugerah kekayaan ini belum mendapatkan perhatian yang serius di negara kita. Hal tersebut terlihat sejak 4 tahun terakhir dimana kapasitas pembangkit listrik yang bersumber dari energi terbarukan masih jauh dari angka yang memuaskan, yaitu hanya bertambah 960 MW. Energi terbarukan yang menjadi penyumbang terbanyak secara berurutan yaitu energi tenaga panas bumi, diikuti oleh energi mini/mikro hidro, bionergi, dan bayu atau angin. Bahkan energi surya belum dimanfaatkan selayaknya. Jumlah ini menurun dari 4 tahun sebelumnya. Pada tahun 2010-2014, setiap tahunnya kapasitas pembangkit energi terbarukan rata-rata bertambah 523 MW (0,52 GW). Target yang dicanangkan pada tahun 2025 yaitu sebesar 45 GW sepertinya semakin suram karena pembangunan pembangkit energi terbarukan kian melambat.

Pemanfaatan Sinar Matahari Sebagai Sumber Penerangan Utama

Memaksimalkan penggunaan cahaya matahari sebagai sumber penerangan merupakan upaya pemanfaatan sumber daya terbarukan ini. Kini sudah semakin trend desain rumah dengan tema dekat dengan alam. Penggunaan atap transparan dan jendela yang besar (seperti yang penulis ceritakan tentang rumahnya) dalam dunia arsitektur pun dikenal dengan istilah skylight.

Wah mahal dong perlu ganti ini itu?

Semampunya saja. Ini bisa dianggap sebagai investasi. Memang perlu keluar dana di awal namun setelahnya terasa lebih hemat saat membayar listrik karena sudah menekan penggunaan energi listrik setiap harinya.

Kenapa terlalu sibuk memanfaatkan sinar matahari? Jadi untuk apa dulu Bapak Thomas Alva Edison menciptakan lampu sebagai alat penerangan?

Perlu kita ketahui, bahkan Tuan Edison sendiri sudah menyadari pentingnya tenaga surya dalam bauran energi masa depan dunia dan bahaya ketergantungan yang berlebihan pada bahan bakar fosil sejak masa hidupnya jauh sebelum pemanfaatan energi fosil besar-besaran seperti sekarang.

“Kita seperti petani penyewa yang memotong pagar di sekitar rumah untuk bahan bakar ketika kami seharusnya menggunakan sumber energi alami yang tidak habis-habisnya – matahari, angin dan pasang surut air laut. Saya akan menaruh uang saya pada cahaya matahari dan energi matahari. Sungguh sumber kekuatan yang luar biasa! Saya harap kita tidak perlu menunggu sampai minyak dan batubara habis sebelum kita mengatasinya. “.  Thomas Alva Edison -1931.

Penemu lampu saja sudah mewanti-wanti kita untuk lebih setia terhadap sumber energi alami seperti sinar matahari ketimbang menggunakan temuannya.

Sinar Matahari sebagai Energi Solar Penghasil Listrik

Selain memanfaatkan sinar matahari untuk penerangan, sinar matahari dapat diubah menjadi energi listrik melalui penggunaan panel surya. Panel surya ini dapat dipasang di tempat yang mendapatkan banyak cahaya matahari seperti di atap atau yang dikenal dengan nama surya atap (rooftop solar). Pemanfaatan energi surya dengan acara ini masih memiliki banyak kekurangan yang dibahas dalam laporan IESR dan kami rangkum dalam dua poin utama, yaitu:

1. Rooftop solar masih menjadi istilah asing yang kurang terdengar gaungnya. Kurangnya sosialiasi mengenai manfaat energi surya sebagai energi terbarukan menyebabkan minimnya pengetahuan dan minat masyarakat menggunakan panel surya di rumahnya.

2. Pemasangan panel surya yang membutuhkan tenaga profesional dan dana yang tidak sedikit sertaeterbatasan penyedia instalasi dan layanan yang kredibel.Solusi yang saya ajukan dari kedua poin utama di atas yaitu:

Selagi menunggu tindak lanjut dari yang berwenang, kita sebagai masyarakat tidak perlu menunggu dalam diam. Sekarang sudah banyak ditemui powerbank yang dilengkapi dengan panel surya seperti yang dipamerkan dalam Buletin Energi Kita milik IESR Juli lalu. Powerbank akan terisi ketika terpapar sinar matahari. Biasanya alat ini dilengkapi dengan penggantung sehingga saat beraktivitas di luar ruangan, cukup gantungkan saja di luar tas maka powerbank ini akan mengisi energinya. Ini salah satu bentuk penggunaan panel surya sebagai sumber energi dalam skala kecil  namun langsung dapat dirasakan manfaatnya.

Kesimpulan

Semakin hari dampak pemanasan global semakin terasa. Hal ini tidak lepas dari campur tangan manusia melalui kegiatannya yang menggunakan energi tidak terbarukan yaitu energi berbahan dasar fosil. Manusia sebagai penduduk bumi harus bersama-sama memikirkan masa depan bumi demi anak cucunya kelak melalui Climate Action, aksi terhadap perubahan iklim. Pemanfaatan energi terbarukan mulai digalakkan di seluruh dunia termasuk Indonesia. Energi yang berasal dari sinar matahari adalah satunya. Pengetahuan cara pemanfaatan energi solar melalui panel surya ini masih begitu minim. Padahal energi solar ini sangat kaya bila dapat diubah menjadi energi listrik. Kurangnya sosialisasi dan sedikitnya fasilitas pemasangan menjadi kendala utama. Sebuah kenyataan yang begitu disayangkan mengingat negara kita merupakan negara tropis yang berarti mendapat sinaran cahaya matahari cukup lama per harinya. Sinar matahari juga dapat dimaksimalkan masyarakat dengan mengubah huniannya. Penggunaan skylight rooftop dan penempatan jendela berukuran besar dapat menekan energi listrik yang digunakan untuk penerangan. Gaya ramah lingkungan ini juga menghemat pengeluaran rumah tangga. Dengan begini, masyarakat yang belum tersentuh dengan penggunaan panel surya juga dapat berperan aktif menyelamatkan bumi dan menjadikan bumi kembali hijau, brown to green.

Artikel asli


Follow Amalia di Twitter dan Instagram @yoayokka

Referensi
– IESR. Buletin Energi Kita. Juli 2019.
– IESR. Energi Surya untuk Kota: Analisa Potensi Pasar dan Rekomendasi untuk Akselerasi Pengembangan Rooftop Solar di Dua Kota Metropolitan di Indonesia. Juli 2019.
– IESR(Blog). Refleksi Perkembangan Energi Terbarukan Indonesia di 2015-2018 dan Prospeknya di 2019. Januari 2019.
– Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 53 Tahun 2018- globalsolaratlas.info
– Pengaturan Penghawaan dan Pencahayaan Pada Bangunan dalam http://arsitekturdanlingkungan.wg.ugm.ac.id. 2015.
– Thomas Edison- Solar Power Visionary dalam energymatter.com. 2010.

Berani Hemat Pakai Cokelat?

Berani Hemat Pakai Cokelat?

Ditulis oleh Adhi Nugroho Juara 3 dalam lomba menulis blog The Ambition Call, yang di laksanakan oleh IESR dan Climate Transparency.

Energi masa depan akan bersumber dari tanaman, buah, rumput—hampir apa saja.

Tidak banyak orang percaya ketika Henry Ford—pencetus revolusi transportasi di Amerika Serikat (AS)—mengucap kalimat itu satu abad yang lalu. Namun seiring berjalannya waktu, dunia semakin sadar akan pentingnya mencari sumber energi baru.

Apa sebab? Energi fosil yang biasa kita gunakan memiliki segudang dampak negatif bagi kelestarian lingkungan. Sebut saja polusi, efek gas rumah kaca, hujan asam, hingga pemanasan global.

Selain merusak lingkungan, hasil pembakaran energi fosil juga berdampak buruk bagi kesehatan. Asap kendaraan dan pabrik di kota besar, misalnya, akan menyebabkan kita sesak napas. Itulah mengapa, kita lebih suka menghirup segarnya udara di desa atau pegunungan ketimbang di daerah perkotaan.

Lagi pula, energi fosil bukanlah komoditas abadi. Cepat atau lambat, stoknya akan habis. Kalau boleh jujur, sekarang pun kita sudah dikejar tenggat. Adalah prediksi Oxford University (2017) yang mengatakan cadangan energi fosil akan habis dalam 100—150 tahun lagi.

Sayangnya, ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil masih sangat tinggi. Kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) bertajuk Indonesia’s Coal Dynamics: Toward A Just Energy Transition menyebut komposisi bauran energi kita berasal dari minyak bumi (42,1 persen), batubara (30,3 persen), dan gas bumi (21,3 persen). Itu artinya, sekira 93,7 persen energi yang dikonsumsi di negeri ini tidak dapat diperbarui.

Upaya mengurangi ketergantungan energi fosil sebenarnya sudah lama dicanangkan. Melalui PP No.79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, pemerintah menargetkan bauran energi baru dan terbarukan (EBT) ditingkatkan menjadi 23% pada 2025.

Jika dihitung, waktu yang tersisa kurang dari 6 tahun lagi. Dalam tempo yang relatif singkat, kita harus mengejar ketertinggalan pemanfaatan EBT yang saat ini baru mencapai 6 persen saja.

Untuk itu, Climate Transparency dan IESR dalam laporan berjudul The Ambition Call merekomendasikan tiga tindakan kepada Indonesia. Salah satunya adalah menurunkan kontribusi pembangkit listrik tenaga batubara dan meningkatkan kontribusi EBT pada sektor ketenagalistrikan hingga tiga kali lipat pada 2030.

Rekomendasi tersebut sejalan dengan Perjanjian Paris yang disepakati oleh negara G20 (kecuali Amerika Serikat). Indonesia, bersama dengan negara besar lainnya, bercita-cita agar bumi yang kita pijak ini benar-benar terbebas dari emisi gas rumah kaca pada 2050 nanti.

Demi menyelamatkan bumi, berbagai Climate Action pun dilakukan. Salah satunya lewat upaya pencarian sumber alternatif EBT pengganti batubara.

Saat ini, banyak penelitian yang berhasil menemukan teknologi penghasil EBT berbahan baku zat organik. Sebut saja kelapa sawit, singkong, atau tebu. Bahkan, beberapa di antaranya sukses memanfaatkan limbah industri organik sebagai bahan baku energi alternatif.

Hanya saja, upaya Brown to Green tersebut nyatanya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebab teknologi ramah lingkungan tersebut sering kali gagal mencapai pasar. Alasannya klasik: ongkos produksinya tidak mampu menandingi murahnya harga jual batubara.

Itu sebabnya, batubara masih mendominasi pangsa bauran energi pembangkit listrik hingga saat ini. Data Kementerian ESDM pada 2017 menyebut 57,22 persen aliran listrik di Indonesia masih dipasok oleh batubara.

Oleh karena itu, mencari sumber EBT saja tidak cukup. Kita juga harus bisa menekan biaya produksi EBT hingga, paling tidak, setara dengan batubara. Syukur-syukur kalau bisa lebih hemat. Tanpa diminta, pelaku industri pasti akan melupakan batubara.

Sekarang, kita hanya perlu menjawab satu pertanyaan. Adakah sumber EBT yang memenuhi kriteria demikian?

Untuk memperoleh sumber EBT hemat, ada baiknya kita tengok hasil temuan LIPI. Belum lama ini, Dr. Dieni Mansur—seorang ilmuwan LIPI—berhasil menemukan teknologi penghasil bio-oil berbahan baku kulit cokelat.

Temuan itu ia publikasikan pada 2014 lewat jurnal bertajuk Conversion of Cacao Pod Husks by Pyrolysis and Catalytic Reaction to Produce Useful Chemicals. Menurutnya, bio-oil adalah sumber EBT yang berpotensi menggantikan kedudukan batubara sebagai sumber tenaga listrik.

Bio-oil adalah bahan bakar cair berwarna hitam pekat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Di kalangan ilmuwan, bio-oil lebih dikenal dengan nama pyrolysis-oil, mengingat teknik yang digunakan untuk menghasilkan minyak ini disebut dengan pyrolysis.

Bio-oil dikenal punya banyak manfaat. Di bidang pangan dan kesehatan, bio-oil digunakan sebagai bahan dasar pembuat cuka dan cairan antiseptik. Sedangkan di bidang energi, bio-oil lazim dimanfaatkan sebagai bahan bakar mesin pengapian terbuka, seperti mesin diesel yang digunakan pada kapal laut.

Namun demikian, manfaat yang paling berharga dari bio-oil adalah sumber bahan bakar alternatif. Dengan menggunakan mesin dan teknologi yang tepat, pembakaran bio-oil akan menghasilkan uap untuk memutar turbin penghasil energi listrik.

Kulit cokelat, sebenarnya berasal dari limbah perkebunan cokelat. Cokelat yang kita makan sehari-hari berasal dari biji cokelat. Sedangkan kulit cokelat, hampir tidak memiliki nilai ekonomis. Biasanya dijadikan sumber pakan ternak atau dibiarkan begitu saja oleh para petani cokelat.

Namanya saja limbah, pasti punya dampak buruk apabila tidak diolah. Kulit cokelat pun begitu. Bila dibuang begitu saja, kesuburan tanah akan berkurang. Mengolah kulit cokelat menjadi bio-oil, sama artinya dengan menjaga kelestarian lingkungan.

Tahun lalu, saya cukup beruntung bisa bertemu Dieni secara langsung. Sebagai analis ekonomi, saya diminta untuk menghitung biaya produksi bio-oil. Tujuannya hanya satu: untuk mengetahui apakah kulit cokelat cukup hemat untuk menggantikan peran batubara sebagai bahan baku energi listrik?

Benar saja, hasilnya cukup mencengangkan. Biaya produksi bio-oil berbahan baku kulit cokelat 20—30 persen lebih hemat dibanding batubara. Plus, tingkat kalori yang dihasilkan pun setara dengan 5.200 kcal—lebih tinggi ketimbang kandungan kalori batubara (4.400 kcal) yang lazim digunakan PLN.

Andai PLN bisa mengadopsi teknologi ini pada PLTU-nya, maka biaya produksi listrik akan jauh lebih murah. Studi IESR berjudul Kebijakan Tarif Listrik di Indonesia mengatakan harga jual listrik PLN selalu lebih rendah dibanding ongkos produksinya.

Demi menambal selisih tersebut, pemerintah terpaksa turun tangan dengan memberi subsidi. Asal tahu saja, anggaran subsidi listrik kita tidaklah sedikit. Tahun ini saja, anggaran subsidi listrik mencapai Rp59,3 triliun, naik 24 persen dibanding realisasi tahun lalu. Dengan beralih ke bio-oil, anggaran subsidi listrik bisa dikurangi.

Lagi pula, kita tidak perlu khawatir memikirkan ketersediaan kulit cokelat. Indonesia adalah negara penghasil cokelat terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Sepanjang 2017 saja, produksi cokelat kita mencapai 290 ribu metrik ton. Nilai ekspor biji cokelat pada periode yang sama mencapai 55,5 juta Dolar AS.

Fakta tersebut sekaligus mengafirmasi penelitian Rogers dan Brammer (2011). Ilmuwan asal Inggris itu berpendapat bahwa harga bio-oil bisa lebih murah ketimbang energi fosil. Asalkan, bahan baku biomassa—seperti kulit cokelat—dapat diperoleh dengan mudah dan murah.

Bukankah keunggulan komparatif ini sudah dimiliki oleh negeri kita tercinta?

Untuk mencapai target 23 persen bauran EBT pada 2025, diperlukan kesadaran bersama. Dari sisi produsen, belum banyak pelaku industri yang tertarik memproduksi EBT. Akibatnya, alat penghasil bio-oil belum diproduksi secara massal.

Andai saja jumlah produsen EBT meningkat, maka permintaan teknologi bio-oil pun akan turut meningkat. Alhasil, biaya investasi teknologi ramah lingkungan menjadi lebih efisien.

Selain itu, peran pemerintah sebagai regulator juga tidak bisa dikesampingkan. Langkah menerbitkan aturan target bauran energi jangka panjang sudah tepat. Hanya saja, insentif bagi industri yang menggunakan EBT masih sangat minim. Ini yang perlu diperhatikan bila target bauran EBT ingin tercapai.

Sama halnya dengan konsumen. Kesadaran industri untuk menggunakan EBT harus lebih ditingkatkan. Sebab manfaatnya sudah sangat jelas: ramah lingkungan, bersih, abadi, bahkan kini sudah ada yang lebih hemat.

Pada akhirnya, kuncinya kembali pada diri kita. Teknologinya sudah ada, bahan baku cokelat pun bisa didapatkan dari mana saja. Asalkan terus berusaha dan meningkatkan kesadaran sedikit saja, niscaya asa menggantikan batubara dengan kulit cokelat bukanlah isapan jempol belaka. [Adhi]

***

Artikel asli

Follow Adhi di Instagram dan Twitter @nodiharahap

 

View this post on Instagram

 

Berani Hemat Pakai Cokelat? Energi fosil yang biasa kita gunakan memiliki segudang dampak negatif bagi kelestarian lingkungan. Sebut saja polusi, efek gas rumah kaca, hujan asam, hingga pemanasan global. Upaya mengurangi ketergantungan energi fosil sebenarnya sudah lama dicanangkan. Melalui PP No.79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, pemerintah menargetkan bauran energi baru dan terbarukan (EBT) ditingkatkan menjadi 23% pada 2025. Jika dihitung, waktu yang tersisa kurang dari 6 tahun lagi. Dalam tempo yang relatif singkat, kita harus mengejar ketertinggalan pemanfaatan EBT yang saat ini baru mencapai 6 persen saja. Demi menyelamatkan bumi, berbagai #ClimateAction dan upaya #Brown2Green pun dilakukan. Salah satunya dengan mencari sumber alternatif EBT pengganti batubara. Saat ini, banyak penelitian yang berhasil menemukan teknologi penghasil EBT berbahan baku zat organik. Hanya saja, teknologi ramah lingkungan tersebut sering kali gagal mencapai pasar. Alasannya klasik: ongkos produksinya tidak mampu menandingi murahnya harga jual batubara. Sekarang, kita hanya perlu menjawab satu pertanyaan. Adakah sumber EBT yang memenuhi kriteria demikian? Temukan jawabannya lewat artikel saya berikut: https://www.nodiharahap.com/2019/09/cokelat-ganti-batubara.html atau klit tautan aktifnya di bio. Selamat membaca. @iesr.id #nodiharahapdotcom #bloggerquotes #blogger #blogpost #blog

A post shared by Adhi Nugroho (Nodi) (@nodi_harahap) on

Artikel ini diikutsertakan dalam The Ambition Call: Writing Competition yang diselenggarakan oleh IESR dan Climate Transparency.

Foto dan gambar yang ditampilkan dalam artikel ini berasal dari koleksi pribadi penulis dan situs penyedia gambar gratis Pixabay. Olah grafis dilakukan secara mandiri oleh penulis.

Referensi:

[1] IESR & Climate Transparency (2019), The Ambition Call.

[2] IESR (2019), Indonesia’s Coal Dynamics: Toward A Just Energy Transition.

[3] IESR (2019), Briefing Paper: Kebijakan Tarif Listrik di Indonesia.

[4] Bisnis.com (2018), Pembangkit Listrik, Bauran Batu Bara 57%.

[5] Ritchie H. (2017), How Long Before We Run Out of Fossil Fuels?

[6] Mansur D. et. al. (2014), Conversion of Cacao Pod Husks by Pyrolysis and Catalytic Reaction to Produce Useful Chemicals.

[7] Rogers & Brammer (2011), Estimation of the Production Cost of Fast Pyrolysis Bio-Oil.

[8] Statista (2018), World Cocoa Production by Country from 2012/2013 to 2016/2017 (in 1,000 metric tons).

[9] Bank Indonesia (2018), Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia : Nilai Ekspor Menurut Komoditas.