Harga Mahal Energi Baru Cuma Mitos

Energi konvensional yang bersumber dari batu bara hingga kini masih menjadi pilihan utama pemerintah untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. Pasalnya, energi terbarukan kerap diklaim mahal dan sulit diterapkan. Praktik baik masyarakat dalam menerapkan energi terbarukan serta riset dunia mematahkan klaim itu. Berikut laporan wartawan Harian Jogja Bhekti Suryani.

Sudah dua tahun Istiyah membuka usaha penjahitan pakaian  menggunakan mesin jahit elektrik. Ia tak pernah pusing dengan biaya produksi yang harus ia keluarkan terutama untuk membayar listrik. Perempuan 45 tahun itu hanya cukup merogoh kocek senilai Rp7.000 per 35 hari (selapanan dalam tradisi Jawa), untuk membayar jasa listrik dari usahanya menjahit.

Uang sebesar itu bahkan cukup memenuhi kebutuhan listrik di rumahnya di Dusun Kedungrong, Purwoharjo, Samigaluh, Kulonprogo, seperti lampu penerangan, menghidupkan pompa air dan lainnya. Sama seperti Istiyah, warga lainnya di Dusun Kedungrong cuma perlu membayar biaya listrik Rp7.000 untuk berbagai usaha seperti bengkel las, penetasan telur, hingga 30 lampu penerangan jalan di Kedungrong. Harga listrik yang murah itu berkat Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) yang beroperasi di Kedungrong.

“Di dalam rumah ini ada dua jaringan listrik, satu jaringan PLTMH, satu lagi listrik dari PLN,” tutur Istiyah ditemui, Minggu (22/9/2019) lalu.

Istiyah, menjahit menggunakan mesin jahit elektrik yang ditopang PLTMH./Harian Jogja-Bhekti Suryani

Selain Istiyah, ada 30 lebih keluarga lainnya di Kedungrong yang sudah merasakan manfaat listrik dari mikrohidro atau sekitar 90% dari total 46 keluarga di Kedungrong.

“Kalau listrik PLN mati, kami enggak khawatir. Di sini kalau musim hujan listrik PLN sering mati, kami santai karena listrik kami selalu menyala,” kata Suhadi, Ketua Komunitas PLTMH Kedungrong. Listrik murah itu bisa dirasakan warga sejak 2012. Berawal dari kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) UGM pada 2011.

Sekelompok mahasiswa melakukan uji coba penerapan pembangkit listrik dengan tenaga air. Kebetulan Kedungrong dilintasi irigasi Kalibawang yang berhulu di Sungai Progo. Air melimpah dari irigasi itu menggerakkan turbin yang berguna menghidupkan dinamo dan menghasilkan energi listrik.

“Awalnya 2011 belum optimal, lalu 2012 karena kami ada potensi air dan penelitian mahasiswa itu, Dinas PU [Pekerjaan Umum Perumahan dan ESDM DIY] memberi kami bantuan mesin PLTMH. Awalnya cuma lima rumah yang pakai, sekarang sudah 90 persen warga sini pakai semua,” ungkap pria yang juga berprofesi sebagai polisi itu.

Suhadi merasakan betul manfaat PLTMH. Bila biasanya ia harus membayar listrik hingga Rp270.000 sebulan untuk keperluan rumah tangga di rumahnya, kini ia cukup membayar sekitar Rp180.000-Rp185.000 ke PLN, karena sebagian besar kebutuhan listrik di rumahnya menggunakan PLTMH.

Bendahara Komunitas PLTMH Rahmat Sutedjo yakin kapasitas PLTMH yang ada saat ini masih bisa menjangkau hingga 20-an rumah yang belum teraliri listrik PLTMH. Tak ada kendala berarti yang dirasakan warga saat menerapkan PLTMH. “Kendalanya cuma sampah di sungai, kalau sampah banyak, maka putaran turbin terganggu, listrik bisa redup. Itu biasanya kalau malam hari. Jadi warga sini kompak gotong royong membersihkan sampah,” ungkap Rahmat.

Hanya saja, kata dia, untuk keperluan seperti laptop dan kulkas serta teleivisi warga disarankan menggunakan stabilisator. Sebagian besar warga memilih tetap menggunakan PLN untuk memenuhi sebagian konsumsi energi di rumahnya bila tak mau membeli stabilisator untuk mengecas laptop atau menghidupkan kulkas.

Namun Rahmat berani berhitung, sejak PLTMH berjalan di kampungnya, 50% energi listrik dari PLN yang merupakan energi kotor batu bara bisa mereka kurangi.

Suhadi (kiri) dan Rahmat Sutedjo (kanan)./Harian Jogja-Bhekti Suryani

“Kami memang belum menghitung berapa watt listrik dari PLN yang tidak lagi dipakai warga karena beralih ke PLTMH, tapi bisa dihitung dari pengeluaran biaya listrik warga ke PLN yang berkurang rata-rata hingga 50 persen sejak menggunakan PLTMH,” jelas Rahmat.

Teknisi PLTMH Kedungrong, Rejo Andoyo, berkisah bagaimana warganya kertegantungan dengan energi terbarukan itu. “Sekarang ini kalau listrik PLN mati warga enggak ribut. Tapi kalau PLTMH terganggu sedikit saja, warga sudah ribut,” ujarnya seraya tertawa.

Harga Turun

Murahnya harga listrik dari energi baru terbarukan juga dirasakan Chico Hermanu Brilianto Apribowo, dosen Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta yang juga peneliti energi terbarukan. Ia membantah energi terbarukan mahal seperti yang kerap digaungkan pemerintah yang pro-energi kotor batu bara. Chico memasang 10 keping panel surya di rumahnya dengan kapasitas masing-masing sebesar 300 watt peak. Panel surya itu juga digunakan menerangi jalan kampung.

“Sekarang itu komponen untuk panel surya terus turun. Satu keping atap panel surya untuk kapasitas 300 watt peak, harganya turun jauh tinggal Rp2,8 juta sampai Rp3 juta. Tiga tahun lalu harganya Rp5 juta-an,” tutur Chico.

Chico Hermanu juga merasakan murahnya biaya listrik yang harus ia keluarkan tiap bulannya.

“Saya memang masih pakai PLN, dulu sebelum pasang panel surya di rumah saya harus bayar listrik Rp300.000-an sebulan sekarang tinggal Rp200.000,” tutur dia.

Menurut Chico tren harga komponen panel surya turun sebesar 10-20% setahun karena semakin banyak pasar yang menyediakan komponen pembangkit listrik dari energi terbarukan itu.

Cuma Mitos

Mitos mahalnya energi terbarukan juga diungkapkan Ahmat Agus Setiawan, pakar energi baru terbarukan (EBT) dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Dalam workshop Menelaah Arti Penting Energi Terbarukan di Indonesia yang digelar di Jogja belum lama ini, Ahmad Agus Setiawan membeberkan bagaimana tren global kini perlahan meninggalkan energi kotor dan beralih ke energi terbarukan.

Selain tren biaya yang lebih murah, energi terbarukan yang bersih dan ramah terhadap lingkungan menjadi impian banyak negara. Perubahan iklim yang terus memburuk akibat energi kotor juga mendorong negara-negara di dunia beralih ke energi terbarukan seperti Matahari, angin, air dan biogas.

Agus memaparkan data tren biaya energi terbarukan dari tahun ke tahun yang dilansir dari energyinnovation.org. Data tersebut menunjukkan biaya yang harus dikeluarkan untuk energi panel surya dalam ukuran megawatt-hour (MwH) pada 2009 sebesar US$359 turun menjadi hanya US$50 pada 2017. Demikian pula penggunaan energi dari angin senilai US$135 pada 2009 turun menjadi hanya US$45 pada 2017.

“Jadi cuma mitos yang digaungkan saja kalau energi terbarukan itu mahal,” tegas Ahmad Agus Setiawan.

 

Workshop Menelaah Arti Penting Energi Terbarukan di Indonesia yang digelar di Jogja./Harian Jogja-Bhekti Suryani

Ia menceritakan pengalaman Denmark yang dahulu menggunakan energi kotor hingga 90% kini turun tinggal 40%. Sebagian besar energi nasional di negara itu ditopang energi terbarukan baik dari angin, panel surya maupun limbah.

Indonesia, menurutnya, perlu belajar dari mereka yang sukses beralih ke energi terbarukan. Ahmad Agus tak membantah, negara-negara yang sukses seperti Denmark pernah mengalami pertarungan antara pendukung energi kotor dan energi bersih seperti halnya Indonesia.

“Kuncinya kita punya ideologi yang kuat dulu soal energi terbarukan. Kalau ideologi itu sudah kuat, kita butuh kendaraan politik yang bisa memperjuangkan itu. Tidak harus ada Partai Hijau seperti di Australia, tetapi ada politisi yang punya ideologi itu. Perlu semakin banyak politisi yang mendukung energi terbarukan,” tegas Ahmad Agus Setiawan.

Jurnalis lingkungan yang meneliti dampak energi batu bara di Indonesia, Tomi Apriando, mengungkapkan selama ini pemerintah selalu mengklaim energi terbarukan mahal sementara energi kotor murah. Padahal ada biaya yang tidak pernah dihitung pemerintah seperti kerusakan lingkungan, dampak Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) terhadap kesehatan serta dampaknya pada perubahan iklim yang terus memburuk.

Artikel ini menjuarai Transisi Energi Ideathon 2020 Jurnalisme Kreatif kategori In Depth Report

Belajar dari Kasepuhan Ciptagelar, Panen Energi dari Air dan Matahari

  •  Kasepuhan Ciptagelar, masih memegang tradisi dan adat istiadat dengan kuat. Meskipun begitu, mereka memanfaatkan berbagai teknologi, bahkan punya saluran televisi komunitas sendiri. Warga Ciptagelar pun tak ketinggalan informasi, karena mereka punya Wifi.
  •  Darimana sumber energi komunitas adat ini? Berbagai keperluan energi, mereka juga hasilkan sendiri dengan memanfaatkan air dan matahari.
  •  Mandiri energi dengan memanfaatkan sumber terbarukan, seperti di Kasepuhan Ciptagelar, layak dicontoh. Sayangnya, di Indonesia yang memiliki limpahan sumber energi terbarukan, pemanfaatan masih minim.
  •  Institute for Essential Services Reform mengusulkan, mengurangi jumlah pembangkit listrik tenaga batubara dan meningkatkan kontribusi energi terbarukan tiga kali lipat pada 2030. Untuk tetap berada dalam batas 1,5 derajat celcius, Indonesia harus menghentikan penggunaan batubara pada 2040.

Namanya Desa Ciptagelar, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Ia berada di ketinggian 800-1.200 meter di atas permukaan laut. Dari Jakarta, berjarak sekitar 172 km. Medan cukup terjal dan meliuk-liuk, khas perjalanan menuju puncak bukit.

Di desa ini hidup masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar. Mereka masih memegang teguh nilai dan prinsip kasepuhan adat, walau ketika memasuki Imah Gede, atau rumah besar tempat Abah dan Emak—keluarga sepuh yang jadi pimpinan kasepuhan– tinggal, tak sulit menemukan perangkat elektronik untuk berbagai keperluan. Mulai dari komputer, sound system, berbagai alat musik hingga perangkat pemancar. Mereka punya jaringan televisi lokal sendiri! Namanya Ciga TV.

Hampir setiap rumah punya televisi dan warga Ciptagelar menonton tradisi dan ritual mereka yang didokumentasikan Ciga TV.

Ciga TV, merekam hampir semua kegiatan di desa, terutama masa tanam hingga masa panen raya yang jadi kebanggaan kasepuhan.

Abah Ugi, pemimpin ke sebelas kasepuhan, mengatakan, dengan sistem cocok tanam tradisional, organik tanpa pupuk, masyarakat Ciptagelar sudah punya cadangan pangan setidaknya untuk 95 tahun ke depan.

Di desa ini panen hanya sekali setahun dan masyarakat tak pernah merasakan gagal panen. Hasil panen disimpan dalam leuit (lumbung padi). Tak heran saat memasuki desa ini leuit-leuit berjejeran apik memenuhi desa. Satu keluarga kecil minimal harus punya satu leuit. Ada pula leuit komunal untuk kepentingan bersama.

Yoyo Yogasmana, Tetua Adat Ciptagelar yang bertugas menjembatani antara orang luar kasepuhan dengan siapapun yang hendak berkunjung ke Ciptagelar. Kang Yoyo begitu dia biasa disapa, tinggal tak jauh dari Imah Gede.

Memasuki rumahnya, seperti Imah Gede, berbagai perangkat sound system, komputer, pemancar radio, alat musik, televisi dan kulkas memenuhi hampir sebagian rumah kayu apik berlantai dua.

“Ini pemancar pertama yang dibikin Abah,” kata Yoyo, menunjukkan perangkat pemancar televisi sederhana rakitan Abah Ugi.

Abah Ugi adalah pimpinan Kasepuhan. Meski usia baru kepala tiga namun seluruh masyarakat adat kasepuhan hormat dan tunduk pada setiap perkataan abah. Masyarakat meyakini, Abah Ugi, sebagai keturunan sepuh, memiliki darah pimpinan yang mewakili leluhur mereka.

Bagi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar leluhur menjadi simbol pembawa kehidupan ke atas dunia. Karena itu , penghormatan masyarakat terhadap leluhur dengan berbagai ritualnya, jadi sakral.

Warga Kasepuhan Ciptagelar, menanam pagi. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Lantas dari mana kasepuhan mendapatkan energi untuk melistriki berbagai perangkat elektronik ini? Mereka juga punya pembangkit listrik tenaga air dan matahari!

Empat PLTMh terbangun untuk memenuhi kebutuhan listrik Desa Ciptagelar. Mula-mula dibangun turbin Cicemet pada 1997. Turbin kapasitas 50 kVa dibangun JICA dari Jepang.

“Saat ini turbin ini off karena sudah terlalu tua,” kata Yoyo.

Setelah turbin Cicemet, dibangun turbin Situ Murni dengan kapasitas 50 kVa oleh Pemerintah Jawa Barat pada 2006-2012. Kemudian pembanguan PLTMh Cibadak dan Ciptagelar pada 2013-2014.

Semua turbin ini memanfaatkan aliran Sungai Cisono, sepanjang 800 meter. Yoyo memperkirakan, semua PLTMh yang dibangun di Ciptagelar telah memberi akses listrik pada sekitar 1.500-1,700 keluarga di desa ini.

Energi terbarukan memang jodoh mereka dalam pemenuhan kebutuhan listrik yang ramah lingkungan.

“Air (sungai) selalu ada karena kita selalu menjaga hutan,” kata Yoyo.

Kasepuhan Ciptagelar, seperti masyarakat adat lain, punya aturan sendiri soal hutan larangan, hutan titipan dan hutan garapan. Mereka punya batas lokasi dan waktu tersendiri, kapan lahan boleh dibuka dan bagaimana ia kembalikan lagi menjadi seperti semula. Bangunan di desa ini semua berbahan natural, yang istilah Yoyo, apapun itu saat diinjak ke tanah akan tumbuh kembali.

Zonasi-zonasi hutan ini dijaga oleh Barisan Jagawana. Tugas mereka memeriksa titik-titik di dalam hutan, memastikan ekosistem tetap terjaga. Kalau ada pelanggaran, Jagawana akan melaporkan pada Taman Nasional Gunung Halimun Salak untuk penindakan.

Kadang, ada pelanggaran yang tidak terdeteksi. Namun menurut Yoyo, alam akan memberi pelajaran. Dia contohkan, kalau kerajinan rotan dari hutan larangan, biasa lebih sulit laku dibanding rotan yang layak ambil.

“Di dalam kasepuhan hukum negara, adat, agama dan alam semua berlaku.”

Selain PLTMh, kasepuhan ini juga mengandalkan sinar matahari dengan pembangkit listrik tenaga surya. Energi dari PLTS untuk memancarkan wifi warga desa.

Tak heran meski berada jauh di pegunungan, masyarakat adat ini melek informasi. Anak-anak terbiasa menggunakan internet tanpa meninggalkan waktu latihan silat, salah satu tradisi yang menjadi identitas masyarakat Ciptagelar.

 

Salah satu turbin pembangkit energi air di Kasepuhan Ciptagelar. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Energi terbarukan masih minim

Desa Kasepuhan Adat Ciptagelar, satu contoh bagaimana energi terbarukan memenuhi kebutuhan listrik. Sayangnya, penggunaan energi terbarukan belum optimal di Indonesia.

Pasokan energi per kapita di Indonesia masih kurang dari setengah rata-rata G20, dan intensitas energi dalam perekonomian tetap berada di bawah rata-rata. Namun, emisi CO2 terkait energi meningkat signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Perkembangan energi terbarukan di Indonesia, lambat, baru 12%, di bawah rata-rata negara G20 sekitar 25%. Sumber paling banyak digunakan air dan panas bumi.

Padahal menurut Fabby Tumiwa, Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR), peningkatan bauran energi terbarukan dan pemanfaatan dapat membantu Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca dari pembangkit listrik.

Dalam Perjanjian Paris, Indonesia komitmen menurunkan 29% emisi dengan usaha sendiri atau 41% dukungan internasional.

“Sektor kelistrikan salah satu kontributor utama emisi gas rumah kaca,” katanya.

Berdasarkan kajian Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) dan United Nation Development Programme (UNDP) 2018, emisi sub sektor pembangkit listrik mencapai 199 MtCO2e pada 2017. Hingga 2030, diperkirakan tumbuh 10,1% per tahun atau 699 MtCO2e.

Fabby bilang, emisi bisa turun 36% dengan penetrasi energi terbarukan lebih tinggi 20%. Dengan itu, faktor emisi listrik nasional bisa turun dari 1,005 tCO2e per MWh jadi 0,729 tCO2e per MWh.

Data Climate Action Tracker 2019, PRIMAP 2018 dan World Bank 2019 dikutip laporan IESR, Brown to Green tahun lalu, emisi gas rumah kaca per kapita Indonesia, 5 tCO2e, berada di bawah rata-rata G20 7,5 tCO2e. Tingkat emisi per kapita ini naik 17% sejak 2011- 2016.

Menurut laporan ini, Indonesia belum berada di jalur tepat untuk memenuhi target batasan suhu global 1,5 derajat celcius. Untuk itu, Indonesia harus mengurangi tingkat emisi kurang 551 MtCO2e pada 2030 dan hingga di bawah 128 MtCO2e pada 2050.

Sedang Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia hanya membatasi emisi pada 2030 di 1.817 MtCO2. Penghitungan ini dari climate action tracker ( CAT) dengan tak memperhitungkan emisi penggunaan lahan.

“NDC Indonesia makin tidak ambisius,” kata Hindun Mulaika, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

IESR mengusulkan, mengurangi jumlah pembangkit listrik tenaga batubara dan meningkatkan kontribusi energi terbarukan tiga kali lipat pada 2030. Untuk tetap berada dalam batas 1,5 derajat celcius, Indonesia harus menghentikan penggunaan batubara pada 2040.

Faktanya, sekitar 67% bauran energi Indonesia, termasuk listrik dan bahan bakar transportasi, masih dari bahan bakar fosil. Penggunaan energi terbarukan tetap stabil cukup rendah selama bertahun-tahun.

Perempuan Kasepuhan Ciptagelar, sedang menumbuk padi. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Mitigasi energi

Dari segi kebijakan, Indonesia berencana membangun 16,7 gigawatt listrik energi terbarukan pada 2028. Indonesia pernah melakukan feed in tariff namun sempat berganti dengan sistem persentase biaya pokok pembangkitan (BPP) dan build-own-operater-transfer (BOOT), di mana aset pembangkit listrik tidak dapat digunakan sebagai jaminan.

Fabby bilang, Permen No 59/2017 itu membuat investasi energi terbarukan menjadi tidak menarik.

Tahun ini, pemerintah merevisi Permen 50/2017 jadi Permen No 4/2020 yang mengubah sistem BOOT menjadi build own operate (BOO) dan memberi opsi pemilihan dan penunjukan langsung untuk pengembangan energi terbarukan.

Indonesia, katanya, juga belum memiliki rencana menghapus ketergantungan terhadap batubara. Sebaliknya, berniat membangun PLTU 6 gigawatt pada 2020 dan 27,1 gigawatt pada 2028. Dengan ini kapasitas batubara akan meningkat dua kali lipat pada 2028.

Menteri ESDM, Arifin Tasrif mengatakan, setelah program 35.000 Megawatt selesai, pembangkit baru akan gunakan energi terbarukan.

Industri batubara juga masih dapat subsidi signifikan baik langsung maupun tak langsung. Secara langsung, dengan jaminan pinjaman, pembebasan pajak, pengenaan royalti dan tariff pajak. Secara tak langsung, dengan pemberlakuan batas harga batubara yang dijual.

Dengan kondisi rentan perubahan iklim, katanya, Indonesia perlu tindakan adaptasi. IESR mencatat, rata-rata setiap tahun ada 252 korban jiwa dan kerugian mencapai US$1,8 miliar karena cuaca ekstrem.

Untuk mencapai target bauran 23% pada 2025, perlu instalasi energi terbarukan 8-9 gigawatt pertahun dengan investasi US$9-10 juta per tahun.

Dengan ada pemanasan global, masyarakat dan sektor pendukung makin terpapar berbagai peristiwa iklim ekstrem. Dengan pemanasan global 3 derajat celcius, Indonesia akan mengalami 30 hari per tahun dengan suhu panas di atas 35 derajat celcius.

Secara keseluruhan semua sektor terkena dampak buruk kenaikan suhu.

“Karena itu, ada peningkatan energi terbarukan signifikan menunjukkan Indonesia turut berperan mengurangi risiko iklim global yang akan mengancam kehidupan generasi sekarang dan masa depan.”

Cara-cara pemenuhan energi seperti di Kasepuhan Ciptagelar, bisa jadi sumbangan aksi penyelamatan krisis iklim di bumi ini.

*Liputan ini didukung oleh program Story Grants Perubahan Iklim Terkait Kesehatan oleh Internews’ Earth Journalism Network Asia-Pasifik

Keterangan foto utama:  Turbin pembangkit listrik air Kasepuhan Ciptagelar. Darimana sumber energi komunitas adat ini? Berbagai keperluan energi, mereka juga hasilkan sendiri dengan memanfaatkan air dan matahari. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Artikel ini menjuarai Transisi Energi Ideathon 2020 Jurnalisme Kreatif  kategori Feature News

PLTS Atap di Stasiun Batang, Energi Bersih untuk Indonesia Mendatang

Selaras dengan KEN dan RUEN Kementerian ESDM

Batang, IDN Times – Berbicara Kabupaten Batang pasti selalu dikaitkan dengan isu Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), yang digembar-gemborkan dalam proyek nasional Indonesia. Ternyata ada hal kecil yang tak banyak diketahui orang di wilayah yang mempunyai luas 78.864,16 hektare itu.

 

Sebuah stasiun kereta api (KA) yang jaraknya kurang lebih 13 kilometer dari lokasi pendirian PLTU Batang melakukan pembaruan dengan menerapkan energi bersih yang ramah lingkungan. Akselerasinya dengan penerapan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap.

 

  1. Stasiun pertama di Indonesia yang memakai PLTS atap

Stasiun Batang (BTG) adalah stasiun KA kelas III yang terletak di Kecamatan Batang, Kabupaten Batang. Stasiun yang masuk Daerah Operasi (Daop) 4 Semarang tersebut sebenarnya ada dua. Yakni stasiun dengan bangunan lama dengan ketinggian +4 meter dan stasiun baru dengan ketinggian +5 meter.

 

Stasiun baru Batang mempunyai empat jalur KA dengan jalur 2 adalah sepur lurus ke arah Semarang dan jalur 3 merupakan sepur lurus ke arah Cirebon, Jawa Barat. Semenjak 15 Maret 2019, PT Kereta Api Indonesia (KAI) memfungsikan kembali stasiun tersebut sebagai pemberhentian KA penumpang dimana sebelumnya hanya dilewati saja.

 

Stasiun baru Batang berada 1,6 kilometer sebelah timur stasiun lama. Kini, setiap hari KA Kaligung jurusan Semarang Poncol-Tegal berhenti di stasiun yang bangunan arsitekturnya mirip dengan Stasiun Patukan (PTN) di Sleman Yogyakarta itu.

 

Stasiun baru tersebut berinovasi dan berhasil mencetak sejarah sebagai stasiun pertama di Indonesia yang menerapkan energi bersih, menerapkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap. Berkat prestasi itu Museum Rekor Indonesia (MURI) memberikan penghargaan kategori Stasiun Pertama yang Menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya, pada 27 Desember 2019.

 

“Saya malah baru tahu (ada PLTS atap). Bagus,” ungkap salah satu penumpang KA Kaligung yang turun di Stasiun Batang, Fanny Rifqi.

 

  1. PLTS atap terbukti menghemat biaya operasional bulanan

PLTS yang dipasang menggunakan sistem on-grid untuk menopang kebutuhan listrik di Stasiun Batang. PLTS on-grid beroperasi tanpa baterai. Teknologi on-grid mengkombinasikan sumber listrik yang dihasilkan PLN dengan sumber listrik dari panel surya. Keduanya mampu menyuplai kebutuhan listrik secara bergantian, disesuaikan dengan kondisi cuaca yang terjadi secara otomatis.

 

Sedikitnya 16 panel surya berukuran 2 meter x 1 meter dengan kapasitas masing-masing mencapai 375 kilowatt peak (kWp) dipasang di atas atap stasiun. Total secara keseluruhan, panel-panel surya tersebut mampu menghasilkan daya sebanyak 6000 watt.

 

Kepala Stasiun Batang, Agus Santosa kepada IDN Times mengungkapkan dengan penerapan PLTS atap mampu mengefisiensikan biaya operasional listrik hingga 50 persen. Salah satunya dari segi perawatan dimana perangkat panel surya tersebut relatif lebih mudah dan cepat pemeliharaannya sehingga menghemat biaya untuk alokasi tersebut.

 

“Dari jam 6 pagi sampai 4 sore hari (PLTS atap) efektif digunakan, bisa menghemat 50 persen. Pemanfaatannya untuk operasional seperti AC di ruangan, loket, juga lampu dan sound system. Jadi biaya perawatan bisa dialokasikan ke pemeliharaan lainnya,” kata Agus.

 

  1. Stasiun Batang strategis untuk penerapan PLTS atap

Proses pemasangan PLTS atap berlangsung selama 14 hari, mulai dari perakitan hingga pengoperasian. Yakni 21 November 2019 hingga 4 Desember 2019. PLTS dioperasikan pada 6 Desember 2019.

 

Pemilihan Stasiun Batang untuk pemasangan PLTS atap adalah inisiatif Kepala PT KAI Daop 4 Semarang, Mohamad Nurul Huda Dwi Santoso sebagai langkah realisasi pemanfaatan energi bersih dan ramah lingkungan. Stasiun Batang dipilih karena pertimbangan segi konstruksi bangunan yang cukup memadai. Disamping itu pertimbangan wilayah dimana Batang diproyeksikan sebagai kawasan industri potensial di Pantura, Jawa Tengah dan Indonesia pada umumnya.

 

“Kalau dilihat dari panel-panel surya, yang dipasang itu ada 16 panel dan bentuknya datar. Perlu area yang luas dan datar sehingga secara teknis yang memungkinkan ada di Stasiun Batang. Secara ekonomi juga ada potensi industri dan bisnis, termasuk wisata, sehingga (Stasiun Batang) disiapkan juga untuk stasiun penumpang,” jelas Manager Humas PT KAI Daop 4 Semarang, Krisbiyantoro ketika ditemui IDN Times.

 

Setelah penerapan PLTS atap di Stasiun Batang, hal serupa akan dilakukan pada bangunan lain milik PT KAI Daop 4 Semarang. Seperti kantor PT KAI Daop 4 Semarang dan Stasiun Semarang Tawang.

 

“Tentunya dengan keberhasilan (PLTS atap) ini akan menjadi stasiun percontohan untuk kedepan bisa diterapkan di stasiun-stasiun yang lain atau pun di perkantoran wilayah PT KAI (Persero) Daop 4 Semarang,” terangnya.

 

  1. Sesuai dengan target KEN dan RUEN Kementerian ESDM

Tenaga surya menjadi sumber energi terbarukan yang terus mengalami kemajuan secara pesat dibandingkan energi terbarukan lainnya. Melansir data Bank Dunia dan Solargis pada 2017, hampir sebagian besar wilayah di Indonesia mendapat pasokan sinar matahari secara merata sepanjang tahun dengan intensitas radiasi dan power output yang cukup tinggi, mencapai 3,6-6 kWh/meter persegi/hari dan 1.170-1.530 kWh/kWp.

 

Guna mendorong pemanfaatan energi surya tersebut, mengacu Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 disebutkan bangunan pemerintah diwajibkan untuk menggunakan PLTS sebesar 30 persen dari luasan atap. Salah satunya terimplementasi di Stasiun Batang.

 

Termasuk untuk untuk mewujudkan kemandirian dan ketahanan energi sebagai sistem pendukung proses pembangunan nasional sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) dimana pasokan listrik PLTS di Indonesia ditarget bisa mencapai 6,5 Gigawatt (GW) pada 2025 atau naik sekitar 45 GW pada tahun 2050.

 

Kasubdit Implementasi Pengembangan Aneka Energi Baru Terbarukan (EBT) Dirjen EBTKE, Pandu Ismutadi, menyebut pemanfaatan EBT menjadi langkah mitigasi perubahan iklim (climate change) yang telah menjadi komitmen pemerintah sejak meratifikasi Paris Agreement melalui Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2016.

 

“Pemerintah sendiri menargetkan bauran EBT sebesar 23 persen sebagai energi primer pada 2025 dalam KEN. Kenyataannya hingga semester I tahun 2019, realisasinya baru sekitar 8,85 persen,” jelasnya melansir laman resmi Institute for Essential Services Reform (IESR) saat acara Sosialisasi dan Diskusi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap untuk sektor industri di Kota Bekasi, Jawa Barat, 29 Januari 2020.

 

  1. Program Surya Nusantara menjadi langkah jitu saat pandemik virus corona

Pencapaian target KEN tak semulus yang dibayangkan dan bukan tanpa hambatan. Terlebih saat pandemik virus corona (COVID-19) melanda Indonesia. Dampak pandemik mengakibatkan stagnasi serta penurunan aktivitas ekonomi secara global. Hal tersebut juga menyebabkan turunnya permintaan energi dibandingkan kondisi normal. 

 

IESR menganalisis pertumbuhan terhadap permintaan PLTS atap akan nol atau negatif, yang artinya tanpa ada permintaan baru, hingga akhir tahun 2020. Kondisi itu berimbas pada target bauran energi  23 persen pada 2025 serta penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan sesuai Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2020-2029 Kementerian ESDM. Padahal pencapaian target tersebut cukup penting, tak hanya untuk mengamankan penyediaan energi, juga terkait penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).

 

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengusulkan kepada pemerintah untuk melakukan green economic recovery melalui Program Surya Nusantara guna mendukung pemulihan ekonomi pasca pandemik COVID-19. Program tersebut berupa pemasangan PLTS dengan berkapasitas masing-masing 1,5-2 kWp untuk 500-600 ribu rumah tangga miskin penerima subsidi listrik yang on-grid.

 

“Program Surya Nusantara memberikan berbagai manfaat bagi ekonomi Indonesia. Antara lain penyerapan tenaga kerja hingga 30 ribu orang, penghematan subsidi listrik Rp1,3 triliun per tahun dan akan semakin bertambah jika program tersebut diperluas dan dilakukan sampai 2025,” paparnya dalam laporan yang ditulis pada laman resmi IESR, Senin (31/8/2020).

 

Apabila program tersebut dijalankan pemerintah, akan menjadi contoh nyata green economic recovery in action, yang menunjukkan kepemimpinan Indonesia merespon krisis di kawasan Asia Tenggara dan di tingkat dunia. 

 

Artikel ini menjuarai Transisi Energi Ideathon 2020 Jurnalisme Kreatif kategori Hard News

 

Ajak Masyarakat Bumikan Transisi Energi: Ideathon Indonesia Merdeka dari Energi Kotor

  

Jakarta, 14 September 2020 – Transisi Energi Ideathon 2020 yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) telah mencapai pada puncaknya di hari Sabtu, 12  September 2020 lalu, dengan diselenggarakannya Acara Penganugerahaan Ideathon 2020 yang dihadiri oleh para Finalis dan Dewan Juri yang disiarkan langsung secara daring. Rangkaian kegiatan Transisi energi Ideathon ini mengusung tema besar Indonesia Merdeka dari Energi Kotor. Proses lomba di selenggarakan mulai 10 Agustus 2020 hingga 11 September 2020.

Peluang serta ancaman gelombang transisi energi global perlu diantisipasi dan diatasi dengan baik oleh para pemangku kepentingan utama di sektor energi dan listrik dengan pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik tentang tren saat ini dan konsekuensinya. Peran masyarakat Indonesia khususnya generasi muda sangat berperan penting dalam mendukung serta mempercepat agenda transisi energi ini, termasuk dalam membangun opini publik tentang pentingnya kesadaran rakyat akan pemanfaatan teknologi Energi Terbarukan dan/atau sumber energi bersih di tingkat lokal.

Di tahun 2020 ini, Republik Indonesia merayakan hari kemerdekaannya yang ke-75. Merdeka dari kolonialisme, namun belum merdeka dari penyediaan energi yang bersumber dari energi kotor (gas, minyak bumi, dan batu bara). Sementara itu, di waktu yang bersamaan, negara-negara lain, termasuk negara berkembang di Asia Tenggara, telah merespons dan turut serta dalam gelombang transisi energi terbarukan menuju sistem energi dan ekonomi yang rendah karbon. Dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Indonesia yang ke-75 ini, Transisi Energi Ideathon 2020 ini diadakan, untuk ikut memberikan gagasan dan pemikiran untuk bagaimana Indonesia dapat bertransisi menuju sistem energi rendah karbon, merdeka  dari energi kotor. Penyampaian Ide, gagasan dan pemikiran tersebut dikemas sebuah lomba karya jurnalisme kreatif, fotografi, dan video inovatif. Dengan mengusung tema Transisi Energi Ideathon 2020: Indonesia Merdeka dari Energi Kotor, IESR memanggil karya-karya terbaik anak bangsa untuk dapat turut berkontribusi dalam menyuarakan urgensi bertransisi dari energi kotor.

Kompetisi ini bertujuan untuk menyediakan wadah bagi para jurnalis, penggiat foto dan video, dan masyarakat Indonesia pada umumnya untuk dapat menyuarakan pendapat dan aspirasi mereka mengenai pentingnya transisi energi di Indonesia dalam rangka hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-75. Selain itu, serangkaian kegiatan yang dilaksanakan juga sekaligus menjadi momentum untuk mendengarkan perspektif dan aspirasi masyarakat terhadap penyediaan dan akses energi di Indonesia.

IESR selaku penyelenggara juga berusaha untuk memberikan wadah kreatif kepada masyarakat (terlebih generasi muda) dalam penyampaian perspektif dan gagasannya terhadap status perkembangan transisi energi global dan urgensinya untuk Indonesia; mendapatkan informasi, pandangan, dan masukan dari khalayak umum mengenai tantangan pemberitaan topik transisi energi/energi bersih serta; meningkatkan partisipasi dan peran generasi muda dalam mendorong wacana transisi energi di tanah air agar dapat merdeka dari energi kotor, sebagai beberapa hal utama yang hendak kami capai.

Hingga masa pengumpulan hasil karya dari kompetisi ini ditutup pada 31 Agustus 2020, panitia penyelenggara menerima lebih dari 100 peserta dengan hasil karya Foto, Video, dan jurnalisme kreatif yang diikuti oleh peserta dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia. Seluruh hasil karya yang masuk kemudian di seleksi menjadi beberapa peserta yang kemudian diumumkan menjadi para Finalis lomba Video dan Photo story

Para Finalis tersebut adalah:

Finalis Lomba Video Inovasi (disusun berdasarkan abjad nama peserta)

  1. Abiteru Sitepu, Kabanjahe
  2. Akhmad Romadoni, Pasuruan
  3. Epafras Freddy, Yogyakarta
  4. Fajri Ramdjani, Makassar
  5. Farkhana Rizkya, Mojokerto
  6. Haritsa Taqiyya Majid, Yogyakarta
  7. Aji Saputro, Lamongan

Finalis Lomba Photo Story

  1. Andri Muhamad Fauzi, Bandung
  2. Arif Hermawan, Jakarta
  3. Fitra Yogi, Padang
  4. Giri Wijayanto, Sleman
  5. Lilik Darmawan, Banyumas
  6. Muhammad Awaludin, Palembang
  7. Muhammad Iqbal, Malang
  8. Muhammad Ikhsan, Bengkulu

Dewan Juri

IESR juga menghadirkan Dewan Juri profesional yang ahli dalam bidangnya masing – masing yang memiliki pengalaman serta latar belakang teknis yang mumpuni di setiap kategori, adapun para dewan Juri tersebut adalah:

Jurnalisme Kreatif:
Aris Prasetyo, Wartawan Senior Harian Kompas
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR
Erina Mursanti, Manajer Program Ekonomi Hijau IESR

Photo Story:
Okky Ardy, Documentary Photographer PannaFoto Institute
Priyombodo, Photorgrapher Jurnalis Kompas
Kharina Dhewayani, Finance and Admin Manager IESR

Video Inovasi:
Amanda Valani, Head of Content Narasi TV
Jannata Giwangkara, Manajer Program Transformasi Energi IESR
Gandabhaskara, Koordinator Komunikasi IESR

Proses penjurian Ideathon 2020

Proses penjurian diawali dengan seleksi administrative, khusus untuk kategori Jurnalisme Kreatif, kompetisi ini diperuntukan bagi insan pers Indonesia.

Photo story

Kriteria Penilaian
Secara garis besar, beberapa kriteria yang menjadi acuan dalam menilai hasil karya Photostory meliputi Tematis, Konten, dan Teknis.
1. Kesesuaian tema (Tematis)
Yakni meliputi sejauh mana karya-karya tersebut terkait dan sesuai dengan tema yang diberikan panitia. Dalam hal ini yaitu tema energi (bersih) di sekitar kita: teknologi, humaniora, dan lingkungan. Diharapkan, setidaknya tema tersebut tercermin melalui photo story yang dikirim untuk mengikuti perlombaan.
2. Orisinalitas
Orisinalitas dalam hal ini meliputi sejauh mana ide-ide, eksplorasi, dan pendekatan visual yang digunakan dalam photo story-nya.
3. Teknis
Melingkupi unsur-unsur dasar fotografi. Mulai dari ketajaman, sudut pandang (angle), komposisi, dll.

 

“Membuat photo story itu bayangkan sama seperti membuat film, dimana penonton disajikan dengan sebuah plot – plot mulai dari frame awal hingga akhir dengan satu rangkaian naratif yang memiliki emosi dan pesan, bukan merupakan satu foto yang berdiri sendiri dan berbeda – beda, hanya bedanya photo story itu memainkan kekuatan visual saja, tidak bergerak dan tidak ada audionya” terang Okky Ardya, salah satu Dewan Juri di hadapan para Finalis pada acara penganugerahan.

Okky Ardya, juga mengapresiasi seluruh hasil karya para finalis yang berhasil menghadirkan narasi yang kuat sesuai tema dalam kompetisi ini.

Jurnalisme Kreatif

Kesesuaian tema, kedalaman/kelengkapan fakta dan data, Logika tata nalar tulisan serta tata Bahasa merupakan elemen – elemen yang di nilai dalam proses penjurian di kategori ini oleh panelis dewan juri

“Saya salut kepada para peserta yang mayoritasnya di sumbang dari teman – teman (jurnalis) yang ada di daerah untuk berpartisipasi dan turut mengampanyekan proses transisi energi di Indonesia, dan secara umum para peserta ini sudah paham betul dengan topik energi terbarukan, dan menjawab mengapa kita harus segera bertransisi dari energi fosil ke energi terbarukan” Ujar Aris Prasetyo, Jurnalis Senior Kompas yang juga merupakan salah satu dewan Juri di kategori ini.

 

Video Inovasi

Kriteria penilaian

1.Relevansi tema
Hubungan antara tema besar dan konteksnya bagi para pemirsa
Pemilihan perspektif secara kreatif pada tema spesifik dan berhasil membuat cerita tersebut relevan pada pemirsa

2. Gagasan
Mempunyai pesan yang tegas dan orientasi tujuan yang jelas
Gagasan tersebut mampu menjawab/mendeskripsi tantangan – tangan kunci serta bagaimana cara menanganinya

3. Kualitas riset
Pengumpulan data dan pemaparan ide berdasarkan studi – studi yang di lakukan oleh IESR
Tingkat pemahaman terhadap riset tersebut dan mampu mengkomunikasikan data tersebut pada pemirsa

4. Visualisasi Data
Penyajian data secara kreatif dan berbeda
Mudah dipahami

5. Dampak terhadap emosi
Memberikan dampak emosi kepada pemirsa
Mampu menciptakan kesan yang berjangka lebih panjang serta mampu mengajak pemirsa untuk berinteraksi atau beraksi

6. Cerita bertutur (Storytelling)
Kemampuan dalam merangkai sebuah topik menjadi masalah yang universal dan inklusif
Cerita dan narasi dapat membangkitkan elemen – elemen yang tak terduga, hingga bagaimana akhirnya sebuah pesan dalam cerita tersebut terungkap

7. Tingkat kesulitan
Kualitas sinematografi
Kompleksitas animasi/motion graphic
Perkiraan biaya produksi

Elemen – elemen diatas merupakan gambaran besar bagaimana para dewan juri harus melihat secara objektif menilai karya keseluruhan dalam proses penjurian.

Bergabung melalui daring, Dewan juri video inovasi Amanda Valani menambahkan bahwa para finalis Video Inovasi ini berhasil menyampaikan karya – karyanya dengan cara bertutur, tidak menggurui dan edukatif, Amanda juga sangat terkesan dengan ragam format video yang di kumpulkan mulai dari motion graphics, explainer atau vlog, sampai ke features.

“Kita dilatih untuk berfikir sederhana sebenarnya di konteks membuat video kreatif, bagaimana misalnya menurunkan hasil riset (IESR.red) yang menurut saya sudah level dewa dan menurunkannya ke-level masyarakat agar membuat masyarakat mau untuk berubah, itu adalah emotional impact yang merupakan unsur yang sangat penting dalam membuat video kreatif”

Para pemenang

Setelah melalui proses yang panjang dan di kaji oleh para dewan juri, termasuk pilihan publik sebagai karya favorit yang dipilih melalui kanal resmi media sosial IESR, terpilih sebagai pemenang dalam Transisi Energi Ideathon 2020 sebagai berikut:

NamaKaryaKategori Pemenang
Dhana KencanaPLTS Atap di Stasiun Batang, Energi Bersih untuk Indonesia MendatangJuara Utama Jurnalisme Kreatif -- Hard News
Della SyahniBelajar dari Kasepuhan Ciptagelar, Panen Energi dari Air dan MatahariJuara Utama Features -- Jurnalisme Kreatif
Bhekti SuryaniHarga Mahal Energi Baru Terbarukan Cuma MitosJuara Utama In-depth Report, Jurnalisme Kreatif
Fajri RamdhaniIndonesia Merdeka dari Energi KotorJuara I Video Inovasi
Epafras Freddy Perda SetyawanPasar Indonesia Mandiri EnergiJuara II Video Inovasi
M. Aji SaputroEnergi Masa Depan IndonesiaJuara Favorit
Giri WijayantoPenggunaan Lampu LED UV bertenaga Surya sebagai perangkap hama tanaman bawang merahJuara Utama
Muhammad IkhsanLebong Tandai, 120 Tahun Menikmati Listrik dari Kincir SungaiJuara Favorit

Segenap panitia penyelenggara dan anggota dewan juri mengucapkan selamat kepada seluruh pemenang, dan turut mengapresiasi seluruh peserta atas antusiasmenya untuk berpartisipasi dalam kegiatan Transisi Energi Ideathon – Indonesia Merdeka dari Energi Kotor. Kami berharap karya – karya anda sekalian dapat menginspirasi kita semua untuk membantu Indonesia agar segera dapat segera Merdeka dari Energi Kotor dan beralih ke Energi terbarukan!

Tetap bekarya dan sampai jumpa di Transisi Energi Ideathon selanjutnya.