Urgensi Peninjauan dan Pemutakhiran Kembali RUEN untuk Mempercepat Transisi Energi di Indonesia

Jakarta, Selasa, 28 September 2020 Pada hari ini, Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan salah satu dari lima seri studi tematik mengenai peta jalan transisi energi Indonesia berjudul National Energy Plan (RUEN): Existing Plan, Current Policies Implication and Energy Transition Scenario. Studi ini memodelkan ulang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2017 melalui tiga skenario tambahan (skenario realisasi, program strategis, dan transisi energi) untuk mengevaluasi dan memproyeksikan capaian dari target RUEN awal berdasarkan ketiga skenario yang dibangun. Transisi energi menuju sistem energi terbarukan telah menjadi fenomena global sebagai respon untuk mengatasi ancaman perubahan iklim dan mengurangi risiko stranded asset. 

Dalam kondisi kebijakan saat ini RUEN 2017 belum mengadopsi visi transisi energi, walaupun telah mengadopsi target energi terbarukan 23% dari bauran energi total pada 2025. Target ini berkorelasi dengan jumlah kapasitas terpasang pembangkit energi terbarukan sebesar 45,2 GW pada 2025 dari total 136 GW kapasitas pembangkit listrik. Merujuk kepada salah satu temuan dari laporan ini, target kapasitas terpasang dari energi terbarukan sebesar 45,2 GW di tahun 2025 diindikasikan tidak akan tercapai dalam skenario realisasi dengan berbagai penurunan nilai parameter dan asumsi utama yang terjadi dalam lima tahun terakhir. Dengan kondisi dan parameter ekonomi dan energi yang telah mengalami perubahan sejak RUEN 2017 disusun lima tahun lalu, IESR menyerukan untuk diadakannya peninjauan dan pemutakhiran kembali RUEN, sebagai referensi perencanaan dan pembangunan energi nasional jangka menengah dan panjang, guna mengakomodasikan tidak hanya kemajuan dan perkembangan transisi energi global, melainkan juga untuk mengantisipasi berbagai tantangan dan peluang yang muncul dalam transformasi yang saat ini sedang terjadi.

Keekonomian dari teknologi energi terbarukan dan sistem penyimpanan energi yang terus semakin murah setiap tahunnya, dapat mengakselerasi upaya transisi energi. Bahkan, harga listrik yang dibangkitkan dari energi surya dan angin skala besar sudah mampu bersaing dengan harga pembangkitan listrik dari batu bara. Adanya revolusi digital di sektor energi, tumbuhnya kekuatan konsumen untuk menggunakan listrik dari energi bersih, bangkitnya kendaraan hibrida dan listrik, serta desentralisasi pembangkitan energi menjadi faktor pendorong lainnya dalam upaya dekarbonisasi sektor ini.

“Untuk konteks Indonesia, transisi menuju sistem energi bersih yang berkelanjutan perlu disiapkan dengan baik. Pemanfaatan energi terbarukan yang memang sudah menjadi prioritas pengembangan dan pemanfaatan energi nasional dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN), belum terefleksikan dalam pencapaian RUEN hingga 2020 ini. Terlepas dari target yang ambisius, beberapa indikator dan asumsi yang digunakan untuk memodelkan supply dan demand energy dalam RUEN pun dibangun berdasarkan basis data dan informasi di tahun 2015. Padahal, dalam lima tahun terakhir ini indikator dan asumsi dari sosio-ekonomi, tekno-ekonomi sudah mengalami perkembangan yang cukup signifikan,” tutur Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam sambutan pembukaannya di acara peluncuran virtual laporan seri studi peta jalan transisi energi Indonesia.

Merujuk kepada RUEN, di tahun 2025 energi terbarukan diproyeksikan meningkat dari 7% menjadi 23%, batubara dari 26% menjadi 30%, dan bahan bakar minyak turun dari 46% menjadi 25%, dan gas relatif turun menjadi 22% dari sebelumnya 23% dalam bauran energi primer nasional. Berdasarkan target tersebut, pembangkit listrik energi terbarukan di tahun 2025 mencapai 45,2 GW dengan komposisi 20,9 GW dari air, 7,2 GW dari panas bumi, 6,5 GW dari surya, 5,5 GW dari bioenergi, dan 1.8 GW dari bayu.

Fabby menambahkan, “dengan melihat tren dekarbonisasi yang masif terjadi di tingkat global dan regional, IESR berupaya untuk menginvestigasi kontekstualisasi dari model RUEN, sebagai sebagai referensi perencanaan dan pembangunan energi nasional jangka menengah dan panjang, guna mengakomodasikan tidak hanya kemajuan dan perkembangan transisi yang terjadi, melainkan juga untuk mengantisipasi berbagai tantangan dan peluang yang muncul dalam transformasi ini.”

Penulis laporan, Agus Praditya Tampubolon, menyebutkan bahwa target kapasitas terpasang dari energi terbarukan sebesar 45,2 GW di tahun 2025 diindikasikan tidak akan tercapai dalam skenario realisasi dengan berbagai penurunan nilai parameter dan asumsi utama yang terjadi dalam lima tahun terakhir. Hal ini disebabkan karena realisasi dari laju pertumbuhan konsumsi energi tahunan dan konsumsi listrik per kapita yang rendah sebagai akibat dari rendahnya pertumbuhan ekonomi pada periode 2015-2019.

“RUEN yang ditetapkan di tahun 2017, menggunakan data riil tahun 2000 hingga tahun 2015 sebagai input dan memproyeksikan data dari tahun 2016-2050. Beberapa data proyeksi ini overestimated, terutama pada pertumbuhan ekonomi dan industri serta demografi penduduknya. Hal ini menyebabkan proyeksi RUEN menjadi tidak proporsional, misalnya pada konsumsi energi primer dan listrik, termasuk pada kapasitas pembangkit. Sehingga skenario realisasi menunjukkan bahwa energi terbarukan hanya diindikasikan mencapai 22,62 GW di tahun 2025.”

Agus juga menambahkan bahwa jaringan gas kota, kendaraan listrik dan biodiesel yang dicanangkan pemerintah hanya berkontribusi terhadap bauran energi primer sekitar 3 persen (menjadi 17,9%) dari baseline baru dalam skenario realisasi sebesar 15% di tahun 2025. Hingga tahun 2050 pun, bauran energi terbarukan diproyeksikan sebesar 40,3%, lebih tinggi dari target 31% di model RUEN saat ini, namun tetap masih belum mulai mengambil alih dominasi energi fosil sebesar 59,7%. Bauran dan kapasitas terpasang energi terbarukan hanya akan meningkat signifikan dalam skenario transisi energi, khususnya mulai periode waktu saat tidak ada PLTU baru yang mulai dibangun dan semua PLTU yang berusia lebih dari 30 tahun ditutup, dengan proyeksi sebesar 408 GW di tahun 2050..

Dalam laporan yang diluncurkan, setidaknya terdapat tiga hal yang perlu dilakukan sebagai rekomendasi. Pertama, parameter dan asumsi RUEN 2015-2050 perlu ditinjau kembali, khususnya pada asumsi pertumbuhan ekonomi, laju permintaan energi, dan keekonomian dari energi terbarukan. Kedua, tinjauan juga perlu dilakukan terhadap rencana penggunaan batu bara dan pembangunan PLTU sebagai respons dari tren dekarbonisasi yang menyebabkan penurunan permintaan impor batu bara dari Tiongkok, India, dan Korea Selatan. Ketiga, perlunya kajian pengembangan skenario alternatif dalam rencana penyediaan energi nasional yang mengintegrasikan porsi energi terbarukan yang lebih besar.

Oleh karena itu, IESR menyerukan untuk diadakannya peninjauan dan pemutakhiran kembali RUEN, sebagai referensi perencanaan dan pembangunan energi nasional jangka menengah dan panjang, guna mengakomodasikan tidak hanya kemajuan dan perkembangan transisi energi global, melainkan juga untuk mengantisipasi berbagai tantangan dan peluang yang muncul dalam transformasi yang saat ini sedang terjadi.

 

###

Unduh siaran pers

FACT SHEET