Resmikan PLTS Atap Terbesar di Jateng: Keniscayaan Transisi Energi

Refleksi Satu Tahun Jateng Solar Province

Klaten, 6 Oktober 2020 — Satu tahun semenjak pencanangan Jawa Tengah (Jateng) sebagai  pionir provinsi surya (Jawa Tengah Solar Province)  pada 17 September 2019 oleh Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah yang bekerja sama dengan Institute Essential Services Reform (IESR) yang juga didukung oleh Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), perkembangan pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap di Jateng semakin meningkat. 

Provinsi Jawa Tengah sendiri memiliki potensi radiasi energi surya 4,05 kWh/kWp per hari, sedikit di atas rata-rata Indonesia (3,75 kWh/kWp). PLTS Atap merupakan solusi utama untuk pemanfaatan potensi tersebut. Pemasangan PLTS dapat membantu Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mencapai target bauran energi terbarukan dalam Rencana Umum Energi Daerah (RUED) tahun 2020 sebesar 11,60%.

Potensi Teknis PLTS Terapung di Jawa Tengah

Inisiasi Jateng Solar Province ini ternyata selaras dengan upaya PT Tirta Investama (Danone- AQUA) menggunakan listrik energi terbarukan. Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di Jawa Tengah ini pada 6 Oktober 2020 meresmikan instalasi PLTS Atap sebesar 2,9 MWp di pabriknya di Klaten. PLTS Atap yang dipasang di pabrik AQUA di Klaten terdiri dari 8.340 modul panel surya di empat gedung atap seluas 16.550 m2. Pembangkit ini dapat menghasilkan energi untuk 2500 unit rumah dengan daya terpasang 900 VA.

Sebagai bagian dari RE100, grup Danone secara global berkomitmen untuk menggunakan energi terbarukan 100% untuk operasionalnya pada 2030. Instalasi PLTS Atap merupakan bagian untuk memenuhi target tersebut. Dengan peresmian di Klaten, sampai 2020 Danone-AQUA telah mengoperasikan 5,67 MWp PLTS di empat pabriknya.   

Fabby Tumiwa,  Direktur IESR, yang menjadi penanggap di acara peluncuran ini mengapresiasi langkah PT Tirta Investama dengan pemanfaatan energi terbarukan yang dapat berkontribusi pada penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai komitmen Indonesia untuk mencapai target Paris Agreement. PLTS Atap juga memberikan kontribusi penting terhadap komitmen Jawa Tengah mewujudkan Jateng Solar Province

Dia juga menyoroti pula keterlibatan Total Solar selaku perusahaan multinasional yang awalnya berkecimpung di bidang minyak dan gas yang saat ini beralih ke sektor energi terbarukan.

“Investasi PLTS Atap oleh Danone-AQUA adalah fenomena menarik karena mempertemukan dua perusahaan multinasional yang saling bersinergi mendorong transisi energi global untuk memastikan kenaikan suhu global tidak melebihi 2 derajat,” paparnya.

Menurutnya, transisi energi merupakan sebuah keniscayaan melihat banyaknya pelaku industri di dunia yang menetapkan target untuk menggunakan listrik yang bersih melalui pemanfaatan teknologi energi terbarukan. 

Menurut Fabby, investasi PT Tirta Investama menunjukan bahwa teknologi PLTS semakin terjangkau dan kompetitif harga listriknya. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa harga modul surya turun 90 persen dalam 1 dekade terakhir, harga listrik dari PLTS semakin murah dan dapat menandingi pembangkit fosil seperti PLTU. Pemanfaatan PLTS yang meluas juga menunjukan bahwa isu intermitensi energi terbarukan bukanlah kendala yang tidak dapat diatasi. Ini membongkar mitos yang selama ini beredar bahwa PLTS tidak handal dan mahal. 

Menyoal target pemerintah untuk bauran energi terbarukan sebesar 23 persen di tahun 2025, Harris Yahya, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Kementerian ESDM  memaparkan bahwa masih ada selisih antara target dan perencanaan yang cukup besar yang harus segera diatasi. 

“Saat ini, proyeksi kita masih ada di 15 persen dari 23 persen,” ungkapnya.

Harris menjelaskan bahwa pemerintah sudah melakukan beberapa tindakan untuk memenuhi target selisih 8 persen tersebut.

“Pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) nomor 49 Tahun 2018 yang sudah mengalami perbaikan menjadi Permen nomor 13 Tahun 2019 dan nomor 16 Tahun 2019. Usahanya ini untuk membuat PLTS Atap menjadi lebih menarik tidak hanya di industri rumah tangga tapi tapi juga semua bangunan komersial,” imbuhnya.

Ganjar  Pranowo, Gubernur Jawa Tengah memuji langkah industri untuk penerapan energi ramah lingkungan. Ganjar menegaskan pentingnya transformasi perilaku dalam memasuki era transisi energi ini.

“Ada lampu tenaga surya untuk penerangan jalan yang mati karena tidak dirawat atau aki (baterai) nya hilang. Dana perawatan dari pemerintah pusat tidak tersedia tapi hal seperti ini dapat dilakukan oleh pemerintah daerah. Oleh karena itu perlu payung kerjasama antar lembaga pemerintah, pelatihan untuk merawatnya serta perlu keseriusan dari berbagai pihak sehingga teknologinya dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan” ungkapnya.

Ganjar berpendapat Indonesia bisa bergerak lebih maju di bidang PLTS karena tersedianya bahan dasar pembuatan sel surya. Oleh karena itu Indonesia perlu membangun industri sel surya dan pendukung lainnya. 

“Bekerja sama dengan perguruan tinggi di Indonesia, kita pasti bisa membuat teknologi sel, modul surya, baterai yang bisa diproduksi massal untuk rumah tangga,”simpul Ganjar pula (US, FT).

Jika Pemerintah Serius Dalam Susun Peta Jalan Transportasi Rendah Karbon, Indonesia Berpotensi Dapat Cegah 500 Ton Emisi Karbon di 2050

Liputan Kegiatan – Seri laporan studi tematik peta jalan transisi energi di Indonesia: Transisi Menuju Transportasi Rendah Karbon

Jakarta, Selasa, 6 Oktober 2020 –  Seiring dengan perkembangan ekonomi, transportasi berkembang menjadi kebutuhan yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Hanya saja, limbah karbon yang dihasilkannya, bila tidak ditangani secara serius oleh pemerintah dan berbagai pihak, kelak akan menaikkan suhu bumi yang membahayakan kehidupan manusia. Selain itu, jika lalai, Indonesia sendiri berisiko terkucilkan dari pergaulan internasional karena tak dapat memenuhi janjinya pada Kesepakatan Paris untuk menghasilkan nol emisi di tahun 2050.

Urgensi inilah yang menjadi pembahasan Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam peluncuran laporan seri keduanya dari lima seri laporan studi mengenai Peta Jalan Transisi Energi Indonesia yang berjudul A Transition Towards Low Carbon Transport in Indonesia: A Technological Perspective. Berlangsung secara daring, acara ini turut mengundang Firdaus Komarno, Kepala Pusat Pengelolaan Transportasi Berkelanjutan Kementerian Perhubungan dan Faela Sufa,  Direktur Asia Tenggara dari Institute for Transportation & Development Policy (ITDP) untuk merespon temuan dan rekomendasi dari laporan yang ditulis oleh Julius Christian Adiatma.

Julius memaparkan bahwa sebagai pengguna BBM terbesar, transportasi menyumbang gas rumah kaca (GRK) di tahun 2017 itu sekitar 150 juta ton. Jika pola konsumsi energinya tetap sama maka di tahun 2050 akan menghasilkan sebesar 500 ton emisi karbon.

Ia menawarkan tiga pendekatan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan memitigasi dampak dari transisi energi di bidang transportasi yaitu Avoid, Shift, dan Improve (ASI).

“Pendekatan Avoid artinya kita sebisa mungkin mengurangi jumlah perjalanan dan jumlah kebutuhan transportasi dengan melalui tata kota yang lebih baik. Sementara Shift itu adalah beralih ke moda transportasi yang lebih hemat energi atau lebih tidak karbon intensif. Improve berarti meningkatkan efisiensi dari kendaraan ataupun intensitas karbon dari kendaraan itu sendiri, “ jelasnya.

Membahas moda transportasi yang hemat energi, Julius menyarankan segera melakukan pengembangan elektrifikasi kendaraan ringan. Namun tentu saja, hal tersebut membutuhkan perencanaan yang matang dengan memperhatikan sistem kelistrikan di Indonesia yang masih menggunakan batu bara serta masih minimnya infrastruktur pendukung seperti pengisi daya kendaraan listrik.

“Intinya, mau tidak mau, transisi energi ini akan terjadi juga. Tentu saja menyebabkan beberapa dampak yang negatif, misalnya ketidaksiapan infrastruktur atau kesalahan pemilihan teknologi. Penurunan aktivitas ekonomi atau terjadinya aset terdampar,” imbuhnya.

Julius juga menyinggung peta jalan yang telah disusun oleh Kementerian Perhubungan. Menurut Julius, cita-citanya belum sesuai dengan Paris Agreement.

“Kalau kita lihat roadmap dari industri otomotif kan itu sampai tahun 2034, kalau tidak salah baru 30% dari produksi kendaraan dalam bentuk kendaraan energi surya atau biofuel. Jika demikian, maka proyeksinya di tahun 2020, hanya 30 persen kendaraan listrik yang ada di jalan,” urainya.

Menurutnya lagi, peta jalan transisi energi di bidang transportasi harus memuat pembangunan infrastruktur yang sesuai perkembangan teknologi, mengantisipasi dampak ekonomi-sosial dari transisi beserta rencana mitigasinya, serta riset dan pengembangan teknologi alternatif transportasi rendah karbon. Selain itu,  pemerintah harus memiliki rencana dan memastikan bahwa proses transisi ini dapat dicapai dengan sukses sekaligus mengurangi risiko-risiko dari proses transisi yang terjadi, utamanya kepada pemangku kepentingan yang terlibat (termasuk didalamnya para pelaku industri, pekerja dan masyarakat yang terdampak).

Menanggapi penjabaran Julius, Faela sepakat agar pemerintah harus lebih proaktif menyikapi kebutuhan transportasi rendah karbon, tidak hanya di tataran nasional bahkan hingga daerah.

“Perlu ada peta jalan dan target di tingkat daerah untuk beralih ke transportasi publik dengan energi terbarukan jadi tidak hanya listrik saja,” tandasnya.

Ia juga menyarankan agar Kementerian Perhubungan bisa mendorong kebijakan insentif non fiskal di pemerintah daerah seperti tiket parkir yang lebih rendah bagi kendaraan yang rendah karbon.

Merespon hal ini, Firdaus Komarno secara umum sepakat akan kebutuhan Indonesia untuk melakukan transisi energi. Melalui presentasinya, Firdaus mengungkapkan bahwa pemerintah sudah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mendorong perubahan energi di bidang transportasi. Namun, ia mengakui kebijakan tersebut belum cukup terintegrasi dengan baik.

“Mudah-mudahan makin kedepan terutama tiga Kementerian yakni Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Perhubungan dan Perindustrian saling bersinergi, berintegrasi dalam rangka mengawal pembangunan rendah karbon ini,” harapnya.

Firdaus mempunyai pandangan yang sama terkait tantangan transisi energi di Indonesia. Selain yang sudah Julius sebutkan, pemerintah juga masih terkendala pada belum adanya penetapan tarif listrik sehingga tidak memberi kepastian bagi produsen kendaraan listrik. Selanjutnya pemerintah juga belum mengeluarkan kebijakan pemberian insentif bagi pengguna kendaraan rendah karbon.

Lebih jauh, Firdaus merasa senang dan terbuka bila ada kesempatan diskusi bagi pihaknya, IESR ataupun organisasi lain yang mempunyai visi sama untuk mewujudkan transportasi rendah karbon di Indonesia.


Saksikan kembali siaran tundanya:

Materi paparan

A Transition Towards Low Carbon Transport in Indonesia_ a technological perspective

Unduh

Bahan Webinar IESR 061020

Unduh