Transisi Energi Mengancam Industri Batubara : Pemerintah Perlu Tinjau Ulang Kebijakan Energi Batubaranya

 

Jakarta, 13 Oktober 2020 – Meski Indonesia merupakan salah satu produsen batubara terbesar  dengan kuantitas ekspornya 80 persen dari total produksi batubara serta tingkat konsumsi batubara domestik di pembangkit listrik (PLTU) hampir 95 juta ton di 2020, tetap saja, sebagai sumber daya yang tidak dapat diperbaharui, batubara akan segera mengalami masa kesudahannya. Terlebih, saat ini tren dunia mulai beralih ke energi terbarukan. Hal ini membuat batubara akan tersingkir dari kompetisi pemenuhan energi yang ramah lingkungan.

“Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) mengusung batubara sebagai modal pembangunan dengan asumsi batubara sebagai sumber energi yang murah. Faktanya, hal tersebut mulai terbantahkan dengan munculnya pembangkit energi terbarukan yang jauh lebih murah. Lalu apakah kebijakan energi Indonesia saat ini masih relevan?” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam pembukaan peluncuran laporan ketiga dari lima seri studi tematik mengenai peta jalan transisi energi Indonesia berjudul Energy Transition in the Power Sector and Its Implication for the Coal Industry.  Turut hadir pula pada acara yang dilakukan secara daring tersebut Sujatmiko, Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif  Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia.

Deon Arinaldo, penulis laporan ini telaah Energy Transition in the Power Sector and Its Implication for the Coal Industry menjelaskan secara gamblang posisi batubara yang  sudah mulai tidak populer di beberapa negara.

“Cina sebagai salah satu negara tujuan ekspor batubara Indonesia, mempertimbangkan untuk membatasi penggunaan batubara karena menghasilkan polusi udara. Bahkan, presiden Cina menetapkan net zero emisi di tahun 2060. Selanjutnya, seperti yang sudah terjadi di 2013-2015, ketika harga batubara turun, pemerintah Cina mulai membatasi impor batubara untuk melindungi batubara domestik,” tegasnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan hal sama juga terjadi di beberapa negara pengimpor batubara Indonesia seperti di India yang mulai menetapkan kebijakan yang mengurangi impor dengan mementingkan penggunaan batubara dalam negeri sambil mendorong pengembangan sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan. Jepang dan Korea juga mulai beralih dari impor batubara Indonesia ke batubara yang lebih tinggi kualitasnya seperti dari Australia dan Rusia. Korea sendiri telah menetapkan pajak impor batubara untuk membatasi volume impor kedepannya.  

Tentu saja, untuk mempersiapkan diri menuju transisi energi, Indonesia juga perlu memetakan industri, daerah dan masyarakat yang terdampak sehingga tidak menimbulkan kontraksi ekonomi yang signifikan.

Deon menyarankan agar pemerintah segera memfokuskan diri untuk menuju transisi energi dengan lebih banyak berinvestasi pada sumber energi terbarukan dibandingkan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan baku batubara.

“PLTU dibangun tapi kemudian menjadi aset terdampar karena tidak sesuai dengan perkembangan dunia, tentu hal ini akan menambah kerugian,” urainya.

Deon merekomendasikan pada pemerintah untuk mengadopsi tiga strategi dalam mengurangi dampak transisi energi. Pertama, melakukan moratorium pembangunan PLTU untuk memperkecil potensi aset terbengkalai dan juga memperbesar ruang bagi bauran energi terbarukan. Kedua, PLTU yang masih beroperasi dan ekonomis perlu melakukan retrofit yakni membuat pembangunan lebih relevan,dan lebih fleksibel untuk energi terbarukan. Ketiga, merencanakan percepatan penutupan PLTU (coal-phase out) dengan mempertimbangkan efisiensi dan kesiapan sistem ketenagalistrikan dan teknologi pengganti dari energi terbarukan. Untuk industri batubara, tentu diversifikasi bisnis ke industri yang lebih berkelanjutan dan sunrise diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan daya saing perusahaan dalam jangka menengah dan panjang.

Menanggapi pemaparan Deon, Sujatmiko beranggapan potensi batubara di Indonesia masih sangat banyak sehingga masih pantas untuk diandalkan sebagai motor penggerak ekonomi. Namun, ia tidak menyangkal jika kedepannya perlu inovasi di dunia bisnis batubara agar tetap sejalan dengan Kesepakatan Paris yakni mengurangi emisi gas rumah kaca.

“Caranya, kita sedang mengembangkan industri hilir batubara di antaranya dengan gasifikasi batubara, pencairan batubara, peningkatan mutu batubara. Pemerintah juga melalui UU Cipta kerja akan memberikan insentif non fiskal untuk pengembangan batu bara seperti pemberian izin tambang, dan fiskal dengan royalti sampai 0 persen untuk meningkatkan keekonomian hilirisasi batubara,” bahasnya.

Sebaliknya, Deon justru memandang langkah ini belum menjawab pokok persoalan sebenarnya.

“Gasifikasi batubara  untuk memproduksi sintetik gas,bukanlah teknologi yang baru bahkan jauh lebih kompleks dan lebih mahal dibandingkan mengolah langsung dari gas bumi. Dalam proses gasifikasinya juga, jumlah emisi gas rumah kaca yang  dihasilkan gas bumi lebih minim dibandingkan batubara. Belum lagi, permintaan hasil gasifikasi batubara ini berupa sintetik gas, apakah dapat bersaing dengan produk sintetik gas dari komoditas lainnya? Lalu apakah ada pasar dalam negeri yang mampu menyerapnya?” jelasnya.

Di lain pihak, Hendra Sinadia melihat pangsa pasar batubara masih cerah di 20 tahun ke depan. Namun, ia setuju jika pemerintah segera memimpin langsung proses menuju transisi energi  terbarukan sehingga kepentingan semua pihak, termasuk pelaku usaha batubara, dapat terakomodasi dengan baik.


Materi paparan kegiatan

Coal Industry_Deon Arinaldo

Unduh

20201013 DBB Bahan IESR Peluncuran Buku

Unduh

IESR Launching Peta Jalan Studi Transisi Energi - Batubara - (Hendra) - 131020

Unduh