Serius Sikapi Transisi Energi Pasca COVID-19 Akan Cegah Guncangan Ekonomi Akibat Perubahan Iklim 

EU Climate Diplomacy Week: Pemulihan Hijau Pasca COVID-19

Jakarta, 2 November 2020 – Pandemi COVID-19 membawa kejutan yang signifikan di bidang ekonomi dan energi di dunia. Pemberlakuan kebijakan penutupan wilayah atau lockdown dan pembatasan sosial berskala besar dalam kurun waktu tertentu telah mengakibatkan banyak industri gulung tikar dan jutaan orang kehilangan pekerjaannya. IMF memprediksikan bahwa ekonomi global berkontraksi 4,4% tahun ini, sebelum diharapkan kembali pulih positif lagi tahun depan.

Guncangan dari pandemi mengarah pada pengurangan emisi secara global. Hasilnya adalah penurunan emisi CO2 global yang tiba-tiba sebesar 8,8% pada paruh pertama tahun 2020. Meski seakan sejalan dengan Kesepakatan Paris dalam mengurangi emisi gas rumah kaca untuk mencegah kenaikan suhu bumi di atas 2 derajat celcius, namun hal ini akan menjadi kasuistik semata jika tidak segera direspon dengan kebijakan yang tepat. Hal ini menjadi kesempatan yang baik bagi tiap negara di dunia untuk segera mengambil kebijakan strategis untuk memulihkan perekonomiannya sekaligus melakukan transisi energi dengan meninggalkan energi fosil menuju energi terbarukan. 

Menjadi bagian dalam rangkaian EU Climate Diplomacy Week, Institute for Services Reform (IESR) melakukan webinar bertajuk Pemulihan Hijau Paska COVID-19. Hadir sebagai narasumber Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Executive Director IESR;, Thomas Capral Henriksen, Kepala Hubungan Kerjasama bidang Energi di Kedutaan Besar Denmark untuk IndonesiaHead of Energy Cooperation at the Embassy of Denmark to Indonesia;, Lidia Wojtal, Pimpinan Proyek, Agora Energiewende;, Catrina Laura Godinho, Koordinator Proyek, Climate Transparency; dan Lourdes Sanchez, Pemimpin dan Penasehat Senior Kebijakan, International Institute For Sustainable Development (IISD) dan sebagai penanggap adalah Ridha Yasser, Deputi Direktur Program dan Investasi Energi, Direktorat Energi, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

 

“Secara global, data dari International Energy Agency (IEA) mencatat terjadi penurunan permintaan minyak bumi hingga 9%, sementara batubara juga turun sebanyak 6%. Indonesia sendiri mengalami penurunan ekspor batu bara mencapai 11% hingga Agustus tahun ini, dibandingkan tahun lalu. Ini sama dengan kerugian pendapatan sebesar 2,2 miliar dolar. Permintaan batubara di pasar Indonesia turun 20%. Sisi baiknya, penurunan permintaan bahan bakar fosil sebenarnya merupakan peluang untuk berakselerasi transisi energi, jika negara memandang seperti itu,” ungkap Fabby Tumiwa membuka kegiatan tersebut.

Fabby mengurai fakta bahwa sebenarnya di tahun 2018, Indonesia melalui Presiden Joko Widodo sudah menandatangani Solidarity and Just Transition atau Silesia Declaration. Deklarasi ini menjadi desakan bagi Indonesia untuk melakukan transisi energi rendah karbon dan transformasi ekonomi yang bertahan terhadap perubahan iklim  untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan dengan tetap berlandaskan pada “transisi tenaga kerja yang berkeadilan”.

“Semangat dan ciri-ciri deklarasi ini harus diintegrasikan ke dalam perekonomian Indonesia dan strategi pengembangan pasca pandemi. Misalnya, pemerintah perlu memastikan provinsi yang menggantungkan pendapatannya pada batubara memiliki aliran pemasukan baru dan penciptaan lapangan kerja kegiatan ekonomi alternatif yang menggantikan sektor ekstraktif yang kehilangan pesonanya. Sayangnya, kita tidak punya banyak waktu. Transisi energi harus dimulai dari sekarang mengingat ekspor batubara terus mengalami penurunan tajam,” tegas Fabby.

IESR meyakini bahwa sebelum 2030, PLTS akan menjadi penyimpanan daya dan baterai yang lebih murah untuk dibangun dan dijalankan daripada PLTU.

 “IESR percaya bahwa moratorium pembangkit listrik tenaga batubara harus menjadi pertimbangan serius oleh perencana listrik dan utilitas di Indonesia untuk menghindari aset yang terlantar yang akan membebani pembayar pajak di negara ini kedepannya. Keputusan yang kita buat hari ini akan menentukan masa depan kita dan catatan kita dalam sejarah,” jelas Fabby.

Di lain pihak, Thomas mengklaim bahwa Uni Eropa sangat berambisi untuk memenuhi target Kesepakatan Paris. Salah satu mekanisme yang tercantum EU Green Deal ini adalah memastikan terjadinya transisi energi yang berkeadilan dan memobilisasi investasi sebesar 1 triliun euro di bidang energi terbarukan selama 10 tahun mendatang.

“Di Denmark, kita belum memutuskan suatu kebijakan baru yang berkaitan dengan COVID-19 dan energi. Namun, kebijakan energi Denmark sudah disusun dengan cukup ambisius pada tahun 2018. Saat ini 50 persen energi Denmark berasal dari pembangkit listrik tenaga angin. Kami menargetkan di tahun 2030, Denmark sudah menggunakan 100 persen energi terbarukan. Di tahun 2050, Denmark akan bebas dari energi fosil,” papar Thomas.

Meskipun masih 50 persen mengandalkan PLTB, Thomas menjamin bahwa tingkat keamanan pasokan listriknya mendekati seratus persen. Ini dibuktikan dengan rendahnya tingkat gangguan listrik yang kurang dari 20 menit untuk rata-rata konsumsi listrik setiap tahun.

Krisis minyak dan mahalnya harga batubara membuat Denmark mulai melakukan transisi energi sekitar tahun 1979 atau 1980.  Namun perkembangan energi terbarukan berjalan pesat di sepuluh tahun belakangan ini.

“Energi hijau ini sangat bertahan terhadap perubahan keadaan dan fluktuasi harga bahan bakar fosil. Tidak hanya itu, investasi di energi terbarukan akan membuka lebih banyak lapangan pekerjaan, mengingat saat ini sudah banyak investor yang menolak untuk berinvestasi di pertambangan batubara,”tandasnya.

Ia juga menunjukkan bahwa di tahun 1990, semenjak terjadi penurunan emisi 40 persen terjadi lonjakan GDP sebesar 60 persen di perekonomian Denmark.

“Ini membuktikan jika pertumbuhan ekonomi akan naik sejalan tingginya ambisi untuk menurunkan emisi,”simpul Thomas.

Lidia Wotjal menyampaikan bahwa perkembangan positif di bidang energi terbarukan juga sedang terjadi di Polandia.

“Pada 2006, Polandia mengandalkan 90 persen pasokan listriknya dari batubara. Namun di 2018 mengalami penurunan penggunaan batubara menjadi 78 persen dan di 2019 menjadi 73,6 persen saja,” tuturnya.

Ia meyakini bahwa perubahan ini merupakan implikasi dari kebijakan Uni Eropa yang mewajibkan pengurangan emisi karbon. Meski hingga kini masih terdapat kegiatan penambangan batubara, namun industri ini sudah mengurangi efisiensi biaya batubara seiring dengan menuanya fasilitas PLTUnya.

“Kesadaran untuk melakukan transisi energi justru datang dari produsen dan konsumen energi. Kebutuhan akan udara bersih menjadi faktor pemicu peralihan energi. Mungkin ini merupakan fakta yang mengejutkan bagi negara lain, tapi di Polandia, sebanyak 50 persen dari rumah tangga menggunakan batubara yang mengakibatkan polusi udara yang pekat baik di daerah kota maupun pedesaan,”tutur Lidia.

Melihat permasalahan ini, pemerintah Polandia memutuskan untuk mendorong modernisasi energi panas bumi dan mensubsidi pemasangan photovoltaic (PV) di dua tahun lalu. Masyarakat segera meresponi hal ini dengan sangat baik. Hasilnya, terjadi peningkatan pemasangan PV sebanyak dua kali lipat hanya dalam satu tahun saja.

Pemerintah Polandia mengamati bahwa pergerakan investasi akan mendominasi energi terbarukan sehingga di September 2019, Menteri Iklim di Polandia menyerahkan konsep strategi energi dengan menargetkan 11 persen batubara dalam bauran energi di 2040.

Hanya 3 Persen dari Paket Pemulihan Ekonomi Pasca COVID-19 Menyasar Energi Terbarukan

Menyoal pemulihan ekonomi pasca COVID-19, khususnya di negara yang tergabung dalam G20, Catrina Laura Godinho mengamati bahwa paket pemulihan ekonomi masih berfokus pada energi fosil.

“Seharusnya pandemi COVID-19 ini bisa digunakan oleh pemerintah untuk menyesuaikan kebijakannya sehingga pengeluaran pemerintah tidak hanya untuk respon pemulihan sesaat tapi juga pemulihan jangka panjang. Pemulihan dengan memperhatikan energi bersih akan menjadi kesempatan yang baik untuk memastikan ekonomi sehat dan penyerapan tenaga kerja meningkat,”kata Catrina.

Ia kembali melanjutkan, “COVID-19 ini harus menjadi pendorong bagi negara G20 untuk lebih ambisius dengan strategi penurunan emisi rumah kacanya, terutama karena negara G20 inilah yang menghasilkan lebih dari  dua hingga tiga perempat emisi gas rumah kaca di dunia.”

Menurutnya, efek domino dari penetapan target nol emisi di tahun 2050 mulai terasa. Di mulai dari beberapa negara seperti Jepang, Kanada, dan Cina yang sudah menetapkan kebijakannya untuk mencapai target tersebut.

“Merupakan hal yang penting pula bagi negara G20 untuk memperbaharui Nationally Determined Contribution (NDC) agar sesuai dengan kesepakatan Paris sehingga kita bisa melihat targetnya secara sektoral hingga 2030. Sebab ambisi jangka panjang juga akan tidak berarti bila tidak disertai keputusan-keputusan jangka pendek,”tandasnya.

Lourdes Sanchez yang organisasinya berfokus pada pengawasan aliran uang publik di sektor energi, menemukan dari 7 juta dolar dana pemulihan Indonesia hanya 3 persen ditujukan pada energi terbarukan, 97 persennya mengalir ke BUMN.

“Karena ini uang publik, seharusnya pemerintah menyalurkannya dengan memberikan prasyarat. Dengan demikian, pembangunan yang berkelanjutan di bidang energi terbarukan dapat berjalan. Misalnya, pemerintah memberikan bantuan kepada PLN, pemerintah juga harus meminta komitmen PLN untuk mengembangkan PLTS atap,” ujarnya.

Meresponi pemaparan dari para narasumber, Ridha Yasser mengungkapkan bahwa melakukan transisi energi di Indonesia bukanlah hal yang sederhana. Ia melihat banyaknya peraturan yang tumpang tindih di Indonesia membuat investasi di bidang energi terbarukan menjadi sulit. Kebijakan dari pemerintah yang selalu berubah seiring dengan pergantian presiden atau menteri, membuat pihaknya memandang wajar jika perkembangan energi terbarukan di Indonesia tidak sepesat negara lain.

“Indonesia mempunyai potensi bagus di energi terbarukan. Tapi saat ini, banyak masyarakat yang menggunakan energi fosil. Namun ada peluang bagi pengembangan energi terbarukan yang berfungsi untuk mem-back up energi fosil,”ujar Ridha.

Ridha beranggapan bila proyeksi energi terbarukan makin bersinar di negara lain di dunia, terutama di negara Uni Eropa, pihaknya akan mendorong investasi serupa di Indonesia.

“Menurut saya, kita harus mengikuti kemana uang berjalan. Jika sekarang investasi condong ke energi terbarukan, maka pemerintah pun harus memalingkan kepalanya dari energi fosil ke energi hijau, energi terbarukan,” tutur Ridha.

Menanggapi hal tersebut, Thomas mendorong Indonesia untuk menerapkan kebijakan yang menarik, misalnya dengan membuka lelang bagi investor internasional untuk berpartisipasi dalam pembangunan energi terbarukan di Indonesia.


Saksikan kembali rekamannya:

Materi Paparan
CDW_IESR roundtable 2nd november

Unduh