Tren Energi Terbarukan Global Meningkat, Indonesia Harus Bersiap!

Indonesia Energy Transition Dialogue 2020 – Hari Ke 3 | #IETD2020 #TransisiEnergi

Jakarta, 9 Desember 2020 – Transisi energi mulai terjadi di seluruh dunia. Menurut data yang dihimpun oleh Bloomberg NEF, ada 10 juta bus listrik yang beredar di seluruh dunia dan jumlahnya terus meningkat.  Kepala Riset APAC Bloomberg NEF, Dr Ali Izadi mengatakan data peningkatan jumlah bus listrik itu berbanding lurus dengan kenaikan tren energi terbarukan di masa depan. 

“Pada 2050, energi terbarukan sinar matahari dan angin akan mendominasi dunia. Lima tahun ke depan, energi terbarukan sinar matahari dan angin mulai on track,” kata Ali. Oleh karena itu Ali mengatakan dalam enam bulan ini terjadi perubahan pasar energi di dunia yang begitu pesat. Negara-negara di seluruh dunia harus melakukan transisi energi mulai saat ini.

Peningkatan tren minat dunia pada energi terbarukan berdampak pada permintaan batu bara di Indonesia. Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia, Hendra Sinadia, mengatakan saat ini permintaan ekspor batu bara Indonesia masih menjanjikan di Asia Tenggara dan Asia Timur. Namun, pada 2019, permintaan itu sudah mencapai puncaknya.

“18 persen ekspor batu bara kita pergi ke Cina dan India. Kemudian 30 persen diekspor ke Taiwan, Thailand dan Jepang. Kita tetap akan menandatangani kerjasama ekspor dengan Cina untuk menjaga hubungan baik dengan negara itu. Akan tetapi pada 2019 permintaan batu bara sudah klimaks, akan ada penurunan pelan-pelan ke depannya, memang harus transisi energi terbarukan,” kata Hendra.

Saat ini Indonesia sudah mulai melakukan transisi energi terbarukan melalui PT PLN sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Fase pertama transisi diesel ke energi terbarukan dilakukan di 200 titik dengan total kapasitas 225 MW. 

Direktur Mega Proyek PLN, M Ikhsan Asaad mengatakan untuk mendukung fase pertama transisi, PLN tidak hanya melakukan dekarbonisasi, namun juga digitalisasi. “Smart grid, smart meter, smart home. Kemudian kami juga mengadakan storage terdistribusi. Pertamina, PLN, Antam juga berkolaborasi berupaya mengembangkan industri batu baterai di indonesia,” kata Ikhsan.

Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin mengatakan saat ini Indonesia memiliki surplus energi sebesar 3500 MW, dari surplus tersebut masyarakat menggunakan energi sebesar 1000 MW. “Dari penggunaan itu 60 persennya masih batubara dan 15 persen gas alam,” kata Budi.

Di sisi lain, saat ini Indonesia masih melakukan ekspor batu bara murah ke luar negeri dan memberi subsidi pada konsumsi LPG sebesar 40 triliun. Menurut Budi, seharusnya 10 triliun dari anggaran pemerintah bisa digunakan sebagai biaya riset dan pengembangan energi terbarukan. 

Akan tetapi, dalam implementasinya, Indonesia tidak bisa meniru mentah-mentah strategi transisi energi terbarukan yang dilakukan oleh negara lain. “Tidak bisa mentah-mentah karena kita negara kepulauan. Harus memikirkan bagaimana energi itu tidak hanya terdistribusi tapi terkoneksi dari satu pulau ke pulau lain,” kata Budi.

Faisal Basri, anggota Indonesia Circular Economy Forum mengatakan, selain ketersediaan, pemerintah juga harus mewujudkan keterjangkauan energi terbarukan untuk masyarakat. Untuk itu pemerintah harus menyediakan subsidi energi terbarukan daripada subsidi bahan bakar fosil. 

Dalam hal ini, Faisal menilai pemerintah masih belum satu suara dengan BUMN seperti Pertamina. Faisal mengatakan di tengah pandemi, pemerintah memberikan peningkatan fasilitas untuk energi berbasis fosil. Apalagi dalam RUU Cipta Lapangan Kerja, banyak pasal yang justru menguntungkan mekanisme harga dalam industri batu bara.

“Contohnya ketika pertamina launching ide mengeliminasi 88 ton karbon dengan pertalite. Tapi pertalite ini harganya sama dengan premium. Pemerintah tidak mengatakan apa apa. Pemerintah masih alokasi subsidi untuk premium. Pertamina lebih progresif daripada pemerintah,” kata Faisal.

Faisal mengatakan untuk mewujudkan transisi energi terbarukan, pemerintah perlu mendukung industri energi terbarukan dengan kebijakan di bidang infrastruktur energi terbarukan, subsidi energi terbarukan dan mekanisme harga energi terbarukan.

Direktur Eksekutif Institute Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan transisi energi secara global sudah terjadi dan tidak terelakan. Bagi BUMN energi di Indonesia, penting untuk dapat bertahan di era transisi energi ini dengan melakukan transformasi bisnis dan melakukan inovasi-inovasi. 

“Di sektor kelistrikan, pemerintah perlu merancang perubahan struktur industri kelistrikan dan penetapan tarif listrik yang merefleksikan biaya produksi marginal jangka panjang (long term marginal cost),” kata Fabby. 

PLN perlu mengintegrasikan sistem penyediaan energi terdistribusi dan memperkuat konsumen. Dengan begitu, konsumen dapat menjadi produsen energi dan membantu PLN mengatasi kebutuhan investasi penyediaan energi yang membutuhkan investasi $25 milyar per tahun menurut IEA (2020) untuk mengakselerasi transisi energi.

“Tantangan bagi pemerintah adalah membuat peta jalan, merencanakan, dan mengelola proses transisi ini mengingat aset infrastruktur fossil fuels yg dimiliki BUMN sangat besar. Tidak banyak waktu tersisa, maksimal 5 tahun untuk menghindari BUMN energi seperti PLN menanggung kerugian finansial karena aset PLTU-nya tidak kompetitif terhadap teknologi pembangkit listrik surya dan storage,” kata Fabby.