Ekspor Batubara Menurun, Saatnya Transisi Energi

Hari ke-4 Indonesia Energy Transition Dialogue 2020, Energy transition in the power sector and its implications for the coal industry

Jakarta, 10 Desember 2020 – Negara tujuan ekspor batubara Indonesia di Asia mulai beralih menggunakan energi terbarukan. Menurut riset Institute for Essential Services Reform (IESR) industri batubara akan mengalami kerugian. Transisi energi menjadi satu-satunya jalan untuk mempersiapkan penurunan ekspor ke Asia.

Menurut Spesialis Data dan Informasi IESR, Deon Aprinaldo, negara tujuan ekspor batubara seperti Cina dan Jepang mulai berkomitmen pada zero carbon mulai 2025 hingga 2050. Kebijakan ini secara tidak langsung mempengaruhi permintaan ekspor batubara Indonesia. 

“Kecenderungan permintaan negara-negara itu menurun, sedangkan Jepang mulai beralih ke batubara kualitas tinggi. Di mana kalau Indonesia mau bersaing ke sana, akan bersaing dengan Amerika Serikat, Rusia dan Kanada,” kata Deon.

Di Asia Tenggara, permintaan ekspor batubara Indonesia masih tinggi. Akan tetapi, Vietnam yang berhasil meningkatkan transisi energi terbarukan kemungkinan akan dicontoh oleh negara-negara Asia Tenggara lainnya. Sehingga permintaan batu bara dari Asia Tenggara akan menurun di masa depan.

“Sementara itu, saat ini 27 GW dari pembangunan pembangkit listrik batubara masih dilakukan oleh pemerintah. Direktur PLN sendiri pada Agustus 2020 mengatakan saat ini PLTU memasang kontrol polusi untuk upaya penurunan karbon, akan tetapi menggunakan itu PLTU akan mengalami peningkatan biaya operasional,” kata Deon.

Staf Khusus Batu Bara dan Mineral Kementerian ESDM, Irwandy Arif mengatakan 2027 akan menjadi puncak penurunan permintaan batu bara di seluruh dunia. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia sebab saat ini pemerintah sedang menggunakan produk turunan batu bara untuk mengatasi defisit anggaran akibat impor LPG.

“Oleh karena itu saat ini kementerian ESDM sedang menyusun grand strategy komoditas penting energi terbarukan. phaseout-nya batubara itu sangat ditentukan oleh energi terbarukan dan kebijakan menyeluruh yang dirancang pemeintah,” kata Irwandy.Transisi energi juga dilakukan oleh perusahaan-perusahaan milik negara, misalnya PT Bukit Asam.

PTBA melakukan program green airport dengan membangun infrastruktur panel surya. Selain itu, mereka membangun panel surya di beberapa kabupaten.

Kebijakan Energi Terbarukan di Indonesia Tumpang Tindih

Hari ke- 4 Indonesia Energy Transition Dialogue 2020, Better energy system planning to transition the Indonesian power sector

Jakarta, 10 Desember 2020 – Iklim kebijakan energi terbarukan di Indonesia dinilai belum mendukung energi terbarukan. Para peneliti dan pakar melihat adanya tumpang tindih antara Rencana Umum Energi Negara (RUEN) dengan Rencana Usaha Penyediaan Listrik (RUPTL) yang dibuat oleh PT PLN. 

Ketua Masyarakat Energi Baru Terbarukan Indonesia (METI) Dr Surya Darma mengatakan pemerintah sudah rinci memaparkan upaya penurunan emisi karbon dalam RUEN. Namun, disisi lain, pemerintah masih menandatangani RUPTL PT PLN yang tidak sesuai dengan RUEN. “Ini adalah paradoks. Targetnya saja sudah tidak sesuai apalagi pencapaiannya?” kata Surya.

Menurut Surya, penetapan target yang tidak satu suara antara RUEN dan RUPTL akan terus menimbulkan kebijakan yang tumpang tindih dalam bidang energi terbarukan. Masih ada jeda 8 tahun bagi pemerintah untuk melakukan revisi RUEN. 

Namun apabila tidak memungkinkan satu-satunya cara adalah melakukan percepatan transisi energi untuk mengejar gap antara RUEN dan RUPTL. “Jika target energi terbarukan dalam RUEN itu 45,2 GW, maka skenario realisasi bisa mencapai 22,62 hingga 25 GW,” kata Surya. 

Selain RUEN dan RUPTL yang saling bertentangan, iklim kebijakan di Indonesia masih abu-abu soal siapa pihak yang bertanggung jawab terhadap implementasi penerapan energi terbarukan di lapangan. Hal tersebut dipaparkan oleh akademisi dari Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung (ITB), Pekik Argo Dahono. 

“Dalam implementasi RUEN itu belum jelas siapa yang akan bertanggung jawab, ini yang menyebabkan banyak kebijakan energi terbarukan yang tumpang tindih. Yang mengawasi tiap saat berbeda,” kata Pekik.

Pekik menilai revisi kebijakan terlalu memakan waktu. Maka yang bisa dilakukan adalah menepati target yang sudah ditulis dalam RUEN. Selain itu, pemberian insentif terhadap pengembangan energi terbarukan juga harus dibarengi dengan kesiapan sistem kelistrikan menerima energi terbarukan. Pekik mengatakan pemerintah harus menghindari ketidaksiapan sistem saat batu bara benar-benar dieliminasi dari sistem kelistrikan Indonesia.

Akselerasi Transisi Energi Harus Berkeadilan

Hari ke-4 Indonesia Energy Transition Dialogue 2020 | #IETD2020 #TransisiEnergi

Strategi pengurangan emisi karbon dengan melakukan transisi energi terbarukan perlu mempertimbangkan semua aspek selain aspek energi. Tujuannya agar tercipta akselerasi transisi energi yang berkeadilan.

Oleh karena itu, Institute for Essential Services Reform (IESR) menerbitkan satu seri laporan skenario struktur model transisi energi terbarukan untuk peta jalan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Berdasarkan perubahan kebijakan nasional tahun ini, struktur model transisi RUEN tidak akan mencapai target pengurangan emisi karbon di tahun 2025. “Transisi energi terbarukan hanya tercapai 15 persen,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Namun, jika menggunakan skenario penghentian PLTU pada 2029, Indonesia bisa menyumbang 24 GW energi terbarukan pada 2025 dan 408 GW pada 2050. Dengan menggunakan skenario struktur model tersebut, emisi Gas Rumah Kaca bisa turun sebanyak 700-750 juta ton karbon hingga 2050.

Dalam laporan tersebut, IESR juga memaparkan rekomendasi untuk mencapai angka dekarbonisasi tersebut. Pertama, dua sektor utama yang harus diprioritaskan untuk transisi adalah sektor ketenagalistrikan dan transportasi. Pemerintah harus akselerasi bauran listrik di sektor transportasi dengan energi terbarukan, sedangkan dalam sektor ketenagalistrikan pemerintah harus melakukan moratorium PLTU baru.

Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jisman Hutajulu mengatakan pembatasan konsumsi batu bara pada PLTU harus diimbangi dengan upaya pemerintah mempertahankan tarif listrik terjangkau untuk masyarakat. “Batubara porsi konsumsinya besar dan itu yang membuat harga listrik tetap terjangkau, jika harga EBT bisa mendekati harga itu, kita bisa agresif transisi energi,” kata Jisman.

Jisman mengatakan untuk saat ini pemerintah sudah melakukan blending, yaitu menggunakan biofuel untuk pembangkit listrik. Jisman mengatakan 815 GW yang dihasilkan dalam proses blending berjalan dengan lancar. Hingga kini ada potensi 1,8 GW yang dihasilkan dari proses blending.

Kepala Pusat Studi Energi (PSE) UGM, Dr. Deendarlianto mengatakan transisi batu bara menuju ke energi terbarukan harus dilakukan dengan perlahan. Berdasar survei PSE, Indonesia masih memerlukan penelitian dan pengembangan yang lebih masif. Dengan penelitian dan pengembangan yang terbatas, pembatasan batu bara akan mengganggu sistem kelistrikan negara.

“Impor akan besar, kemudian ekonomi terganggu. Kita bisa melakukan elektrifikasi pada kendaraan, tapi hanya bisa untuk kendaraan baru supaya investasinya tidak terlalu mahal. Menurut studi kami, mobil listrik yang bisa masuk ke Indonesia maksimal hanya 400.000 dan hanya bisa bertambah 2 persen tiap tahunnya,” kata Deen.