INDONESIA-JERMAN USUNG PROGRAM CASE UNTUK DUKUNG TRANSISI ENERGI BERSIH

JAKARTA – Sebagai negara dengan PDB terbesar di Asia Tenggara, Indonesia diprediksi akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar kelima di dunia pada 2030 berdasarkan perhitungan paritas daya beli (purchasing power parity). Salah satu tantangan upaya peningkatan roda perekonomian sekaligus mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) datang dari sektor ketenagalistrikan yang masih didominasi bahan bakar fosil. Untuk itu, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian PPN/Bappenas bekerja sama dengan German Federal

Ministry for the Environment, Nature Conservation, Building, and Nuclear Safety sepakat mendukung upaya transisi menuju energi bersih melalui program Clean, Affordable, Secure Energy for Southeast Asia (CASE SEA).

“Salah satu sektor strategis yang berperan penting dalam mencapai target-target penurunan emisi GRK nasional yaitu sektor energi, di antaranya sektor pembangkitan. Harapannya, pada 2024, sebanyak 20 persen pembangkit listrik di Indonesia berasal dari Energi Baru dan Terbarukan (EBT),” ujar Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi dan Informatika Kementerian PPN/Bappenas Rachmat Mardiana dalam Kick Off Workshop Program Clean, Affordable, Secure Energy untuk Asia Tenggara yang diselenggarakan secara virtual, Selasa (2/2).

Dilaksanakan hingga Februari 2024, CASE merupakan agenda regional yang dilaksanakan di Filipina, Thailand, Vietnam, dan Indonesia melalui
konsorsium yang terdiri atas Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) di Indonesia, Agora Energiewende, New Climate Institute (NCI), serta Institute for Essential Service (IESR), oganisasi masyarakat sipil di Indonesia. Pelaksanaan CASE di Indonesia bertujuan untuk mengubah narasi arah sektor energi secara substantif, khususnya sektor ketenagalistrikan di Indonesia menuju transisi energi ke arah energi bersih yang berlandaskan pada kebijakan berbasis bukti untuk pemenuhan komitmen Persetujuan Paris (Paris Agreement) yang menanamkan kerangka global
untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. “Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 dan menargetkan penurunan emisi GRK hingga 29 persen pada 2030. Selain itu, RPJMN 2020-2024 sebagai arah kebijakan pembangunan nasional juga telah menjadikan Pembangunan Rendah Karbon sebagai bagian dari Prioritas Nasional,” ujar Direktur Rachmat.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa memaparkan besarnya potensi Indonesia dalam mengoptimalkan sumber EBT. Perkembangan energi bersih semakin menjanjikan, terutama didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Surya dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu dengan biaya investasi yang semakin murah. Sebagai implikasinya, pada 2030, membangun pembangkit listrik baru dari EBT akan lebih murah daripada mengoperasikan pembangkit listrik tenaga batu bara dan gas yang sudah ada di seluruh belahan dunia. Pengembangan EBT untuk menggantikan energi fosil juga
bermanfaat untuk mitigasi perubahan iklim akibat meningkatnya emisi GRK dari sektor pembangkitan. Sebagai salah satu negara dengan tingkat emisi tinggi, Indonesia dituntut menurunkan konsumsi energi fosil dengan secepatnya melakukan transisi ke energi bersih, khususnya di sektor ketenagalistrikan.

“Dalam Rencana Umum Energi Nasional, pemerintah mempunyai target 23 persen bauran energi terbarukan di 2025. Menurut analisis IESR, untuk mencapai target tersebut, Indonesia harus menambahkan kapasitas EBT sekitar dua hingga tiga GW setiap tahun hingga 2025,” ungkap Fabby. Namun, hasil analisis komprehensif IESR menunjukkan, dalam tiga tahun terakhir, rata-rata penambahan kapasitas energi terbarukan hanya sebesar 250-350 MW. Sementara di sepanjang 2021, penambahan diperkirakan hanya mencapai sekitar 400-500 MW. Artinya, sebagai langkah
mengatasi masalah selisih penambahan kapasitas tersebut, Indonesia perlu mempertimbangkan opsi-opsi pengembangan energi terbarukan yang berpotensi besar seperti PLTS, mulai dari skala besar hingga skala kecil (PLTS Atap). Indonesia perlu pendekatan khusus dalam merumuskan kebijakan transisi energi, mengingat profil Indonesia sebagai negara kepulauan dengan kekayaan bahan bakar fosil tersebar di berbagai provinsi menjadi tantangan utama dalam mewujudkan transisi menuju energi bersih.

Dalam upaya mitigasi tantangan dalam mewujudkan transisi energi, implementasi program CASE di Indonesia mengusung prinsip optimal dan inklusif. “Hal ini dilakukan dengan senantiasa melibatkan stakeholders dari berbagai latar belakang sehingga rumusan-rumusan solusi yang lahir dari program ini bersifat komprehensif dan tentu saja berlandaskan pada bukti-bukti dan metodologi ilmiah. Bukti nyata dari pelaksanaan program yang inklusif adalah terlibatnya IESR sebagai salah satu NGO di Indonesia di dalam konsorsium program CASE,” tegas Program Manager CASE Indonesia Lisa Tinschert.

Jakarta, 2 Februari 2021