IESR : Pentingnya Energi Handal dan Ramah Lingkungan untuk Operasional Data Center Indonesia

Saat ini Indonesia termasuk negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi di kawasan Asia Tenggara. Pertumbuhan ekonomi ini juga dibarengi dengan tumbuhnya pengguna internet yang masif, dengan sekitar 65% dari penduduk Indonesia adalah active internet users. Pertumbuhan pengguna internet menuntut tersedianya pusat data (data center) yang handal di Indonesia.

Salah satu karakteristik dari data center adalah 24 jam operasional, dan energi yang dibutuhkan relatif besar. Secara global penggunaan energi untuk data center sebesar 200 Tera Watt Hour sehingga perlu ada langkah antisipatif untuk menyiasati kebutuhan energi dalam jumlah besar ini. Melihat tren global yang menuju karbon netral, adalah hal yang tepat untuk menggunakan energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan energi di data center

Fabby Tumiwa, direktur eksekutif Institute of Essential Services Reform (IESR)  dalam Webinar Sustainability in Digital Age, memaparkan setidaknya akan ada 2 manfaat langsung saat menggunakan energi terbarukan sebagai pemasok daya di data center.

(1) Peningkatan efisiensi energi

Kebutuhan pasokan energi selama 24 jam non-stop membuat data center harus mencari sumber daya yang handal (reliable) untuk memastikan kinerjanya prima. Melihat tren energi terbarukan yang semakin terjangkau, berinvestasi pada energi terbarukan tidak saja memastikan pasokan daya yang handal dan bersih, namun juga efisiensi keuangan pada jangka panjang.

(2) Peningkatan Penggunaan Energi Terbarukan

Dalam ruang lingkup nasional, saat ini Indonesia masih harus mengejar target Persetujuan Paris untuk mencapai 23% bauran energi terbarukan. Saat ini Indonesia baru di angka sekitar 11,5%. Menurut perhitungan IESR, bauran 23% baru akan tercapai jika 70% pembangkit listrik kita dari energi terbarukan. Dengan mendorong sektor industri seperti data center untuk menggunakan energi terbarukan otomatis akan berkontribusi pada tercapainya target bauran energi ini. 

Selain itu, penggunaan energi terbarukan on-site akan sangat relevan untuk mengejar komitmen perusahaan untuk menjadi RE100. Terutama bahwa perusahaan teknologi besar seperti Google, Microsoft, atau Amazon telah tergabung dalam aliansi RE100 yang berarti mereka berkomitmen untuk menjadi karbon netral pada tahun tertentu. 

Fabby menegaskan bahwa untuk mendukung akselerasi energi terbarukan, khususnya PLTS atap, perlu reformasi regulasi seperti perbaikan tarif net-metering, kemudahan prosedur untuk memasang PLTS atap, juga ketersediaan informasi yang merata. 

“Adanya perubahan dari sisi regulasi dan kebijakan akan menjadi sinyal positif bagi investor,”tandasnya.

I Made Aditya Suryawidya, Head of Business Solution SUN Energy, menambahkan bahwa penggunaan energi terbarukan pada data center akan memberikan dampak positif di 3 sektor, yaitu bisnis, penghematan biaya dan lingkungan.

Dari segi bisnis, dengan menggunakan energi terbarukan perusahaan data center akan mendapat tarif yang relatif tetap untuk jangka panjang sehingga membantu perusahaan untuk memprediksi biaya operasional yang harus dikeluarkan. Sementara dari aspek penghematan biaya, penggunaan energi terbarukan akan menekan biaya listrik secara signifikan hingga 30%. Tidak kalah penting ialah dari perspektif lingkungan, pemanfaatan energi terbarukan akan mampu mengurangi jejak karbon perusahaan, mendukung Sustainable Development Goals (SDG) dan program pemerintah untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan dan sebagai bonus, perusahaan akan mendapatkan publikasi terkait energi bersih.

Terbebas dari Energi Fosil, Indonesia Butuh Komitmen Politik, Strategi dan Kebijakan Memperkuat Iklim Investasi Energi Be

Jakarta, 3 Maret 2021-Institute for Essential Services Reform (IESR) mendesak pemerintah Indonesia untuk merencanakan proses transisi energi di Indonesia, dengan mengakselerasi pengembangan energi terbarukan secara masif dan melaksanakan efisiensi energi dalam rangka memenuhi komitmen Indonesia untuk mencapai Persetujuan Paris, yang diratifikasi dengan UU No. 16/2016. 

Dampak perubahan iklim sebagai akibat kenaikan suhu global meningkatkan frekuensi dan intensitas bencana iklim di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Hanya 2 bulan saja di tahun 2021, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa telah terjadi 657 kejadian bencana alam, 98 persennya merupakan bencana hidrometeorologi, dengan jumlah terdampak lebih dari 3,4 juta orang.

Indonesia berkomitmen untuk berkontribusi mencapai target Persetujuan Paris dengan mitigasi gas rumah kaca (GRK) yang dituangkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Salah satu strategi utama mencapai target 29% penurunan emisi GRK yang tertuang di NDC ialah mengakselerasi pembangunan energi terbarukan sehingga mencapai bauran sebesar 23% dalam bauran energi nasional di 2025. Namun, hingga akhir 2020, Indonesia baru mencapai 11,5 persen. 

Pencapaian bauran energi terbarukan ini merupakan milestone penting untuk Indonesia berada pada jalur transisi energi. Untuk mencapai target dalam Persetujuan Paris dan net-zero pada pertengahan abad ini, emisi global harus turun menjadi 45% dari tingkat tahun 2010 di 2030. Agar tujuan tersebut tercapai, maka pembakaran energi fosil, yang merupakan kontributor 70% emisi GRK global, harus diturunkan. 

Hal ini ditegaskan pula pada kajian McGlade and Ekins yang dimuat di Jurnal Nature tahun 2015 yang menunjukan bahwa untuk mencegah kenaikan temperatur global tidak melebihi 2℃ maka dua pertiga cadangan energi fosil (minyak, gas dan batubara) yang saat ini ditemukan tidak boleh dibakar. Konsekuensinya, transformasi sistem energi yang berbasis pada 100% energi bersih harus segera dipersiapkan dari sekarang sehingga dapat tercapai sebelum 2050. 

“Indonesia yang 90% pasokan energinya masih berasal dari bahan bakar fosil perlu bersiap diri melakukan transformasi energi. Dalam tiga dekade mendatang, kita harus mampu meningkatkan pasokan energi terbarukan kita secara masif, dan bertransformasi menuju sistem energi bersih,” jelas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Membahas kesiapan Indonesia dalam bertransisi ke energi terbarukan,  IESR bekerja sama dengan Kompas Media melaksanakan webinar Kompas Talk berjudul “Siapkah Indonesia Tanpa Energi Fosil.” 

“Transformasi energi yang meninggalkan energi fosil yang kotor menuju energi bersih tidak bisa dilakukan secara serampangan dan sesaat, melainkan butuh perencanaan di berbagai bidang, risiko perlu dipetakan dan strategi mitigasi perlu dipersiapkan untuk mengurangi dampak negatif dan biaya ekonomi. Untuk itu diperlukan strategi dan peta jalan transisi energi di Indonesia,” tambah Fabby.

Dengan menggunakan Transition Readiness Framework (Kerangka Kesiapan Transisi) dalam Laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2021, IESR menemukan bahwa kesiapan Indonesia untuk melakukan transisi energi masih rendah. Namun, Indonesia masih mempunyai cukup waktu bila pemerintah lebih ambisius membenahi kesiapan berbagai aspek transisi energi yaitu: a) komitmen politik dan regulasi yang mendorong akselerasi pengembangan energi terbarukan, b) investasi dan keuangan, c) tekno-ekonomi, dan  d) penerimaan publik. Hal ini penting dilakukan agar proses transisi energi berjalan secara berkeadilan serta tidak membawa kerugian sosial ekonomi yang lebih besar.

IESR memandang bahwa hal prioritas dalam waktu dekat yang pemerintah dapat lakukan adalah memperkuat komitmen politik dan kualitas peraturan serta memastikan ketersediaan investasi dan keuangan terhadap pengembangan energi terbarukan. Agar Indonesia dapat mencapai target bauran 23%, kapasitas terpasang pembangkit energi terbarukan perlu mencapai minimal 24 GW di tahun 2025. Hal ini berarti total penambahan pembangkit listrik energi terbarukan harus di kisaran 2-3 GW/tahun. 

Kondisi tersebut akan dapat terpenuhi dengan ketersediaan investasi pembangkit energi terbarukan mencapai 5-7 miliar dolar/tahun. Tentu saja, agar investasi mengalir dan fokus pada pengembangan energi terbarukan, pemerintah perlu memiliki komitmen tegas yang meyakinkan investor untuk berinvestasi dan membuat kebijakan investasi yang menarik. Selain itu, komitmen politik dan kebijakan yang tegas, dengan mengeluarkan kebijakan moratorium pembangunan PLTU dan mempensiunkan PLTU berumur lebih dari 20 tahun secara bertahap, akan menghindari pendanaan yang sia-sia ke depan sebagai akibat dari stranded asset (aset terdampar) PLTU.

Percepatan pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia dapat dicapai dengan mengoptimalkan energi surya. Indonesia memiliki potensi sangat tinggi, analisis IESR menunjukkan potensi 655 GWp untuk sektor residensial saja dan ribuan gigawatt untuk skala besar. Dengan teknologi yang modular dan bisa dimanfaatkan dalam beragam skala, radiasi matahari yang tersedia cukup merata di seluruh Indonesia, dan investasi yang dapat ditanggung oleh beragam pihak, energi surya akan menjadi penggerak utama pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Menilik potensi energi surya yang berperan besar untuk transisi energi di daerah, Jawa Tengah melakukan langkah progresif dengan deklarasi Inisiatif Jawa Tengah sebagai Provinsi Energi Surya bersama IESR pada 2019.

Komitmen dan semangat ini mampu meningkatkan kapasitas terpasang PLTS atap di Jawa Tengah hingga 5,1 MW dari berbagai sektor di tahun 2020. Di tahun ini, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mendukung pemanfaatan energi surya untuk pemulihan ekonomi pasca-pandemi dengan pemasangan PLTS atap di UMKM.  Surat Edaran Gubernur untuk pemanfaatan PLTS atap di bangunan pemerintah, publik, komersial, dan industri yang dikeluarkan di 2019 juga menunjukkan keseriusan Jawa Tengah. 

Berdasarkan hasil perhitungan IESR, Potensi Teknis PLTS terapung di Jawa Tengah dengan bendungannya dapat  mencapai 723 MWp. Pemerintah Jawa Tengah pun menangkap potensi tersebut dan berkomitmen mengembangkan PLTS Terapung.

““Rencana investasi untuk PLTS terapung akan bekerja sama dengan IESR, sebagai tindak lanjut dari Jateng Solar Province, di Waduk Kedung Ombo, Waduk Gajah Mungkur, Waduk Wadaslintang dan Waduk Mrica,”papar Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah dalam kesempatan yang sama.

IESR : Pembentukan Badan Pelaksana EBT Tidak Menyelesaikan Masalah

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai pembentukan Badan Pelaksana EBT yang digagas dalam RUU EBT tidak memecah persoalan lambannya pengembangan energi terbarukan di Indonesia. 

“Jangan malah terjebak logika potong kompas, berharap (pembentukan) satu institusi menyelesaikan masalah tersebut, tapi malah memunculkan masalah baru (kelak),” jelasnya dalam FGD FPKB DPR RI (2/2/2021).

Menurut Fabby, sebaiknya RUU EBT sudah mengidentifikasi hambatan utama untuk mencapai target bauran energi terbarukan seperti dari segi kebijakan, kelembagaan, sosial, teknikal dan infrastruktur sehingga mampu mempercepat perkembangan energi terbarukan.

“Pembentukan badan usaha khusus erat kaitannya dengan target nasional dan institusinya harus beradaptasi dengan lingkungan pendukung. Sedangkan RUU EBT diarahkan untuk membentuk ekosistem pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan serta mengatasi hambatan yang selama ini kita alami,”

Ia menganalisa bahwa selama ini, pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan terkendala karena faktor PLN. Sepanjang persoalan finansial PLN tidak terselesaikan, penetrasi energi terbarukan pada sistem PLN akan terhambat. Ia juga menyinggung soal target bauran energi terbarukan 23 persen di tahun 2025, yang hingga akhir tahun 2020 masih mencapai sekitar 10 persen saja.

“Target 23 persen EBT dalam PP No 70/2014 tidak segera diintegrasikan ke dalam RUPTL 2015 dan program 35 GW. Sementara program 35 GW dengan PLTU batubara berjalan, ternyata kebutuhan listrik tidak sebesar yang diproyeksikan. PLN dalam kondisi susah. Sementara  dalam 5 tahun ke depan, PLN harus tambah lebih dari 10 GW untuk mencapai 23 persen padahal mereka punya kemampuan hanya 5 GW misalnya,” urainya.

Fabby mengambil contoh badan usaha yang Pemerintah India bentuk yakni Solar Energy Corporation of India (SECI)  pada tahun 2007 untuk memecah persoalan perubahan iklim. Sementara saat itu, lebih dari 70 persen pembangkit listrik di India menggunakan batubara. Sementara, India kaya dengan air, surya dan angin. Akhirnya pemerintah India menargetkan untuk pembangunan PLTS 20 GW pada 2022. Sejak diluncurkannya program tersebut di tahun 2010, di akhir tahun 2020, India berhasil mencapai 100 GW energi terbarukan.

Sukses India ini tidak terlepas dari peran SECI.  Agar implementasi PLTS berjalan lancar SECI bertugas dalam pengerjaan berbagai skema PLTS seperti VGF, solar park, grid connected rooftop PV, dan lainnya. SECI juga melakukan koordinasi antara utilitas, perusahaan transmisi, regulator, finansial dan lainnya, sehingga pengembangan proyek energi terbarukan tidak terhambat.

PLTS Semakin Bergairah, Pemerintah Jawa Tengah Optimis Capai Target Bauran Energi Terbarukan 21,35 % di 2025

Semarang, 16 Februari 2021– Pemerintah Provinsi Jawa Tengah tetap memegang teguh komitmen untuk mewujudkan Jawa Tengah sebagai provinsi yang mengandalkan energi bersih terbarukan dalam pembangunan daerahnya. Hal ini ditegaskan oleh Pj Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah, Prasetyo Aribowo mewakili Gubernur Jawa Tengah dalam Central Java Solar Day 2021 yang diselenggarakan oleh Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah bekerja sama dengan Institute for Essential Services Reform (IESR).

“Pemanfaatan energi surya sangat relevan dengan arah kebutuhan menuju energi bersih, kita juga sudah menandatangani kesepakatan dengan Bappenas untuk penurunan karbon. Secara peta jalan kebijakan, hal ini akan menjadi mainstream dalam perencanaan pembangunan di Jawa Tengah untuk tidak bergantung sepenuhnya pada fosil,” jelas Prasetyo.

Lebih jauh, Dadan Kusdiana, Dirjen EBTKE yang turut hadir pada kesempatan yang sama juga memaparkan bahwa saat ini pihaknya sedang menyusun grand strategy energi nasional terkait perencanaan energi hingga tahun 2035. Menurutnya, demi mencapai bauran energi terbarukan sebesar 23% di tahun 2025, maka pendekatan yang paling cepat untuk mengejar ketertinggalan 11,5 persennya adalah dengan tenaga surya.

Direktorat Jenderal EBTKE saat ini juga dalam proses merevisi Permen ESDM No. 49/2018 agar dapat menarik lebih banyak masyarakat memasang PLTS atap.

“Minimal ada tiga hal yang akan kita lakukan, pertama penyesuaian aturan tarif metering 1:6,5, membuat proses reset (pengenolan) yang selama ini dilakukan per 3 bulan sekali menjadi setahun sekali, dan mengatur proses pendaftaran untuk menjawab kesulitan dalam mendapat meteran exim misalnya dengan skema online, jadi yang mendaftar akan dapat melihat ketersediaan meteran dan kesiapan PLTS atapnya,” jelas Dadan.

“Dalam RUPTL yang sedang disusun, kami akan masukkan semua yang ada di Jawa untuk danau, waduk, bendungan. Secara angka sudah ada 1900 MW yang akan kami masukkan untuk mendorong pemanfaatan tenaga surya di danau sebagai PLTS terapung,” tambahnya lagi.

Menyambut penjelasan Dadan, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menjelaskan bahwa IESR telah melakukan kajian terhadap potensi pengembangan energi surya di Jawa Tengah juga tinggi untuk PLTS di atas tanah (ground-mounted) dan PLTS terapung (floating PV). Di provinsi ini terdapat 42 waduk yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai lokasi PLTS terapung sesuai Permen PUPR No. 6/2020, misalnya Waduk Gajah Mungkur (148 MWp) dan Waduk Kedung Ombo (268 MWp). 

 “Potensi teknis PLTS terapung bisa mencapai lebih dari 700 MW PLTS terapung  bila 10 bendungan terbesar di Jawa Tengah dikembangkan,” ungkap Fabby.

Ia juga menjabarkan bahwa memasang PLTS atap di sarana fasilitas publik, seperti kantor pemerintah, fasilitas publik, dan pusat layanan kesehatan bisa mencapai orde puluhan megawatt sekaligus menunjukkan kepemimpinan pemerintah provinsi Jateng yang serius dalam mengembangkan energi terbarukan.

“Survey IESR juga menunjukkan minat masyarakat besar untuk memasang PLTS atap, hanya saja informasi mengenai teknologi dan supplier masih terbatas. Untuk mendorong adopsi PLTS atap, perlu ketersediaan fasilitas pendanaan dalam bentuk kredit ringan, bunga rendah, cicilan tetap. Hal ini bisa didorong pemerintah daerah lewat Bank Jateng atau bank BUMN lainnya, khususnya untuk memberikan bantuan pendanaan pemasangan PLTS atap untuk bisnis komersial seperti UMKM,” tandas Fabby.

Agar semakin banyak yang tertarik untuk berinvestasi pada PLTS atap, IESR juga merekomendasikan agar pemerintah terus melakukan pemerataan informasi, tidak hanya teknis dan kebijakan, juga penyedia layanan pemasangan. Selanjutnya, mendorong ketersedian layanan pengoperasian dan service pada fasilitas PLTS atap untuk menjamin keberlanjutan sistem. Tidak hanya itu, perlu pula adanya skema pembiayaan yang menarik untuk fasilitas umum dan bangunan pemerintah misalnya dengan cara leasing, ESCO, third party financing, serta skema pembiayaan yang menarik untuk rumah tangga, bangunan komersial dan industri. Tentu saja, hal ini akan dapat tercapai dengan dukungan kebijakan, regulasi, dan insentif dari pemerintah daerah.

Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah, Sujarwanto Dwiatmoko, semakin optimis cita-cita Jawa Tengah untuk mencapai target bauran energi terbarukan daerah sebesar 21,35% di 2025 akan tercapai pula

“Meskipun dalam kondisi sulit, pemerintah Jawa Tengah berhasil melewati target bauran energi terbarukan di tahun 2020. Dari target 11,60%, kita mampu merealisasikan sebesar 11,89%. PLTS menggeliat cukup baik,” jelasnya.

Sujarwanto juga mencontohkan salah satu upaya yang pemerintah lakukan di tahun 2020 untuk mendorong penetrasi PLTS dalam menyokong perekonomian masyarakat adalah dengan membangun  pompa air tenaga surya off grid yang tidak menggunakan aki (baterai) di Desa Kaliwungu, Kabupaten Purworejo. Berkapasitas 12 kWp, pompa ini menaikkan air dari sungai dan mengaliri lahan pertanian (sawah) seluas 20 ha.

“Ternyata, meski beroperasi pada waktu siang saja, dari jam 8 pagi hingga 5 sore, pompa ini mampu mengairi sawah 20 ha hanya dalam waktu 5 hari secara gratis. Sedangkan jika menggunakan diesel membutuhkan waktu 10 hari, dan harus membeli minyak solar lagi,” jelasnya bersemangat.

Selain itu, di 2020, bermodalkan dana dari APBN, pemerintah Jawa Tengah membangun PLTS atap di 14 titik di 11 kabupaten/kota dengan kapasitas total 505 kWp.

“Jumlah ini akan kita tingkatkan di tahun 2021. Pemerintah berencana untuk membangun sekitar 31 unit di sekitar 8 (delapan) kabupaten/kota di Jawa Tengah. Umumnya akan difokuskan pada UMKM dan pondok pesantren,”tuturnya.

Ia berharap dengan adanya PLTS atap tersebut, beban energi listrik UMKM dan pondok pesantren semakin berkurang secara signifikan, sehingga penghematan yang ada dapat digunakan untuk mengembangkan usaha. Pemerintah provinsi juga aktif mensosialisasikan regulasi, manfaat, dan perkembangan PLTS kepada berbagai kalangan, termasuk sektor komersial dan industri.

“Saat ini ESDM membuka konsultasi bagi yang berminat menggunakan PLTS. Hasilnya, PLTS cukup bergairah di Jawa Tengah. Terlihat dari semakin banyak pengembang perumahan yang berkonsultasi di ESDM untuk paket rumah baru hemat energi dengan instalasi surya atap,” tuturnya.

Berdasarkan catatan PLN UID Jateng – DIY, pertumbuhan PLTS atap semakin meningkat, dari 52 pelanggan di tahun 2019 menjadi 138 pelanggan di 2020. Pengguna PLTS atap didominasi oleh pelanggan R-2 yakni konsumen untuk rumah tangga menengah dengan daya 3.500 VA sampai 5.500 VA sebanyak 41 pelanggan. Untuk golongan tarif S2 yakni golongan sosial daya 1300 VA ke atas, semuanya berasal dari pesantren, berjumlah 23 pelanggan.

Butuh Kebijakan Suportif untuk Pengembangan Kendaraan Listrik Indonesia

Tahun 2019 yang lalu, pemerintah menerbitkan Perpres 55 tahun 2019 tentang Percepatan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB). Dalam Perpres tersebut disebutkan bahwa target capaian produksi mobil listrik adalah 2200 dan 2,1 juta motor listrik pada tahun 2025. Sebuah target yang ambisius untuk dicapai, mengingat saat ini ekosistem kendaraan listrik di Indonesia masih perlu banyak pengembangan.

Dalam paper “Mengembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia: Pelajaran dari pengalaman Amerika Serikat, Norwegia dan Cina” yang dikeluarkan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan ekosistem kendaraan listrik meliputi: (1) infrastruktur pengisian daya; (2) model dan pasokan kendaraan listrik; (3) kesadaran dan penerimaan publik; (4) rantai pasokan baterai dan komponen kendaraan listrik; (5) insentif dan kebijakan pendukung dari pemerintah. Studi ini secara khusus melihat strategi dan kebijakan yang dipakai tiga negara, Amerika Serikat, Norwegia, dan Cina dalam membangun ekosistem kendaraan listriknya. 

Dalam publikasi tersebut, dijelaskan bahwa kunci keberhasilan ketiga negara dalam meningkatkan penetrasi kendaraan listrik adalah dengan menyediakan ekosistem pendukung yang memadai. Mengingat target pemerintah untuk capaian kendaraan listrik yang cukup ambisius, perlu untuk segera membangun ekosistem yang memadai untuk kendaraan listrik.

Saat ini pengembangan kendaraan listrik di Indonesia menemui berbagai rintangan salah satu yang cukup besar adalah belum ada target dan peta jalan yang terintegrasi antar lembaga yang menaungi pengembangan kendaraan listrik Indonesia. Saat ini setidaknya ada 2 target berbeda yang dikeluarkan pemerintah tentang kendaraan listrik. Pertama, dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) disebutkan bahwa target kendaraan listrik adalah sebanyak 2.200 mobil dan 2,1 juta motor pada tahun 2025. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) di sisi lain memiliki target yang lebih ambisius lagi untuk kendaraan listrik ini yaitu, 20% dari total produksi kendaraan (400.000 mobil dan 1.760.000 motor) di tahun 2025 hingga 30% (1.200.000 mobil dan 3.225.000 motor) pada tahun 2035.

Alief Wikarta, dosen dan peneliti di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, menyatakan bahwa pembangunan ekosistem kendaraan listrik tidak bisa dilakukan dengan skema business as usual. Perlu peran investor swasta untuk ikut serta menyediakan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia.

Salah satu kendala kendaraan listrik saat ini terkait harganya yang masih lebih mahal daripada kendaraan konvensional. Komponen yang membuat mahal kendaraan listrik adalah baterai. “40-50% harga EV dialokasikan untuk harga baterai. Jika ada skema bisnis yang bisa mengeluarkan biaya baterai dari harga yang harus ditanggung konsumen, harga kendaraan listrik akan turun drastis,” jelas Alief.

Berbagai skema untuk menekan harga kendaraan listrik diperkenalkan salah satunya yang diperkenalkan oleh kementerian ESDM yaitu skema battery swap. Dalam skema ini biaya baterai dapat ditekan, dengan syarat ada investor yang mau berinvestasi untuk membuka swap station

Skema apapun nanti yang diambil sebagai solusi, pemerintah perlu mencari investor yang siap untuk lari marathon dalam membangun ekosistem battery swap ini yaitu menanggung biaya baterai dan membuat swap stationnya. Komitmen jangka panjang dari investor ini penting karena yang akan dibangun adalah ekosistem pendukung supaya industri kendaraan listrik dalam negeri dapat bersaing di kancah global. 

“Tentu kita berharap industri kita tidak hanya dipasarkan untuk segmen pasar dalam negeri, namun juga dapat diterima pasar global. Maka kita harus memastikan kualitas kendaraan listrik yang kita buat itu baik dan memiliki ekosistem pendukung yang memadai,”

 

Integrasi Bisnis Energi Bersih

Komitmen jangka panjang dari investor ini termasuk juga kemampuan penelitian dan pengembangan (research & development) dari investor tersebut. Kemampuan penelitian dan pengembangan ini penting karena yang ingin diwujudkan adalah lahirnya ekosistem secara keseluruhan bukan sekedar capaian produksi yang meningkat. 

“Saya coba berpikir searah dengan agenda pemerintah saat ini yang sedang memberikan perhatian pada baterai. Kita perlu lebih menyuarakan lagi tentang second-life battery. Baterai-baterai yang kapasitasnya sudah di kisaran 80% mungkin sudah tidak optimal lagi untuk digunakan di mobil/motor listrik, namun baterai tersebut masih dapat digunakan untuk bidang lain misalnya PLTS atap atau turbin angin.”

Artinya apa? Kita dapat mengintegrasikan kendaraan listrik dan energi terbarukan menjadi satu ekosistem yang utuh, yang lebih bersih dan secara ekonomi menguntungkan. Kesempatan untuk menggunakan kembali (reuse) ini tidak dapat dilakukan pada kendaraan konvensional.

“Di kendaraan konvensional kan hasil pembakaran BBM berupa polusi. Kita sudah nggak bisa apa-apakan lagi. Berbeda dengan kendaraan listrik yang baterainya dapat digunakan lagi untuk keperluan lain,” jelas Alief.

Sampai saat ini kebijakan yang ada dan cara pemerintah melihat kendaraan listrik ini sebagai komponen yang terpisah-pisah, juga aspek circular ekonomi belum banyak dipertimbangkan.

“Sampai saat ini hanya dikatakan bahwa jika kita banyak memakai kendaraan listrik, maka impor BBM kita akan berkurang. Ya itu memang benar, tapi ada hal yang jauh lebih besar lagi yang bisa kita capai jika kita mengembangkan ekosistem kendaraan listrik ini dengan serius,” pungkas Alief. 

Dengarkan Perbincangan Alief Wikarta dan IESR di IESR Bicara Energi:

 

Indonesia Kelebihan Pasokan Listrik, Bisakah di Ekspor?

Ekspor Listrik PLTU Tidak Akan Efektif

Pemerintah melalui Kementerian ESDM sedang mengkaji kemungkinan untuk ekspor listrik ke Singapura. Hal ini didasari oleh surplus pasokan listrik yang dialami PLN. Dengan masuknya pembangkit listrik dari proyek 35 GW, dan penurunan permintaan listrik dari dalam negeri. Indonesia akan mengalami surplus pasokan listrik sekitar 40%. Surplus pasokan listrik yang cukup besar ini terjadi karena ada mismatch asumsi saat perencanaan dan penyusunan proyek.

“Proyek 35 GW dibuat dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 7%. Dengan pertumbuhan ekonomi tersebut diproyeksikan kebutuhan listrik akan meningkat sekitar 8%. Kita tahu sendiri selama 5 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi kita rata-rata hanya 5% setiap tahun, dan pertumbuhan permintaan listrik hanya sekitar 4%, ditambah tahun 2020 ada pandemi Covid–19 yang berdampak langsung pada perekonomian,” jelas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam segmen Market Review oleh IDX Channel.

Dalam kesempatan yang sama, Fabby menanggapi rencana ekspor listrik oleh pemerintah.

“Hal yang perlu dipahami adalah, ekspor-impor listrik bukanlah hal yang tidak mungkin, tapi perlu ditinjau lagi efektivitasnya dalam konteks saat ini,” tutur Fabby.

Dalam konteks ASEAN, pembicaraan tentang ekspor-impor listrik antar negara ASEAN sudah dimulai sejak 15 tahun lalu. Indonesia sendiri sudah melakukan penandatanganan MoU (Memorandum of Understanding) ekspor listrik dengan Tenaga Nasional Berhad (TNB) Malaysia untuk mengekspor listrik dari sistem Sumatera ke Peninsula Malaysia. Kerjasama ini mempertimbangkan periode beban puncak antara Sumatera dan Peninsula Malaysia. Tercatat bahwa sistem Sumatera mengalami periode beban puncak tenaga listrik pada pukul 17.00 – 22.00 sementara beban puncak Peninsula Malaysia terjadi pada pukul 8.00 – 16.00. Melihat perbedaan periode beban puncak tenaga listrik ini maka proses ekspor listrik dari sistem Sumatera ke Peninsula Malaysia memungkinkan terjadi. Proyek ini rencananya akan mulai bergulir pada 2028 mendatang.

Potensi Penerimaan Pasar Luar Negeri

Terkait potensi pasar ekspor listrik, dalam lingkup Asia Tenggara, negara-negara ASEAN sudah banyak berbicara tentang clean electricity. Hal ini disebabkan beberapa negara ASEAN sudah memiliki target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) bahkan zero emission. Tahun lalu Singapura menyatakan akan membeli 100 MW listrik dari Malaysia yang berasal dari energi terbarukan.

“Perlu disadari dan dipahami bahwa tren global saat ini adalah pergerakan menuju energi terbarukan,” tambah Fabby

Menurutnya, berdasarkan fakta ini, maka listrik yang berasal dari energi terbarukan akan lebih diminati oleh pasar global karena terkait dengan agenda penurunan emisi GRK dari masing-masing negara.  Indonesia perlu memikirkan hal ini jika ingin serius memasuki pasar global terutama untuk isu ekspor listrik. Hal yang tidak kalah penting untuk dipikirkan adalah pajak karbon (carbon border tax) yang akan mulai diperhitungkan dari tiap-tiap komoditas dalam perdagangan global, tidak terkecuali daya listrik.

“Akan tidak elok jika kita membangun banyak PLTU, lalu listriknya kita ekspor, nah itu emisinya harus ditanggung Indonesia. Ketika GRK kita tinggi reputasi kita (Indonesia-red) di kancah global akan kurang baik,” jelas Fabby.

Lebih lanjut, Fabby menyatakan bahwa jika tujuannya untuk menyerap surplus tenaga listrik, ekspor listrik tidak akan menyelesaikan masalah dalam jangka pendek dan solusi ini bukanlah solusi yang berkelanjutan (sustain). Alternatif yang ditawarkan Fabby selain ekspor listrik untuk mengatasi permasalahan surplus daya listrik, yaitu reconsider dan renegotiate

Reconsider berarti Pemerintah harus berani menimbang ulang bahkan menghentikan pembangunan PLTU baru dan mengalihkannya untuk pembangkitan energi terbarukan. Strategi ini akan menghindari over supply pada 2-3 tahun ke depan sekaligus memenuhi target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025. Saat ini ada sekitar 7,5 GW pembangkit listrik PLTU dari proyek 35 GW yang masih dalam proses perencanaan (perizinan, kontrak, dan lain-lain).  Dengan mengalihkan proyek PLTU menjadi pembangkit energi terbarukan, PLN akan memiliki pembangkit listrik rendah karbon, otomatis emisi gas rumah kaca dari sektor sistem energi akan berkurang.

Sementara re-negotiate adalah upaya pemerintah perlu bernegosiasi dengan pengusaha PLTU untuk menurunkan kapasitas produksi PLTU-PLTU tua, supaya memberi ruang untuk pembangkit energi terbarukan dalam sistem energi. Untuk mendorong penetrasi energi terbarukan dalam sistem energi Indonesia, perlu penurunan kapasitas dari PLTU yang ada saat ini.  

Pertumbuhan ekonomi pasca Covid-19 diproyeksikan belum berbalik positif dengan cepat. Begitu juga pertumbuhan permintaan listrik. Maka menimbang ulang, dan menghentikan pembangunan PLTU baru akan menghindari over supply pasokan listrik dalam 2-3 tahun ke depan. Karena ketika terjadi over supply pasokan listrik biaya yang harus dikeluarkan (subsidi pemerintah) mahal.