Indonesia Mampu Capai Netral Karbon Sebelum 2060

Jakarta, 24 Maret 2021- Sebagai upaya memenuhi mandat Persetujuan Paris, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selaku national focal point untuk UNFCCC, mengumumkan Strategi Jangka Panjang Penurunan Emisi Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR)) 2050.  Pertemuan ini dihadiri pula oleh kementerian terkait. 

Meski terdapat kemajuan yang positif, namun Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang peta jalan Indonesia menuju rendah karbon di 2050, seperti yang tercantum dalam pemaparan dokumen LTS-LCCR 2050, masih kurang ambisius dan tidak sesuai dengan target Persetujuan Paris. 

Beberapa hal yang tercantum dalam dokumen LTS-LCCR 2050 tersebut, yaitu:

  1. Pencapaian NDC pertama Indonesia ditargetkan pada tahun 2030, lalu Indonesia akan menuju net zero emission di tahun 2070;
  2. Dalam upaya mitigasi, skenario LCCP (low carbon scenario compatible with Paris Agreement target) yang menunjukkan target ambisius akan diterapkan di sektor AFOLU (pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan), energi, proses industri dan penggunaan produk (IPPU), serta limbah; 
  3. Pada arah kebijakan yang rendah karbon dan memiliki ketahanan iklim, diperkirakan Indonesia akan mencapai puncak tertinggi (peaking) pada emisi GRK di tahun 2030 di sektor AFOLU dan energi sebelum akhirnya mencapai net zero emission di 2070. Dalam perhitungan emisi, peak di tahun 2030 akan mencapai 1163 juta ton dan emisi ini akan turun menjadi sekitar 766 juta ton CO2e di tahun 2050;
  4. Untuk sektor energi, skenario transisi dan LCCP akan menjadi pilihan untuk diterapkan. Dalam target LCCP yang lebih ambisius, bauran energi primer akan diisi oleh batubara 34%, gas 25%, minyak 8%, EBT 33% di tahun 2050. Penggunaan batubara akan turun menjadi 205 juta toe (293 juta ton batubara);
  5. Tambahan EBT untuk pembangkit sekitar 38 GW di tahun 2035 dan akan diprioritaskan untuk PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) dikarenakan biaya investasi yang semakin rendah. Selain itu penurunan emisi akan didorong melalui aksi berikut:
  • Penyediaan listrik melalui pembangkit EBT, 
  • Penerapan efisiensi energi seperti pada bangunan dan penerangan jalan umum (PJU), 
  • Penggunaan Bahan Bakar Nabati;
  • Implementasi Co firing biomassa untuk mengurangi konsumsi batu bara di 52 PLTU, 
  • Pemanfaatan kendaraan listrik dengan target 2 juta mobil dan 13 juta motor di 2030,
  • Transisi menuju bahan bakar rendah karbon dan teknologi pembangkit bersih seperti penggunaan CCUS/CCS (carbon capture, utilisation and storage/carbon capture and storage) dan hidrogen.

Menyikapi pemaparan mengenai Indonesia LTS-LCCR 2050, berikut  tanggapan dari IESR:

  1. IESR menanggapi positif mengenai target peak emission di tahun 2030. Hal ini akan memberikan target jangka menengah yang jelas bagi rencana aksi mitigasi perubahan iklim di Indonesia. Namun, perlu kejelasan mengenai dukungan kebijakan dan regulasi yang memungkinkan setiap sektor untuk melakukan transisi secara cepat dan mencapai peak emission di tahun 2030;
  2. Pencapaian net zero emission di tahun 2070 terlalu lama dan tidak sesuai dengan Persetujuan Paris. Agar selaras dengan Persetujuan Paris dan mendukung pembatasan kenaikan suhu global di bawah 1.50C, maka emisi GRK Indonesia harus sudah turun mencapai 622 juta ton CO2e di tahun 2030 (di luar sektor AFOLU) dan mencapai net zero pada tahun 2050;
  3. Perlu adanya upaya yang lebih kuat terutama untuk dapat beralih (shifting away) dari penggunaan batu bara. Indonesia perlu secara bertahap berhenti menggunakan batu bara pada tahun 2037 dan meningkatkan target energi terbarukannya setidaknya menjadi 50% pada tahun 2030;
  4. Setiap sektor perlu menetapkan ukuran mitigasi yang kredibel, transparan, dan terukur agar dapat sesuai (on-track) dengan Persetujuan Paris. Berdasarkan beberapa pemodelan global, seperti Integrated Assessment Models (IAMs), Deep Decarbonisation Pathway Project, Energy Watch Group/LUT University, terdapat beberapa parameter yang bisa jadi acuan bagi Indonesia dalam mengukur kesesuaian capaian penurunan emisi GRK dengan target Persetujuan Paris. Untuk sektor ketenagalistrikan dan transportasi, parameter tersebut antara lain:
    1. Ketenagalistrikan
      1. Intensitas emisi dari sektor ketenagalistrikan; harus berada di kisaran 50-255 gCO2/kWh di tahun 2030 dan 0 di tahun 2050
      2. Bauran pembangkitan listrik dari energi terbarukan; mencapai 50-85% di tahun 2030 dan 98-100% di tahun 2050
      3. Bauran pembangkitan listrik dari PLTU batubara; turun menjadi 5-10% di tahun 2030
    2. Transportasi
      1. Intensitas emisi dari sektor transportasi penumpang darat; berada di kisaran 25-30 g CO2/pkm pada tahun 2030
      2. Bauran dari bahan bakar rendah karbon; mencapai 20-25% dari total permintaan energi di sektor transportasi pada tahun 2030
  5. Studi IESR mengenai skenario transisi energi Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia dapat mencapai bauran primer energi terbarukan sebesar 69% pada tahun 2050 dengan meningkatkan kapasitas pembangkit energi terbarukan menjadi minimal 24 GW pada tahun 2025, membangun 408-450 GW pembangkit energi terbarukan pada tahun 2050, dan menghentikan pembangunan PLTU batubara baru sejak 2025 serta mempensiunkan PLTGU lebih awal
  6. Perlu adanya peningkatan investasi dan dorongan riset ke arah pengembangan inovasi dan teknologi ET seperti hidrogen agar dapat segera diimplementasikan dan dioptimalkan untuk mencapai net zero emission. 
  7. IESR mendukung penggunaan bahan bakar nabati berkelanjutan dan kendaraan listrik. Climate Transparency Report 2020 menjelaskan bahwa bahan bakar nabati berkelanjutan yang tidak meninggalkan jejak karbon (carbon footprint), penggunaan kendaraan listrik, serta standar efisiensi bahan bakar yang lebih ketat akan mengurangi emisi GRK terutama dari sektor transportasi secara signifikan. Selain itu, persentase bahan bakar rendah karbon dalam bauran bahan bakar transportasi harus meningkat menjadi sekitar 60% pada tahun 2050. 

 

Narahubung Media:

Lisa Wijayani

Program Manajer Ekonomi Hijau, IESR, lisa@iesr.or.id, 08118201828

Deon Arinaldo

Program Manajer Transformasi Energi, IESR, deon@iesr.or.id, 081318535687

Uliyasi Simanjuntak

Koordinator Komunikasi IESR, uliyasi@iesr.or.id, 081236841273

Potensi Teknis Energi Surya Indonesia Lebih Tinggi, IESR Dorong Pemerintah Perbaharui Data Potensi Energi Terbarukan

18 Maret 2021-Indonesia memiliki potensi teknis tenaga surya yang jauh lebih besar dibandingkan 207 GW yang merupakan data resmi yang dirilis oleh pemerintah Indonesia melalui kementerian ESDM tahun 2017. Hal ini dibuktikan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Global Environmental Institute (GEI) dalam peluncuran kajian “Beyond 207 Gigawatts: Unleashing Indonesia’s Solar Potential” (18/3).

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam sambutannya menjelaskan bahwa berdasarkan potensi teknis dan kesesuaian lahan, tenaga surya di Indonesia bisa mencapai 3000-20.000 GWp.

“Bila potensi teknis yang paling sedikit saja, 3 GW, dimanfaatkan secara efektif, maka dapat memenuhi 7 kali dari konsumsi listrik dari tahun 2018,” ujarnya.

IESR mengukur potensi teknis ini dengan menggunakan data geospasial sehingga lahan yang cocok untuk PLTS dapat diidentifikasi.

Fabby menambahkan bahwa kajian ini merekomendasikan kepada pemerintah untuk memperbaharui sumber data energi terbarukan sehingga dapat memberikan sinyal yang lebih baik untuk mengembangkan energi surya ke depan.

“Tentu saja, hal tersebut akan meningkatkan pula kepercayaan diri berbagai pihak yang terlibat dalam pengembangan energi surya bahwa Indonesia dapat mengandalkan tenaga surya untuk memenuhi kebutuhan energi bersih. Selain itu, kajian ini mendukung upaya PLN untuk mengembangkan tenaga surya, dan pemerintah daerah dalam mengimplementasikan Rencana Umum Energi Daerah,” tegasnya.

Dalam tataran global, data ini dapat digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk memperkuat komitmennya dalam aksi iklim secara global, seperti yang diungkapkan oleh Mme. Jiaman Jin, Direktur Eksekutif GEI. GEI, secara khusus, mempunyai program untuk membantu negara berkembang dalam mengembangkan energi terbarukan dengan memberikan penguatan kapasitas, bantuan teknis dan finansial.

“Cina dan negara-negara di Asia Tenggara telah berkolaborasi dalam program aksi iklim global, termasuk dengan Indonesia. Bila ditilik dari komitmen Persetujuan Paris, hingga kini ada 29 negara yang sudah menargetkan netral karbon dengan mengandalkan energi terbarukan. Cara lain untuk netral karbon adalah dengan penyimpanan karbon (carbon storage) dan perdagangan karbon (carbon credit). Dua hal ini pula yang Cina sedang kembangkan saat ini,” urainya.

Agar tercapai komitmennya dalam Persetujuan Paris, Indonesia sedang berupaya untuk mencapai target 23% bauran energi terbarukan di 2025. Namun hingga akhir tahun 2020, hanya terealisasi sebesar 11,5%. Sementara dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sendiri, pemerintah mempunyai target untuk pengembangan tenaga surya sebesar 6,5 GW hingga 2025.

“Namun target tersebut sedang dalam peninjauan, dan ternyata, surya (fotovoltaik) ditargetkan untuk mewakili sepertiga (17.6 GW) dari total pembangkit listrik bersih sebesar 48 GW pada tahun 2035 dalam grand strategy energi nasional yang dipersiapkan oleh Kementerian ESDM dan Dewan Energi Nasional (DEN). Sekitar 60 atau 76 persen diharapkan berasal dari tenaga surya skala utilitas termasuk PLTS terapung,” ulas Daniel Kurniawan, Penulis Utama Laporan Kajian “Beyond 207 Gigawatts: Unleashing Indonesia’s Solar Potential”.

Daniel menjelaskan dari 23 jenis tutupan lahan yang ada, tim peneliti IESR memilih jenis lahan yang sesuai untuk pembangunan PLTS. Terseleksi hanya 9 jenis tutupan lahan yang digunakan untuk pemetaan potensi teknis PLTS.

“Hutan tanaman (man-made forest) dan lahan pertanian kering dan kering campur belukar juga termasuk dari jenis lahan yang dihitung, sebabnya ketiga lahan tersebut ditemukan dapat diakuisisi dalam pengembangan proyek PLTS 3 x 7 MWp di Lombok dan proyek PLTS 21 MWp di Likupang, Sulawesi Utara,” jelasnya.

Menggunakan skenario paling optimistis, 9 jenis tutupan lahan seluas 1,9 juta km2, hasil yang diperoleh dari penghitungan potensi teknis PLTS sangat melimpah hingga mencapai 19.8 TWp, yang berarti 95 kali lebih tinggi dari pada estimasi pemerintah.

“Potensi teknis terbesar berada di Kalimantan, Sumatera, Jawa Barat dan Jawa Timur,” jabar Daniel.

Menyinggung tentang Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) (2021-2030) yang sedang disusun oleh PLN, Daniel menjelaskan bahwa hingga saat ini belum ada informasi pasti mengenai alokasi target kapasitas untuk untuk tenaga surya dari total 3,7 GW rencana kapasitas gabungan untuk tenaga surya, bayu, dan sampah dalam RUPTL mendatang.

Data Potensi Teknis Akan Dorong Optimalisasi Pengembangan PLTS 

Data kajian potensi teknis teranyar yang diluncurkan IESR ini juga dapat digunakan oleh pemerintah daerah untuk mengoptimalkan pengembangan energi terbarukan. Daniel mencontohkan Bali dan Sumba sebagai dua pulau di Indonesia yang sudah mempunyai modal yang cukup ditinjau dari konsistensi pemerintah daerah dalam mendorong pemanfaatan PLTS melalui kebijakan yang mereka terbitkan dan juga potensi teknis PLTS-nya.

Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Direktorat Jenderal EBTKE Chrisnawan Anditya dalam kesempatan yang sama, mengatakan bahwa pihaknya akan memperbaharui data potensi teknis tenaga surya di Indonesia.

“Selain itu, kami juga berusaha untuk mengidentifikasi potensi matahari sesuai dengan jalur transmisi. Semakin baik jalur transmisi maka pengembangan PLTS akan semakin besar. Namun bila lokasi di luar jalur transmisi maka kita akan mengembangkan melalui off-grid,” tutur Chrisnawan.

Senada, Wakil Presiden Eksekutif Divisi Energi Baru dan Terbarukan PLN, Cita Dewi mengungkapkan bahwa PLN mempunyai komitmen untuk meningkatkan pengembangan energi terbarukan. Hanya saja, akibat pandemik COVID-19, PLN masih berhadapan dengan kondisi permintaan energi listrik yang rendah.

“Krisis permintaan ini kemungkinan akan berlangsung 2 hingga 3 tahun ke depan. Namun pendekatan yang kami lakukan untuk mengejar target energi terbarukan diantaranya mempercepat penyelesaian pembangkit listrik surya, air, geothermal, dan mempertimbangkan untuk mengkonversi 5000 pembangkit listrik tenaga diesel dengan surya. Potensinya sebesar 2 GW,” jelas Cita.

Dari sisi pengembang, Andhika Prastawa, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), menuturkan bahwa hasil kajian tersebut bermanfaat bagi pengembang untuk menggali lebih banyak peluang untuk berinvestasi PLTS di Indonesia. Hanya saja, menurutnya, hal ini tetap harus selaras dengan keberpihakan pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang ramah bagi para pengembang PLTS.

“Keekonomian PLTS sudah kompetitif, namun hingga kini peraturan net metering masih di 6.5, sebaiknya diubah menjadi 1, sehingga memberikan dampak psikologis yang baik bagi pasar PLTS,” imbuh Andhika.

Sependapat dengan Andhika, Herman Darnel Ibrahim, anggota Dewan Energi Nasional mengharapkan bahwa akan ada pembaharuan dalam kebijakan net metering. Ia juga menegaskan bahwa dari segi instalasi, PLTS merupakan energi terbarukan yang paling mudah dikembangkan karena tersedia di hampir semua tempat di Indonesia, sehingga mudah dipanen dalam bentuk  PLTS, serta mempunyai beragam skala, sehingga cepat dibangun.

Wirawan, Plt. Presiden Direktur, PT PJB Investasi mengapresiasi hasil kajian IESR dan menawarkan untuk menghitung pula potensi teknis dari sekitar 192 bendungan dan waduk yang tersebar di Indonesia.

“Daerah tangkapan air di Indonesia kurang lebih sekitar 86 ribu hektar. Ini merupakan potensi yang besar pula untuk pengembangan PLTS apung,”usulnya.

LTS-LCCR KLHK – IESR: Indonesia Mampu Capai Netral Karbon Sebelum 2060

Jakarta, 25 Maret 2021 — Sebagai upaya memenuhi mandat Persetujuan Paris, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selaku national focal point untuk UNFCCC, mengumumkan Strategi Jangka Panjang Penurunan Emisi Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050. Pertemuan ini dihadiri pula oleh kementerian terkait. Meski terdapat kemajuan yang positif, namun Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang peta jalan Indonesia menuju rendah karbon di 2050, seperti yang tercantum dalam pemaparan dokumen LTS-LCCR 2050, masih kurang ambisius dan tidak sesuai dengan target
Persetujuan Paris.

  1. Beberapa hal yang tercantum dalam dokumen LTS-LCCR 2050 tersebut, yaitu: Pencapaian NDC pertama Indonesia ditargetkan pada tahun 2030, lalu Indonesia akan menuju net zero emission di tahun 2070;
  2. Dalam upaya mitigasi, skenario LCCP (low carbon scenario compatible with Paris Agreement target) yang menunjukkan target ambisius akan diterapkan di sektor AFOLU (pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan), energi, proses industri dan penggunaan produk (IPPU), serta limbah;
  3. Pada arah kebijakan yang rendah karbon dan memiliki ketahanan iklim, diperkirakan Indonesia akan mencapai puncak tertinggi (peaking) pada emisi GRK di tahun 2030 di sektor AFOLU dan energi sebelum akhirnya mencapai net zero emission di 2070. Dalam perhitungan emisi, peak di tahun 2030 akan mencapai 1163 juta ton dan emisi ini akan turun menjadi sekitar 766 juta ton CO2e di tahun 2050;
  4. Untuk sektor energi, skenario transisi dan LCCP akan menjadi pilihan untuk diterapkan. Dalam target LCCP yang lebih ambisius, bauran energi primer akan diisi oleh batubara 34%, gas 25%, minyak 8%, EBT 33% di tahun 2050. Penggunaan batubara akan turun menjadi 205 juta toe (293 juta ton batubara);
  5. Tambahan EBT untuk pembangkit sekitar 38 GW di tahun 2035 dan akan diprioritaskan untuk PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) dikarenakan biaya investasi yang semakin rendah. Selain itu penurunan emisi akan didorong melalui aksi berikut:
    ● Penyediaan listrik melalui pembangkit EBT,
    ● Penerapan efisiensi energi seperti pada bangunan dan penerangan jalan umum (PJU),
    ● Penggunaan Bahan Bakar Nabati;
    ● Implementasi Co firing biomassa untuk mengurangi konsumsi batu bara di 52 PLTU,
    ● Pemanfaatan kendaraan listrik dengan target 2 juta mobil dan 13 juta motor di 2030,
    ● Transisi menuju bahan bakar rendah karbon dan teknologi pembangkit bersih seperti penggunaan CCUS/CCS (carbon capture, utilisation and storage/carbon capture and storage) dan hidrogen.

Menyikapi pemaparan mengenai Indonesia LTS-LCCR 2050, berikut tanggapan dari IESR:

  1. IESR menanggapi positif mengenai target peak emission di tahun 2030. Hal ini akan memberikan target jangka menengah yang jelas bagi rencana aksi mitigasi perubahan iklim di Indonesia. Namun, perlu kejelasan mengenai dukungan kebijakan dan regulasi yang memungkinkan setiap sektor untuk melakukan transisi secara cepat dan mencapai peak emission di tahun 2030;
  2. Pencapaian net zero emission di tahun 2070 terlalu lama dan tidak sesuai dengan Persetujuan Paris. Agar selaras dengan Persetujuan Paris dan mendukung pembatasan kenaikan suhu global di bawah 1.50 C, maka emisi GRK Indonesia harus sudah turun mencapai 622 juta ton CO2e di tahun 2030 (di luar sektor AFOLU) dan mencapai net zero pada tahun 20501;
  3. Perlu adanya upaya yang lebih kuat terutama untuk dapat beralih (shifting away) dari penggunaan batu bara. Indonesia perlu secara bertahap berhenti menggunakan batu bara pada tahun 2037 dan meningkatkan target energi terbarukannya setidaknya menjadi 50% pada tahun 20302;
  4. Setiap sektor perlu menetapkan ukuran mitigasi yang kredibel, transparan, dan terukur agar dapat sesuai (on-track) dengan Persetujuan Paris. Berdasarkan beberapa pemodelan global, seperti Integrated Assessment Models (IAMs), Deep Decarbonization Pathway Project, Energy Watch Group/LUT University, terdapat beberapa parameter yang bisa jadi acuan bagi Indonesia dalam mengukur kesesuaian capaian penurunan emisi GRK dengan target Persetujuan Paris. Untuk sektor ketenagalistrikan dan transportasi, parameter tersebut antara lain3:
    a. Ketenagalistrikan
    i. Intensitas emisi dari sektor ketenagalistrikan; harus berada di kisaran 50-255 gCO2/kWh di tahun 2030 dan 0 di tahun 2050
    ii. Bauran pembangkitan listrik dari energi terbarukan; mencapai 50-85% di tahun 2030 dan 98-100% di tahun 2050
    iii. Bauran pembangkitan listrik dari PLTU batubara; turun menjadi 5-10% di tahun 2030
    b. Transportasi
    i. Intensitas emisi dari sektor transportasi penumpang darat; berada di kisaran 25-30 g CO2/pkm pada tahun 2030
    ii. Bauran dari bahan bakar rendah karbon; mencapai 20-25% dari total
    permintaan energi di sektor transportasi pada tahun 2030
  5. Studi IESR mengenai skenario transisi energi Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia dapat mencapai bauran primer energi terbarukan sebesar 69% pada tahun 2050 dengan meningkatkan kapasitas pembangkit energi terbarukan menjadi minimal 24 GW pada tahun 2025, membangun 408-450 GW pembangkit energi terbarukan pada tahun 2050, dan menghentikan pembangunan PLTU batubara baru sejak 2025 serta mempensiunkan PLTGU lebih awal.
  6. 7. IESR mendukung penggunaan bahan bakar nabati berkelanjutan dan kendaraan listrik.

Climate Transparency Report 2020 menjelaskan bahwa bahan bakar nabati berkelanjutan yang tidak meninggalkan jejak karbon (carbon footprint), penggunaan kendaraan listrik, serta standar efisiensi bahan bakar yang lebih ketat akan mengurangi emisi GRK terutama dari sektor transportasi secara signifikan. Selain itu, persentase bahan bakar rendah karbon dalam bauran bahan bakar transportasi harus meningkat menjadi sekitar 60% pada tahun 2050.

Narahubung Media:
Lisa Wijayani
Program Manajer Ekonomi Hijau, IESR, lisa@iesr.or.id, 08118201828
Deon Arinaldo
Program Manajer Transformasi Energi, IESR, deon@iesr.or.id, 081318535687
Uliyasi Simanjuntak
Koordinator Komunikasi IESR, uliyasi@iesr.or.id, 08123684127

Referensi:

1 CAT (n.d.). Indonesia country summary
2 Climate Transparency (2020).The Climate Transparency Report 2020
3 CAT (2020). Paris Agreement Compatible Sectoral Benchmark
4 IESR (2020). National Energy General Plan (RUEN): Existing Plan, Current Policies Implication and Energy Transition
Scenario6. Perlu adanya peningkatan investasi dan dorongan riset ke arah pengembangan inovasi dan
teknologi ET seperti hidrogen agar dapat segera diimplementasikan dan dioptimalkan untuk
mencapai net zero emission.