IESR rilis peta jalan menuju nol emisi pada tahun 2050

 

Peta jalan menuju nol emisi pada tahun 2050:

Mampu Secara Teknologi dan Ekonomi, Indonesia Hanya Butuh Kemauan Politik yang Kuat dan Rencana yang Matang untuk Capai Nol Emisi pada 2050

Sisa waktu semakin menipis untuk menghadapi krisis iklim yang semakin mengancam. Namun, NDC Indonesia masih kurang ambisius dalam memenuhi Persetujuan Paris untuk menjaga suhu bumi di bawah 2 derajat, apalagi dibawah 1,5 derajat celcius. Hal ini terlihat dari dokumen Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050 dalam mitigasi perubahan iklim, yang hanya menargetkan netral karbon di tahun 2070.

Laporan terbaru Institute for Essential Services Reform (IESR) yang berjudul “Deep decarbonization of Indonesia’s energy system: A pathway to zero emissions by 2050” menunjukkan bahwa secara teknologi dan ekonomi, sektor energi Indonesia mampu mencapai nol emisi karbon di tahun 2050.

Laporan ini merupakan kajian komprehensif pertama di Indonesia yang menggambarkan peta jalan mencapai emisi nol karbon di 2050 di sistem energi. Hal ini merupakan tonggak penting mengingat saat ini aksi mitigasi di sektor energi tidak cukup ambisius. Sementara, emisi dari sektor energi diperkirakan akan meningkat menjadi 58% pada tahun 2030, sebagaimana ditunjukkan dalam skenario business as usual (BAU) dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia, terutama didorong oleh peningkatan konsumsi energi final.

“Sebagai salah satu negara dengan ekonomi terbesar di dunia dan dengan posisi strategisnya di Asia Tenggara, Indonesia harus memimpin dalam mentransformasi sistem energinya dari sekarang. Dekarbonisasi sistem energi Indonesia dapat membawa dampak signifikan bagi kawasan dan menginspirasi negara lain untuk mempercepat transisi energi. Komitmen politik dan kepemimpinan yang kuat dari Presiden Jokowi akan sangat diperlukan untuk mewujudkan hal ini,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Fabby menambahkan bahwa langkah pertama dan krusial dari upaya dekarbonisasi adalah dengan mencapai puncak emisi selambatnya pada tahun 2030. Menurutnya, dengan dukungan kebijakan yang kuat, pembangkit energi terbarukan dapat dikembangkan dengan masif disertai dengan penurunan kapasitas pembangkit listrik fosil.

Menggunakan Model Transisi Sistem Energi yang dikembangkan oleh  Lappeenranta University of Technology (LUT), laporan ini memperlihatkan bahwa Indonesia mampu menggunakan 100 persen energi terbarukan di sektor kelistrikan, industri, dan transportasi.

“Model yang menggunakan analisis skenario secara terperinci untuk Indonesia ini didesain menggunakan resolusi hitungan waktu per jam dan terdiri dari wilayah-wilayah yang saling terhubung, sehingga sangat relevan untuk model transisi energi di Indonesia serta memastikan pasokan energi yang stabil di segala jam dan wilayah,” ujar Christian Breyer, Professor Ekonomi Surya di LUT.

Satu dekade mendatang akan menjadi penentu bagi upaya dekarbonisasi di Indonesia. Untuk mulai menurunkan emisi GRK, Indonesia perlu memasang sekitar 140 GW energi terbarukan pada tahun 2030, sekitar 80% nya merupakan PLTS. Selain itu, penjualan mobil listrik dan sepeda motor perlu ditingkatkan masing-masing menjadi 2,9 juta dan 94,5 juta pada tahun 2030. Suatu peningkatan yang sungguh dramatis bila dibandingkan dengan tingkat penjualan kendaraan listrik yang masih minim saat ini. Di sektor industri, pemenuhan kebutuhan panas industri menggunakan listrik perlu menjadi pilihan utama, diikuti oleh energi biomassa. Selain itu, hal terpenting lainnya, PLN perlu menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara baru pada tahun 2025.

Pada tahun 2045, energi terbarukan memasok 100 persen listrik di Indonesia. Untuk pertama kalinya, sektor kelistrikan Indonesia menjadi bebas karbon. PLTS merupakan penyumbang terbesar dalam pembangkit listrik dengan pangsa 88%, diikuti oleh tenaga air sebesar 6%, panas bumi sebesar 5%, dan energi terbarukan lainnya sebesar 1%. Teknologi penyimpanan energi, terutama baterai, berperan besar dalam mengatasi masalah intermitten. Sementara itu, bahan bakar sintetik, hidrogen, dan pemanas listrik akan lebih berperan dalam dekarbonisasi sektor transportasi dan industri.

Agar dapat mengandalkan energi terbarukan sebagai tulang punggung sistem energi di Indonesia maka penting untuk membangun integrasi jaringan listrik di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan pulau-pulau lain. Kebutuhan ini akan meningkat mulai tahun 2030 hingga seterusnya. Model IESR menunjukkan bahwa pada tahun 2050, kapasitas transmisi listrik sebesar 158 GW diperlukan untuk menghubungkan nusantara dari barat sampai timur.

Menyongsong tahun 2050, upaya dekarbonisasi terus berlanjut terutama untuk sektor transportasi dan industri yang sulit di dekarbonisasi dengan listrik secara langsung, hingga akhirnya Indonesia akan mencapai titik di mana seluruh sektor energi menjadi bebas karbon melalui penggunaan 100% energi terbarukan. Dekarbonisasi sistem energi berpotensi mengurangi biaya sistem tahunan sebesar 20% dibandingkan dengan sistem energi berbasis fosil.

Demi mencapai target yang ambisius tersebut, Indonesia membutuhkan investasi sebesar USD 20-25 miliar per tahun mulai tahun ini hingga tahun 2030 dan akan meningkat menjadi USD 60 miliar per tahun antara tahun 2030 hingga 2040. Mengingat kebutuhan investasi yang besar, pemerintah harus berusaha menarik investasi dari sektor swasta dan individu. Oleh karena itu, perbaikan iklim investasi sangat penting dalam mewujudkan hal tersebut.

“Besarnya tantangan tidak boleh mengaburkan fakta bahwa dekarbonisasi yang menyeluruh akan membawa manfaat dan peluang yang sangat besar bagi perekonomian Indonesia,” tegas Pamela Simamora, Koordinator Riset IESR.

Melakukan dekarbonisasi secara total akan menciptakan 3,2 jutaan pekerjaan baru yang berkelanjutan dan berkualitas, peningkatan kesehatan masyarakat (yang juga akan menurunkan biaya kesehatan yang substansial), dan pembentukan ekonomi modern, yang memungkinkan negara untuk bersaing dalam pasar dunia yang berkembang dengan produk netral karbon. Tentu saja, untuk merealisasikan hal tersebut perlu dukungan dan komitmen politik yang kuat dari pemerintah Indonesia. Pemerintah juga perlu menerapkan kebijakan dan regulasi yang tepat dan menghapus regulasi dan kebijakan yang dianggap sebagai penghalang investasi teknologi bersih di negara ini.

Laporan “Deep decarbonization of Indonesia energy system: A pathway to zero emission by 2050” adalah studi IESR bekerja sama dengan Agora Energiewende, dan Lappeenranta University of Technology (LUT). Peluncuran kajian ini dilaksanakan pada 28 Mei 2021. Laporan tersebut dapat diunduh di tautan berikut:

https://iesr.or.id/pustaka/deep-decarbonization-of-indonesias-energy-system-a-pathway-to-zero-emissions-by-2050

Viva | Pemerintah Didorong Sepenuhnya Salurkan BBM RON Tinggi, Begini Caranya

Pemerintah didorong untuk tidak ragu memulai sepenuhnya menyalurkan Bahan Bakar Minyak (BBM) Ron tinggi. Hal sederhana yang bisa dilakukan adalah menyetop produksi produk BBM beroktan rendah. Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Febby Tumiwa mengungkapkan, selanjutnya, Pemerintah bisa menyiapkan skema agar harga BBM berkualitas itu mampu diijangkau semua kalangan. Misal, bisa saja BBM RON 92 seharga RON 88 atau RON 90, yang saat ini masih dijual.

Baca lebih lanjut di Viva (27 Mei 2021)

Katadata | 3 Skenario Investasi Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik

Kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) mengkalkulasi kebutuhan investasi untuk pengembangan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di Indonesia. Terdapat tiga skenario yang digunakan yakni Business As Usual (BAU), moderat, dan skenario ambisius di rentang waktu 2050 hingga 2050.

Baca lebih lanjut di Katadata (27 Mei 2021)

Beritasatu | IESR Rilis Peta Jalan Menuju Nol Emisi Karbon di Indonesia

Jakarta, Beritasatu.com – Laporan terbaru Institute for Essential Services Reform (IESR) yang berjudul Deep decarbonization of Indonesia’s energy system: A pathway to zero emissions by 2050 menunjukkan bahwa secara teknologi dan ekonomi, sektor energi Indonesia mampu mencapai nol emisi karbon di tahun 2050. Laporan ini merupakan kajian komprehensif pertama di Indonesia yang menggambarkan peta jalan mencapai emisi nol karbon di 2050 di sistem energi. Hal ini merupakan tonggak penting mengingat emisi sektor energi diperkirakan akan meningkat menjadi 58% pada 2030, sebagaimana ditunjukkan dalam skenario business as usual (BAU) dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia.

Baca lebih lanjut di Beritasatu (27 Mei 2021)