Aspek Kualitas Akses Energi yang Diterima Masyarakat Harus Mulai Diperhitungkan

Jakarta, 18 Juni 2021, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral meluncurkan Program Patriot Energi sebagai salah satu upaya untuk melistriki desa-desa daerah tertinggal, terluar, terdepan (3T) termasuk daerah transmigrasi. Program Patriot Energi ini mengundang 100 pemuda pemudi untuk menerima pelatihan dan kemudian ditugaskan ke berbagai wilayah di Indonesia selama 5 bulan – 1 tahun.

Tugas para Patriot Energi ini antara lain untuk memetakan potensi energi terbarukan, membantu program de-dieselisasi PLN (persero), dan membantu kemandirian listrik desa, termasuk mendampingi dan melatih masyarakat setempat untuk mengoperasikan dan merawat instalasi energi terbarukan yang akan digunakan untuk melistriki desa tersebut.

Dipaparkan Menteri ESDM Indonesia, Arifin Tasrif, bahwa saat ini Indonesia bersama dengan semua negara di dunia sedang berusaha untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang salah satunya dihasilkan oleh sektor energi. Namun di sisi lain, pemerintah juga terus berusaha memenuhi kewajibannya untuk memberikan akses listrik pada seluruh masyarakat. 

“Maka kita pun berupaya untuk mewujudkan kemandirian energi berbasis energi hijau,” tutur Arifin Tasrif dalam sambutannya.

Upaya pemerintah untuk melistriki semua daerah di desa melalui berbagai upaya patut untuk diapresiasi. Inisiatif ini perlu ditindaklanjuti dengan memikirkan aspek keberlanjutan dan kualitas akses energi yang diterima masyarakat. Definisi ‘rasio elektrifikasi’ yang digunakan pemerintah saat ini masih terbatas pada terhubung atau tidak terhubung. Kualitas dari listrik yang terhubung seperti kestabilan tegangan, frekuensi mati listrik, keterjangkauan biaya belum diperhitungkan. 

Banyak daerah di Indonesia hanya menikmati listrik kualitas rendah misal listrik yang tidak menyala 24 jam, dan hanya mampu untuk penerangan dan peralatan elektronik dengan daya sangat rendah. Listrik yang ada belum dapat digunakan untuk kegiatan ekonomi produktif. Padahal untuk mendorong akses energi yang berkelanjutan dan berkualitas, listrik yang ada mestinya bisa mendorong produktivitas ekonomi masyarakat. 

Pekerjaan rumah pemerintah selanjutnya adalah memastikan setiap warga mendapatkan akses listrik yang tidak hanya tersambung, namun juga berkualitas. Pekerjaan yang menanti pemerintah meliputi perbaikan definisi ‘rasio elektrifikasi’, adanya peta jalan, serta alokasi biaya dan SDM. Memastikan adanya biaya perawatan, sumber daya manusia yang akan mengelola instalasi listrik energi terbarukan di daerah akan membuat program elektrifikasi berkelanjutan. Akses energi berkualitas harus menjadi paradigma pembangunan Indonesia untuk mencapai energi berkeadilan.

 

Utamakan Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia, PLTN menjadi pilihan akhir

Sejak awal kemunculannya energi nuklir telah menimbulkan suatu dialog bahkan perdebatan tentang manfaat dan risiko yang dibawanya. Di satu sisi nuklir dapat memenuhi kebutuhan energi, dan dapat digunakan dalam berbagai bidang seperti medis dan militer. Namun nuklir juga membawa risiko kebocoran radiasi. Terdapat peristiwa kecelakaan nuklir yang patut dicatat mulai dari Three Mile Island (1979), Chernobyl (1986), dan Fukushima (2011). Dari sini muncul pertanyaan, apakah nuklir masih layak untuk dikembangkan dalam skala besar? Jika iya, aspek apa saja yang harus diperhatikan dalam pengembangannya? Menghadirkan tiga pembicara dengan latar belakang yang berbeda, FISCO UGM menggelar webinar Potensi dan Kontroversi Nuklir untuk mencoba mengurai pertanyaan tersebut. 

Dalam kesempatan tersebut, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menyampaikan bahwa ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan terkait pengembangan energi nuklir di antaranya  tiga faktor keselamatan reaktor nuklir yaitu regulasi atau badan regulator, keamanan operasional, dan sistem keamanan. 

“Perdebatan tentang PLTN dari awal bukan semata-mata teknologinya. Tapi lebih banyak tentang risiko keamanannya. Bencana yang paling ditakutkan dari nuklir adalah bocornya radiasi ke lingkungan luar, jadi kontroversinya bukan semata-mata teknologi tapi lebih kepada lingkungan di mana PLTN itu berada,” jelas Fabby.

Untuk memastikan aspek keamanan ini, selain badan regulasi dan prosedur keamanan yang ketat, masalah keekonomian atau biaya yang dibutuhkan juga perlu dicermati ulang. 

“Tren investasi PLTN dari tahun ke tahun semakin mahal. Jika tujuan pembangunan PLTN adalah untuk memenuhi permintaan listrik yang terus tumbuh, maka ada alternatif energi terbarukan lain yang lebih terjangkau dan tidak berbahaya,” sambung Fabby.

Faktor lingkungan termasuk penerimaan masyarakat ini menjadi hal penting dan membuat isu nuklir ini menjadi dinamis. Derajad S. Widhyharto, Dosen Sosiologi Fisipol UGM, mengungkapkan pula bahwa kekhawatiran masyarakat pada nuklir baik itu sebagai PLTN maupun  energi baru  ada pada isu pengelolaan. 

Aspek pengelolaan yang menjadi kekhawatiran masyarakat ini makin diperburuk dengan dinamika regulasi nuklir yang tidak saling terkait dengan temuan survei atau riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga. 

Alexander Agung, dosen Teknik Nuklir UGM, melengkapi diskusi ini dengan perspektif yang lebih bersifat teknis tentang energi nuklir. Nuklir terutama PLTN dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan listrik yang meningkat, serta mendukung industrialisasi. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara Eropa memang memenuhi kebutuhan listriknya dari pembangkit nuklir. 

“Adanya badan regulasi yang khusus mengatur dan mengawasi pengembangan dan pengerjaan membuat keamanan dari PLTN ini terjamin sejak awal, saat survei pemilihan lokasi hingga pembangunan,” pungkas Alexander.

Namun, dalam perkembangannya, perlu pula memastikan agar badan regulasi ini tetap bekerja secara optimal agar pengembangan energi nuklir tidak membahayakan masyarakat dan lingkungan sekitar.