Peran Media Dalam Perjalanan Transisi Energi Indonesia

Dalam perjalanan pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid 19, Indonesia saat ini sedang berada di persimpangan jalan untuk memilih jalur pemulihan ekonomi hijau, atau jalur pemulihan ekonomi yang menghasilkan emisi tinggi. Pandemi Covid 19 menghantam keras perekonomian Indonesia, nampak dari pertumbuhan ekonomi negatif yang kita alami. Namun di sisi lain, Covid 19 membuka kesempatan untuk mengubah arah pembangunan ekonomi menjadi lebih hijau dan lebih rendah emisi. Berdasarkan laporan Intergovernmental Panel on Climate Change Assessment Report 6 (IPCC AR6), kita tidak lagi punya waktu lama untuk menjaga kenaikan suhu bumi dalam batas aman. Sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar di dunia sekaligus penghasil emisi terbesar di dunia, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menurunkan emisinya terutama dari sektor energi. Dalam situasi pemulihan ekonomi pasca Covid19, Indonesia harus menemukan cara untuk keluar dari krisis ekonomi sekaligus mengatasi krisis iklim. Melakukan transisi energi menjadi suatu keharusan jika Indonesia bersungguh-sungguh ‘menghijaukan’ program pemulihan ekonominya.

 

Dalam mengawal proses pemulihan ekonomi Indonesia segala lapisan masyarakat perlu ikut mengawasi dan menyuarakan pendapatnya untuk memastikan jalan yang ditempuh pemerintah adalah jalan yang akan membawa Indonesia menuju pemulihan ekonomi rendah emisi. Penting untuk Indonesia sebagai suatu bangsa melakukan pemulihan ekonomi yang memperhatikan kondisi krisis iklim karena krisis yang menjadi sumber segala krisis di masa mendatang. Urgensi krisis iklim dan pemulihan ekonomi yang rendah emisi ini perlu disampaikan pada masyarakat, salah satunya melalui media massa, sehingga masyarakat dapat ‘menuntut’ pemerintah saat pemerintah tidak memilih jalan pemulihan ekonomi yang lebih hijau. 

 

Untuk membantu para awak media memberikan liputan yang komprehensif tentang isu transisi energi, program Clean, Affordable, and Secure Energy (CASE) for Southeast Asia, IESR menyelenggarakan pelatihan untuk para jurnalis. Pelatihan ini meliputi input materi mengenai energi dan transisi energi, serta bagaimana menuliskan liputan transisi energi supaya dapat lebih dipahami oleh masyarakat luas. Program ini akan berlangsung dalam sepuluh sesi yang berlangsung dari bulan September hingga Oktober 2021, dan diikuti oleh 20 wartawan pilihan dari berbagai daerah di Indonesia.

 

Dalam sambutannya, Fabby Tumiwa, direktur eksekutif IESR menekankan pentingnya peran media dalam proses transisi energi. “Masyarakat harus dapat mendukung, mendorong, dan menyuarakan pendapatnya ke pembuat kebijakan. Disinilah  media berperan penting untuk membangun kesadaran kolektif masyarakat supaya Indonesia membangun ekonominya lebih hijau,” tutur Fabby.

 

Dalam sesi pertama yang berlangsung pada Selasa, 7 September 2021, peserta dikenalkan dengan konsep energi dan transisi energi dipandu oleh tiga narasumber dari Agora Energiewende. 

 

Tharinya Supasa, Project Lead Energy Policy South East Asia Agora Energiewende, menekankan penting untuk seluruh lapisan masyarakat memahami pentingnya transisi energi.

 

“Karena energi sangat dekat dengan kita, mulai dari memasak, menonton TV hingga bekerja dengan komputer atau perangkat elektronik lainnya. Jadi apapun yang terjadi di bidang energi akan mempengaruhi kehidupan semua orang,” ungkap Tharinya.

Warta Ekonomi | EBT Tempati Posisi Kedua Investasi Energi Global, Indonesia Stagnan

Posisi kedua ditempati oleh EBT yang sejak tahun 2019 hingga 2021 menunjukan tren pertumbuhan yang positif. Diprediksikan, tren positif tersebut tidak hanya bertahan, tetapi juga mengalami pertumbuhan yang signifikan ke depan ketika seluruh negara menunjukan komitmen pemanfaatan EBT secara serentak. Pamela menambahkan, meski investasi EBT global menunjukan gairah investasi yang mengalami pertumbuhan secara positif, hal tersebut belum terjadi di Indonesia.

Baca selengkapnya di Warta Ekonomi

Warta Ekonomi | China Jawara Pengguna EBT Terbesar di Dunia, Vietnam Jawara di ASEAN, Indonesia Peringkat Berapa?

Berdasarkan data BP Statistical Review of World Energy pada 2021, pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) menempati posisi kedua dalam penggunaan energi primer di dunia. Pamela, Koordinator Riset Institute for Essential Service Reform (IESR), menyayangkan Indonesia belum bisa masuk dalam 10 negara pengguna energi surya terbesar di dunia. Dengan kapasitas pemasangan sebesar 11.000 MW, menempatkan Indonesia berada pada peringkat ketiga dalam pemanfaatan EBT di kawasan Asia Tenggara

Selengkapnya di Warta Ekonomi

Warta Ekonomi | Norwegia Targetkan 2026 Sepenuhnya Gunakan Kendaraan Listrik (EV)

Koordinator Riset Institute for Essential Service Reform (IESR) Pamela Simamora mengatakan, penggunaan kendaraan listrik (EV) secara global terus mengalami pertumbuhan. Nilai penjualan di Cina mencapai 6 persen, Norwegia 80 persen, sedangkan Indonesia masih tergolong rendah. Beberapa hal yang menyebabkan penetrasi EV di Norwegia mengalami peningkatan adalah penyediaan infrastruktur charging dan pemilihan model. Namun, yang paling besar memengaruhinya adalah harga EV.

Selengkapnya di Warta Ekonomi

Energy Global | Pasar energi surya Indonesia akan berkembang

Para pemimpin di Jakarta telah menguraikan tujuan untuk mencapai 23% energi terbarukan pada tahun 2025 – sebuah langkah ambisius dari penetrasi energi terbarukan sebesar 13% dalam bauran energi primer Indonesia tahun 2019. ‘Scaling Up Solar’ menemukan bahwa sektor listrik dapat mencapai tingkat pembangkit energi terbarukan ini dengan memasang 18 GW sistem fotovoltaik (PV) saja pada tahun 2025. Mempercepat transisi Indonesia dari batubara ke energi terbarukan juga akan membutuhkan kepemimpinan dari utilitas milik negara PLN, yang baru-baru ini berkomitmen untuk menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara baru setelah tahun 2023.

Selengkapnya di Energy Global

Bisnis | Industri PLTS RI Berpotensi Tarik Investasi Asing US$14,4 Miliar

Kajian Institute for Essential Service Reform (IESR) mengungkapkan program surya nasional dengan target 18 gigawatt lewat pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) akan menarik minat investor hingga US$14,4 miliar. Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa biaya listrik PLTS saat ini berkisar antara US$65-137 per MWh, akan tetapi diperkirakan turun menjadi US$27-48 per MWh pada 2030. Predikasi ini didorong oleh biaya peralatan dan pengembangan yang lebih rendah, diikuti pula dengan ketentuan pembiayaan yang lebih menarik.

Selengkapnya di Bisnis